Mohon tunggu...
Adi Lagaruda
Adi Lagaruda Mohon Tunggu... -

Tau Battu ri Bone Lassuka ri Gowa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Pahlawan Indonesia" Seberang Lautan

24 Agustus 2010   11:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:45 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Surat Siti Hapipa yang saya temukan itu juga menceritakan suka-duka hidup sebagai orang buangan di Ceylon dan rasa rindu kepada tanah Nusantara. Suaminya, yang menanggung utang sampai 5000 Rial, wafat dalam usia sekitar 46 tahun pada Minggu, jam 13:30, 25 Januari 1795 di kediaman resmi Gubernur terakhir Belanda di Ceylon, Johan Gerard van Angelbeek, di Colombo. Waktu itu Sultan Fakhruddin diundang makan siang oleh Gubernur Angelbeek.

"Setelah [h]abis minum te[h] maka Baginda(h) bangun(g)lah daripada meja(h) serta mohon kepada Adelir [Angelbeek], maka baring2, tatkala itulah sudah pulang ke Rahmatullah kepada hijrat al-nubuwat sanat 921 [1209] tahun Ha bulan Rajab empat hari dari bulan, harinya Ahad tengah hari jam pukul satu setengah", tulis Siti Hapipa dalam suratnya, menjelaskan penyebab kematian suaminya.

Perang atas nama penindasan antara sesama manusia di Ceylon telah membunuh ketujuh putra Sultan Fakhruddin. Dua si antaranya, yaitu Karaeng Yusuf—yang dalam beberapa laporan Inggris disebut 'Captain Usop Gowa'—dan Karaeng Abdullah, tewas membela bendera Inggris dalam perang Polygar di India Selatan (Tamil Nadu) tahun 1800.

Tetapi ada yang tragis dalam kematian ketujuh lelaki bersaudara itu. Di tahun 1803 pasukan Inggris yang dipimpin Mayor Davie mencoba mencaplok Kerajaan Kandy. Serangan itu mengikutsertakan Resimen Melayu Ceylon. Kapten Karaeng Nuruddin dan Kapten Karaeng Saifuddin ikut pula dalam penyerangan itu.

Mendekati Istana Kandy Pasukan Mayor Davie mendapat perlawanan hebat. Dalam kecamuk perang tiga bersaudara bertemu di medan tempur. Kapten Nuruddin dan Kapten Saifuddin yang membela Inggris berhadapan dengan saudara sendiri, Karaeng Sangunglo, yang membela Kandy. Empatpuluh tahun lebih sudah sesama saudara tiri itu berpisah. Kini sebuah 'reuni' ironis terjadi dalam tatapan dan nafsu
untuk saling membunuh.

Greevings, seorang anggota tentara Inggris, mencatat keberanian Karaeng Sangunglo, yang disebutnya 'fat and tall Malay prince' di medan tempur. Dalam desingan peluru dan tetakan kelewang, ia membujuk kedua saudara tirinya membelot ke pihak Kandy. Bujukan itu gagal, Kapten Nuruddin dan Kapten Saifuddin tetap setia kepada Tuan Inggrisnya. Dalam the First Anglo-Kandyan War itu Inggris menderita kekalahan telak. Tragisnya, Karaeng Sangunglo tewas di tangan Mayor Davie. Jenazahnya dikebumikan dengan upacara yang khidmat oleh otoritas Kerajaan Kandy dan masyarakat Kandyan Malays.

Gubernur Frederick North (1798-1805) di Colombo memerintahkan Mayor Davie menyerah kepada musuh. Tentara Kandy menawan sisa pasukan Inggris, termasuk Kapten Nuruddin dan Kapten Saifuddin. Raja Kandy, Sri Vikrama Rajasinha (1798-1815), minta keduanya mengabdikan diri kepada Kerajaan Kandy. Akan tetapi Kapten Nuruddin dan Kapten Saifuddin menolak permintaan Raja Kandy itu, meskipun keduanya sudah diberi dua kali kesempatan untuk mempertimbangkan tawaran itu. Rupanya Kapten Nuruddin dan Kapten Saifuddin telah bersumpah sampai mati untuk tetap setia kepada Inggris.

Penolakan itu membuat Raja Sri Vikrama amat murka. Sudah dapat diramalkan apa yang terjadi kepada seorang hamba jika seorang raja sudah murka. Algojo diperintahkan mengesekusi kedua saudara tiri Karaeng Sangunglo itu. Saking murkanya, Raja Sri Vikrama melarang mengubur mayat mereka. Kedua jenazah itu dilempar ke hutan dan menjadi santapan celeng liar.

Karaeng Sangunglo, yang dikenang sebagai pahlawan (Melayu) di Ceylon, adalah 'tali sejarah' yang mungkin dapat mempererat hubungan Indonesia dan Sri Lanka. Seperti halnya Syekh Yusuf al-Makassary, ia adalah seorang putra Indonesia yang berjuang di negeri yang jauh melawan penjajah Eropa yang menindas sesama umat manusia. Ironisnya, ia dilupakan di tanah airnya sendiri. Tak ada nama sebuah gang pun di negeri ini yang mengabadikan namanya, juga di Makassar, di kaki Pulau Sulawesi sana.

Kiranya riwayat hidup 'pahlawan Indonesia' seberang lautan itu perlu diteliti lebih lanjut oleh cerdik-pandai sebuah negara-bangsa (nation-state) yang suka menghargai jasa-jasa pahlawannya.

Sumber : Suryadi, dosen dan peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Indonesië, Faculteit Geesteswetenschappen Universiteit Leiden, Belanda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun