Memperkuat Legislasi Bantuan Hukum
Pasca disahkannya UU No. 16 tahun 2011 tentang bantuan hukum, titik cerah acces to justice bagi masyarakat ekonomi lemah kian mendapat tempat lebih nyata.
Buah tangan senayan ini patut disambut baik. Sebagai bagian dari salah satu hulu penegakan Hak Asasi Manusia dalam mewujudkan akses keadilan bagi masyarakat miskin, norma ini menjadi index penting untuk mengukur sejauh mana "keintiman" rule of law di republic ini.
Boleh jadi di sisi politik hukum menunjukan perubahan mindset pemerintah pusat dalam mewujudkan acces to justice bagi "orang kecil". Tapi bagaimana pun komitmen itu harus tersebar dalam konsepsi lokal. Disisi inilah titik temu agenda mewujudkan keadilan bagi masyarakat miskin didaerah bersinggungan.
Akses keadilan bagi masyarkat miskin harus menjadi agenda total yang tersebar luas ke daerah daerah. Tidak berpusar dalam eskalasi tertentu. Tesisnya, wilayah perhiperal di daerah sering tidak tersentuh. Ditambah "minat" political will di daerah sungguh sangat bertolak belakang dengan agenda simplistis hak asasi manusia dalam mewujudkan persamaan didepan hukum.
Penyebaran
Konstitusi kita (UUD 1945), tegas menjujung tinggi asas kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law). Dari sisi paham konstitusionalisme ini pulalah kita mencermati bahwa akses terhadap keadilan mesti merata. Tidak ada dikotomi kelas dalam pemberian bantuan hukum. Meski dalam praksis nilai nobelitas sering menjadi soal disatu sisi.
Tapi setidaknya saat ini UU bantuan Hukum sedikit menjawab kadar konstitusional tersebut dalam aspek pemberian bantuan hukum bagi masyarakat miskin. Hanya tinggal bagaimana konsepsi serupa diterjemahkan dalam arus legislasi di daerah. Sebagai bagian dari tuntutan otonomi daerah.
Otonomi daerah sebenarnya tidak hanya berkutat soal demokrasi politik semata. Kesejahteraan dibalik sense otonomi daerah juga mencakup pemenuhan HAM dan pemerataan akses keadilan sebagai sari pati demokrasi.
Henry Teune, 1995, (Local Development and Democratic Political Development, 1995) mengemukakan, kebijakan otonomi daerah berkaitan erat dengan subtansi demokratisasi itu sendiri. Dalam konteks otonomi daerah, demokrasi dimaknai sebagai identifikasi kebutuhan dan pemenuhannya bagi masyarakat didaerah.
Sebagai pondasi demokrasi di daerah, tentu tergolong diantaranya tanggungjawab politik pemerintah daerah dalam mewujudkan akses keadilan bagi masyarakat miskin. Premisnya, penyebaran akses to justice bagi rakyat kecil harus didukung dari semua lini, tidak terkecuali lewat peran pemerintah daerah.
Terbitnya UU Bantuan Hukum harus diimbangi keselarasannya dengan kebijakan serupa dilevel pemerintah daerah. Kita perlu memikirkan langkah legislasi di daerah- daerah untuk memperkuat agenda bantuan hukum untuk masyarakat lemah karena hal serupa juga merupakan aspirasi dan kebutuhan masyarakat di daerah. Senada dengan pemikiran hukum responsif yang ditekankan Nonet dan Selznick, yang menyatakan bahwa hukum mestinya menawarkan sesuatu yang lebih daripada sekedar keadilan prosedural, tetapi juga harus mampu berfungsi sebagai fasilitator dari respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial yang berkembang (Philippe Nonet & Philip Selznick, 2003). Hukum adalah instrumen untuk melayani kebutuhan manusia, bukan sebaliknya. Dalam konteks ini, semisal dengan menerbitkan Perda Bantuan Hukum.
Memperkuat
Dalam naskah konstitusi, Perda berada satu bab dengan aturan lain mengenai pemerintahan daerah. Perda dikonstruksi sebagai satu hal yang inheren dalam rezim pemerintahan daerah. Logika tekstualnya, Perda dibentuk sejalan dengan spirit demokratisasi yang menyelimuti pemerintahan daerah.
Salah satu wewenang desentral (pembentukan Perda) inilah yang membuka peluang untuk mengagregasi kondisi khusus daerah dalam menyerap tuntutan masyarakat di daerah. Drajat legislasi inilah yang kemudian membuat Perda memiliki fleksibilitas tinggi untuk merespons kepentingan masyarakat di daerah.
Dalam hal ini, bagaimana mengkondisikan tanggungjawab pemerintah daerah dalam konsepsi kewenangan yang diembannya kedalam sebuah peraturan daerah untuk mengharmoniskan tuntutan penyebaran akses keadilan bagi masyarakat miskin didaerah?
Dalam Pasal 19 ayat (1) UU Bantuan Hukum ditegaskan, bahwa pemerintah Daerah juga dituntut berperan dalam penyelenggaraan Bantuan Hukum. Format ini mendelegasikan kuasa penting bagi daerah untuk memperkuat legislasi bantuan hukum. Spirit ini dapat dijawab lewat pembentukan Peraturan Daerah (Pasal 19 ayat 2).
Perda bantuan hukum menjadi landasan penting mengukur komitmen pemerintah daerah dalam memberikan akses bantuan hukum bagi masyarakat miskin. Dengan catatan sejauh ia tunduk pada nalar kepentingan publik, bukan dalam bergaining untuk mengekploitasi publik di daerah, atau malah dijadikan gagahan politik campaign menjelang tahun tahun politik tertentu.
Berangkat dari fakta bahwa arus masyarakat miskin tersebar dalam teritori lokal utamanya di daerah. Disamping kaum urban dan miskin kota, medium keberadaan masyarakat miskin banyak tersebar dalam kawasan peripheral seperti desa-desa. Volume itu diperparah dengan tingkat buta hukum dan kesenjangan ekonomi.
Inisiasi Perda dapat ditempuh baik oleh eksekutif daerah maupun DPRD sebagai kelembagaan legislasi daerah. Satu catatan penting, untuk konteks Sumatera Barat, perda bantuan hukum tergolong langkah sinkronistis dan moment eksperimental dalam memperkuat legislasi bantuan hukum. Sudah waktunya kontribusi legislslasi di daerah benar benar menjawab tuntutan masyarakat kecil. Kita tunggu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H