Akankah menjadi kenyataan, siapa lawannya? Hanya Yusril yang terus menggaungkan strategi ini. Dia mungkin mau meniru kakaknya yang mengalahkan adik Ahok di Belitung sebagai petahana. Selain pengalaman pilkada Belitung, Yusril cerdas memahami situasi. Dia tahu betul bahwa Parpol sangat kecewa terhadap Ahok yang bersedia dipinang oleh Teman Ahok untuk maju melalui jalur independen.
Sambil safari keberbagai petinggi parpol Yusril terus mengumandangkan bahwa Ahok bisa dikalahkan jika hanya satu lawan satu (head to head). Meskipun banyak petinggi partai yang setuju ide ini (asal bukan Ahok, koalisi gemuk, gubernur muslim dan lain-lain) tetapi ambisi ini agak sulit terealisasi karena beberapa faktor:
1. Faktor PDIP
Sulit dipahami jika PDIP sebagai pemenang pemilu, memilih orang luar partai untuk menang di DKI, asal bukan Ahok. Selain ada tangan dingin Megawati yang sudah melahirkan banyak tokoh lokal dan nasional, juga pilkada terjadi di ibu kota. Saya kira PDIP akan tetap mengusung calonnya sendiri.
Jika terjadi dua putaran, dimana Ahok salah satunya maka kecendrungan PDIP mendukung Ahok sangat besar. Karena PDIP berhitung betul faktor DKI, faktor Jokowi sebagai presiden dan Pilpres 2019. Meskipun Ahok agak nyleneh di mata petinggi PDIP tapi Megawati senang dan mengapresiasi kerja Ahok. Jika banyak orang tidur seranjang tapi mimpinya beda. Ahok dan PDIP tidur di ranjang yang berbeda tetapi mimpinya sama.
Kalau terjadi 2 putaran yang maju adalah Ahok dan calon PDIP maka pertarungan semakin seru karena hampir bisa dipastikan partai yang kalah akan bergabung dalam gerbong PDIP. Jika tim Ahok lengah maka calon dari PDIP yang melenggang ke DKI 1.
Tetapi di last minute tidak tertutup kemungkinan PDIP justru mendukung Ahok, apalagi Ahok belum “tercela” dan elektabilitasnya tetang unggul. Selain PDIP tidak mau “gambling” kalau mencalonkan calonnya sendiri dan ternyata kalah. PDIP juga ingin mengamankan Pilpres 2019 dimana Gubernur petahana DKI Jakarta tidak maju menantang Jokowi.
Faktor gubernur ibukota akan menaikkan popularitas seseorang. Jika kerjanya ok maka elektabilitasnya juga akan terderek naik. Kalau Ahok yang menang seperti yang sering diutarakannya dia tidak akan maju pilpres 2019 bertarung dengan Jokowi. Tetapi jika selain Ahok yang menang maka fenomena Jokowi sebagai gubernus DKI dan nyapres bisa terulang.
Publik menunggu dengan sedikit tegang, karena hari-hari PDIP mengambil keputusan semakin dekat. Instuisi Megawati yang selama ini tajam benar-benar diuji dalam pilkada DKI.
2. Faktor Yusril
Meskipun Yusril punya potensi untuk mengalahkan Ahok tetapi perlu diingat bagaimanapun Yusril adalah ketua umum partai yang secara tidak langsung adalah competitor. Jika Yusril menang maka berarti secara tidak langsung akan membesarkan partai yang diketuainya. Tetapi bagi partai-partai Islam dalam situasi tertentu (faktor Ahok) hal ini bisa tidak berlaku, mereka bisa bersatu mendukung Yusril untuk maju menantang Ahok.
3. Faktor Gerindra
Di DKI Jakarta Gerindra termasuk partai besar. Selain faktor ibu kota, Gerindra akan berhitung betul untuk persiapan Pilpres 2019. Karena hampir pasti Prabowo akan maju lagi menantang Jokowi untuk kedua kalinya. Maka Gerindra sekuat tenaga akan mendorong kadernya sendiri yaitu Syafri Samsudin atau Sandiaga Uno untuk maju di pilgub DKI. Apalagi mengingat pengalaman pahit Gerindra yang mendorong Jokowi Ahok PIlkada DKI 2012 untuk mengamankan tiket Prabowo di Pilpres akhirnya gagal total.
Memilih Sandiaga Uno salah satu pilihan alternatif yang menarik. Dia tokoh muda yang sukses dibidang bisnis, cerdas dan penampilannya kalem dan santun. Akan kontras jika dipertemukan dengan typical Ahok yang meledak-ledak dan “ kurang santun”. Jika dikemas dengan cerdas dan dengan strategi yang tepat Sandiaga Uno tetap punya peluang mengalahkan Ahok.
Jika Syafri yang dipilih Prabowo maka publik bertanya-tanya (apakah ini nostalgia?) mengingat rekam jejaknya ketika menjadi Pangdam Jaya. Tetapi Prabowo sebagai ahli strategi tentu tidak sembarangan memilihnya. Kita lihat kedepan bagaimana geliat Gerindra dalam usaha kerasnya memenangi DKI.
Tetapi jika pada detik-detik terakhir Syafri atau Sandiaga Uno dipandang oleh petinggi partai sulit mengalahkan Ahok maka tidak tidak tertutup kemungkinan Gerindra akan mendukung Yusril. Atau Gerindra akan bergabung dengan PDIP dengan menyodorkan kadernya sebagai Wagub. Ingin mengulang “success story” Jokowi-Ahok.
4. Faktor SBY
Publik memang masih menunggu kiprah SBY di Pilkada DKI. Walau suara Demokrat menurun drastis, SBY masih bisa menjadi kunci dalam permainan ditengah pertarungan yang semakin sengit ini. Kita lihat! Apakah permainan cantik SBY ketika memainkan perannya ditengah perseteruan KMP dan KIH akan terulang.
Meskipun tidak ada tokoh Demokrat yang mumpuni, jika mememukan sosok yang punya reputasi hebat yang bisa mengalahkan Ahok, Demokrat, PAN dan juga PKS bisa bergabung dalam satu gerbong. Jika ini tidak terjadi, tetap agak sulit untuk bisa melihat SBY dan Demokratnya bergabung dalam satu gerbong mendukung Yusril head to head dengan Ahok. Karena politik cerdas dan santun yang selama ini diperankan SBY.
5. Faktor Partai Pendukung Ahok
Kalau Nasdem dan Hanura jauh hari sudah mendukung Ahok dengan tapa prasyarat. Golkar akhirnya mulai mendukung Ahok. Dimulai dengan kunjungan Yusron Wahid ke Teman Ahok. Golkar secara cerdas membaca potensi dan mecoba meraih simpati sekaligus meraup keuntungan melalui teman Ahok yang sukses mengumpulkan dukungan 1 juta KTP. Sebuah gerakan rakyat yang bisa mengumpulkan KTP 1 juta dukungan bukan hal kecil, ini peristiwa besar. Karena 1 juta itu dikumpulkan oleh anak-anak muda yang aktif dan melek politik . Maka diyakini suara mayoritas warga DKI akan mengikuti gerakan ini dibelakangnya.
Golkar tahu betul potensi yang ada pada gerakan Teman Ahok dan secara cerdik merapat. Tidak seperti PDIP yang kurang senang dan terus meremehkan Temah Ahok. Dan bagi saya ini aneh. Ada potensi suara rakyat yang sadar politik begitu besar tetapi dilecehkan dengan bahasa deparpolisasi, hanya claim sepihak dan lain-lain. Bukankah selama ini itulah sebenarnya yang dituntut partai kepada masyarakat yaitu partisipasi aktif. Atau sebenarnya partai maunya mobilisasi. Para elit mereka sebenarnya tidak siap berbagi peran dengan masyarakat yang aktif, kritis dan cerdas.
Sekarang! pilihan sulit justru ada di pundak Ahok, apakah maju lewat jalur independen (bus kota) atau naik mercy melalui jalur parpol karena 3 partai pendukung sudah cukup untuk mencalonkan.
Nyali dan konsistensi Ahok saat ini benar-benar diuji. Jika dia memilih jalur independen bisa berdarah-darah mungkin juga bisa gagal. Tetapi jika dia tetap memilih jalur ini maka terobosan politik hebat yang ditempuh teman Ahok selama ini yang begitu gempita dengan partisipasi masyarakat yang luar biasa, akan mendorong terjadinya transformasi pilitik secara positif. Selain akan memaksa parpol untuk berbenah sekaligus bisa mengajak masyarakat berpartisipasi aktif. Jika ini terjadi partai politik yang modern dengan masyarakatnya yang aktif dan kritis akan tumbuh subur.
Tetapi jika Ahok ternyata “realistis” memilih jalur parpol, maka pengumpulan 1 juta KTP menjadi sia-sia. Banyak yang akan kecewa, karena sebagian besar masyarakat pendukung Teman Ahok adalah mereka yang kritis terhadap perilaku partai. Tudingan “sama saja” akan tersemat ke Ahok. Politisi dimanapun sama, apapun akan ditempuh demi kekuasaan. Mungkin Ahok secara mudah bisa menang, tetapi antusiasme masyarakat umum dan hingar bingar pilkada DKI akan berkurang, yang ada lebih banyak mobilisasi kembali.
Dan Ahok gagal menjadi legenda sebagai tokoh yang mentransformasi politik Indonesia. Dia menjadi tidak berbeda dengan politisi pada umumnya. Dan saya kira Ahok kedepan agak sulit untuk bermimpi menjadi presiden Indonesia, karena sebagian masyarakat tidak akan mempercayainya.
Dan Saya yakin Parpol akan senang. Itulah yang selama ini mereka suarakan. Meminjam istilah Tukul “kembali ke laptop” politik Indonesia akan seperti sedia kala. Lebih sibuk dengan dirinya sendiri daripada masalah masyarakat. Dan harapan masyarakat bahwa parpol- parpol di Indonesia menjadi partai modern, masih jauh !.
6. Faktor PKS
Sebagai partai ideologis, berbasis kader yang berjenjang rapi, PKS bisa punya kejutan tersendiri. Jika bisa meyakinkan beberapa partai untuk berkoalisi maka PKS akan mengusung kadernya sendiri. Meskipun ini agak sulit. Di Pilkada DKI 2012 saja ketika PKS berkibar dan orang sekelas Hidayat Nur Wahid maju tumbang juga, apalagi sekarang. Kita belum melihat tokoh mumpuni lainnya di PKS. PKS harusnya berani mendorong Ustad Yusuf Mansyur maju. Karena berminat, punya potensi dan namanya muncul dalam beberapa survey. Jika tidak bisa! Maka PKS akan bergabung ke gerbong Gerindra atau bersatu dalam gerbong Yusril tapi melihat PKS bergabung dengan PDIP agak sulit terjadi.
7. Faktor Calon
Jika Parpol lain punya calon Potensial yang bisa menyaingi Ahok maka Partai lain akan mendekat. PAN dan parpol lainnya sudah mulai memunculkan kader-kadernya di daerah yang berprestasi gemilang sebagai kepala daerah. PPP secara cerdas menyodorkan Ruki sebagai calon potensial. Calon-calon kejutan semacam ini (termasuk Yusuf Mansyur, Buwas) jika punya rekam jejak yang ok, strategi yang tepat, rakyat bisa beralih mendukungnya, apalagi jika dalam perjalanannya “terjadi sesuatu” pada Ahok.
Tetapi sayang Ruki belum apa-apa sudah berbuat “blunder” dengan pernyataannya tentang penanganan KPK berkaitan dengan Sumber Waras. Banyak orang berpendapat bahwa pernyataan Ruki tidak etis sebagai mantan ketua KPK dan sangat politis karena dia dijadikan balon Gubernur DKI PPP. Masyarakat kemudian mulai mempertanyakan integritasnya.
Jadi Ahok hanya bisa dilawan oleh orang yang punya rekam jejak sebanding dengan Ahok. Carilah calon dengan menguliti rekam jejaknya dan apa niat dia ketika terjun kepolitik. Jangan salah meskipun seorang pengusaha yang sudah sangat kaya ketika niat awalnya terjun kepolitik untuk menggelumbungkan usahanya. Atau seorang pemimpin agama yang terjun ke politik untuk motif ekonomi dan kekuasaan maka dia akan melakukan niat itu ketika kekuasaan sudah dipegangnya. Mayoritas anggota dewan dan pejabat di republik ini adalah jenis ini. Tidak heran Partai kehabisan tokoh yang dipercaya oleh masyarakat.
Meskipun sulit tapi pasti ada tokoh mumpuni dalam setiap sektor kehidupan tetapi masyarakat belum melihatnya karena belum dimunculkan. Terus terang masyarakat hanya butuh pemimpin yang layak dipercaya yang niatnya menjadi pemimpin bekerja untuk kesejahteraan semua rakyatnya bukan diri dan golongannya. Dan ini yang ditunjukkan Ahok selama ini. Jika ada tokoh yang punya rekam jejak seperti ini maka untuk mengalahkan Ahok sangat mungkin. Apalagi jika dia pribumi dan muslim.
Meskipun pernyataan ini narsis dan tabu, tapi fakta itulah yang terjadi dalam kehidupan. Referensi manusia dalam menentukan pilihan selalu mencari yang paling dekat dengan dirinya entah itu nilai, keyakinan, agama atau suku. Jika ada dua orang punya reputasi yang sama maka orang cenderung akan memilih yang paling banyak kesamaannya dengan dirinya sendiri.
Harus diakui Risma, Ridwan Kamil dan beberapa kepala daerah sukses lainnya yang disayang rakyatnya paling potensial melawan Ahok. Survei terakhir (Juni 2016) SMRC membuktikan bahwa pilihan utama masyarakat (38 %) karena sudah ada bukti kerjanya. Tetapi tokoh dibidang lain juga banyak. Jika dibilang bahwa Ahok tidak ada lawan itu mengkerdilkan bangsa besar ini.
Tetapi partai harus merubah paradigmanya, merubah nilai dan prosedurnya dalam merekrut pemimpin. Jangan jadikan pola reqruitment pemimpin seperti ajang “Indonesian Idol” atau sekedar prosedural ujung-ujungnya adalah mahar politik. Harusnya sistim konvensi murni atau panel yang beranggotakan ahli dan orang partai untuk menyaring dan menyeleksi tokoh yang layak dijadikan pemimpin. Dan pola ini harus dilakukan jauh-jauh hari sebelum Pilkada. Mereka yang aktif, bukan buka lowongan.
8. Faktor Resiko
Terlalu mahal resikonya bagi partai jika bersatu kemudian mengeroyok Ahok, kemudian kalah. Jika semua partai bersatu maka arus rakyat yang mendukung Ahok akan semakin besar karena Ahok dianggap korban dari konspirasi partai. Yang namanya semakin buram dimata sebagian besar rakyat.
Peta Persaingan
Melihat faktor-faktor dinamis diatas bagaimana kira-kira peta persaingan Pilgub DKI 2017. Alternatif pertama, meskipun sulit maka head to head Ahok Vs Yusril bisa saja terjadi. Jika parpol yang marah sama Ahok kemudian menjadikan Pilgub DKI sebagai Asal Bukan Ahok. Tetapi head to head juga bisa terjadi antara Gerindra Vs Ahok atau Ahok Vs PDIP, jika calon yang diusung PDIP potensial untuk mengalahkan Ahok. Alternatif kedua masih banyak karena semua memungkinkan jika partai bisa menyodorkan calon potensial yang bisa mengalahkan Ahok.
Tapi kemungkinan terjadi kejutan lainnya adalah Yusril tidak bisa maju, karena maju melalui jalur independen waktunya mepet, diusung partai lain juga tidak. Lalu bagaimana dengan calon lain yang selama ini ramai di media. Lulung, Adyaksa, Dani Ahmad, Idrus, Wanita Emas. Masyarakat masih menunggu kiprah mereka selanjutnya.
Sayang kalau mereka hilang tak tentu rimbanya. Harus diakui percaturan politik tidak hanya sekedar berani.
Tapi diperlukan perhitungan dan kecerdasan. Dan mereka harusnya sejak awal menyewa consultan politik yang mumpuni. Bagaimana strategi, cara masuk, cara bicara, cara mengkritik petahana, apa yang dikritik dan kapan menyampaikannya. Bagaimana menyusun ide dan apa yang ingin diperbuat untuk rakyat DKI. Semua harus berdasarkan research atau evidence based tentang apa keinginan dan masalah yang dirasakan rakyat DKI. Bahkan setiap daerah, jenis perumahan, usia, jenis pekerjaan mempunyai keinginan dan masalah yang berbeda-beda itulah yang mereka inginkan dari para calon pemimpinnya untuk bersuara.
Dari semua kemungkinan siapa yang bisa kalahkan Ahok. Harus diakui head to head punya kemungkinan paling besar untuk mengalahkan Ahok. Jika lebih maka kemungkinan Ahok untuk menang satu putaran menjadi lebih besar.
Ahok berdasarkan survey terakhir SMRC (Juni 2016) punya elektabilitas tertinggi sekitar 54 % dan tingkat kepuasan warga DKI terhadap kinerja Ahok hampir 70 %. Dari data ini membuktikan bahwa Ahok memang lawan yang tangguh. Sehingga semua calon lawannya harus berpikir keras untuk mencari celah untuk mengalahkannya. Tapi yang pasti meskipun menurut data sekarang Ahok menunjukkan kekuatan elektabilitas yang tinggi, Ahok tetap bisa dikalahkan.
3 Faktor
Paling tidak ada 3 faktor mengapa Ahok bisa dikalahkan ;
Pertama, Ahok dalam istilah Steve Jobs cenderung terkena syndrome “complacency” yaitu suatu sikap puas dan sudah merasa menang. Hal ini bisa dilihat dari pernyataan-pernyataan dia dan pendukungnya selama ini. Syndrome ini dialami oleh seseorang atau produk ketika berada dipuncak. Sehingga cenderung merasa “paling” dan memandang remeh lawan-lawannya.
Kedua, meskipun kemungkinan tingkat kemenangannya sangat-sangat kecil bahkan 1 : 5000, kemungkinan menang tetap bisa terjadi. Itu yang terjadi pada Leceister City dengan Claudio Raniery ketika menjuarai liga primer Inggris 2016 yang pertama sejak 132 tahun club itu didirikan. Mark Smith pendukung fanatik Leceister mengatakan “Rasanya seperti dongeng. Para bandar judi pasti sedang kesal sekali,” Hal ini dikatakan Smith merujuk kemungkinan taruhan Leicester menjadi juara Liga Primer pada awal musim yang mencapai 5.000:1. Artinya dalam setiap pertandingan, apapun ! ketika bola masih dimainkan dan wasit belum meniup peluit panjang, segala kemungkinan masih bisa terjadi. Sejarah banyak membuktikan hal itu.
Ketiga, strategi yang tepat. Mengapa sekarang Ahok nampak begitu perkasa? Pertama Ahok punya elektabilitas dan tingkat kepuasan masyarakat DKI terhadap kinerja Ahok yang tinggi karena Ahok berlari sendiri. Jika sudah ada calon lawan yang sebanding, dengan track record yang mumpuni kemudian dikomunikasikan secara tepat ke masyarakat DKI maka peringkat itu bisa berubah.
Kedua dari semua program dan sepak terjang Ahok selama ini pasti banyak celah yang selama ini belum diketahui public. Ada yang bagus tetapi kalau dilihat dari segi efektifitas dan efisiensi apakah benar Ahok sehebat yang selama ini digembar-gemborkan. Bagaimana dengan program-program lainnya. Jika cerdas melihat celah dari sepak terjang Ahok selama ini (tentunya banyak) dan cerdik memanfaatkan setiap peluang, ditambah strategi yang tepat tidak tertutup kemungkinan calon itu menyusul dan mungkin menang.
Bagaimana caranya ?
(Bagaimana caranya akan ditulis dalam artikel lainnya “Ahok! Bagaimana mengalahkannya?”)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H