Bijaksana Ilmu, Kuasa, dan Harta
Ketika kuliah saya sering nongkrong di warnet kampus. Bahkan waktu saya lebih banyak berada di warnet ketimbang berada di kelas untuk kuliah. Di warnet tersebut saya kenal dengan penjaganya. Orangnya agak pendiam dan sederhana. Suatu ketika ada seorang Profesor yang juga menjabat sebagai Dekan di fakultas tersebut bermaksud mengirimkan sebuah email penting ke seseorang. Akan tetapi Profesor tersebut kurang familiar dengan teknologi sehingga meminta sang penjaga warnet untuk mengirimkan email tersebut. Bahkan menggunakan email si penjaga warnet. Karena koneksi internetnya sangat lambat (maklum zaman dulu tidak seperti sekarang) dan kapasitas filenya besar maka email tersebut belum juga terkirim. Tak pelak hal tersebut membuat sang Profesor naik pitam. Sehingga, sang penjaga warnet pun dimarahi oleh Profesor. Dengan sabar penjaga warnet melayani Profesor tersebut hingga emailnya pun dapat terkirim walapun dengan waktu yang tidak sebentar.
Saya yang dari awal berada di samping penjaga warnet pun agak heran mengapa seorang Profesor tidak bisa mengirim sebuah email. Kemudian saya berbicara kepada sang penjaga warnet. “Pak Dekan itu kan sudah professor masa ngirim email saja ga bisa”, kemudian penjaga warnet itu menjawab, “ya memang Pak Dekan ga bisa ngirim email soalnya profesornya kan tentang bahasa bukan tentang komputer. Kalau saya kan penjaga warnet walaupun bukan sarjana, tetapi bisa ngirim email. Lha kalau saya suruh membahas tata bahasa jelas tidak bisa.”
Saya agak terkesima mendengar jawaban tersebut. Jawaban penjaga warnet tadi seolah-olah menjadi pukulan telak bagi kita yang merasa berfikir sangat akademis dan sistematis. Sekaligus pada saat yang sama, saya mendapat sebuah pencerahan. Setidaknya ada tiga hal yang bisa saya ambil pelajaran.
- Pertama, bahwa orang yang marah itu biasanya adalah orang yang kurang pengetahuan.
- Kedua, kita jangan memandang orang lain hanya dari luarnya saja (gelar akademis, jabatan, kerupawanan, kekayaan dan lain sebagainya). Karena sering sekali kita tertipu oleh berbagai atribut keduniawian tersebut.
- Ketiga, gelar akademis (atribut keduniawian lainnya) tidak selalu menjadi tolak ukur kebijaksanaan seseorang.
Kita akan lebih membicarakan poin yang ketiga yaitu tentang kebijaksanaan. Bisa jadi tidak semua orang bisa miskin, tidak semua orang bisa kaya, tidak semua orang bisa rupawan, tidak semua orang bisa punya jabatan, dan tidak semua orang bisa punya gelar akademis yang begitu panjang. Tetapi semua orang bisa berpotensi untuk menjadi bijaksana. Namun, pada saat yang sama semua orang juga bisa berpotensi untuk tidak bijaksana. Karena kebijaksanaan itu tidak bisa kita dapatkan hanya dari kelas-kelas, universitas, atau pun seminar-seminar.
Kebijksanaan itu merupakan konklusi dari nilai-nilai yang terbangun dalam jiwa seseorang melalui berbagi macam pengalaman hidup. Bahwa manusia itu hidup dengan nilai-nilai tersebut. Setidaknya ada 3 nilai umum yaitu nilai KeTuhanan, nilai kemanusian, nilai nurani. Dan nilai –nilai tersebut mempunyai derivasi antara lain adalah nilai kejujuran, ketulusan, ketawadhu’an, kesabaran, toleransi, dan masih banyak derivasi nilai-nilai yang lain.
Didalam Al Quran sendiri terdapat setidaknya 90 kata الحكيم (Maha Bijaksana) yang diikuti oleh kata العزيز (Maha Perkasa) atau kata العليم (Maha Mengetahui). Ini menunjukkan bahwa Allah selalu bijaksana didalam pengejawantahan sifatNya yang Maha Perkasa dan Maha Mengetahui. Untuk itu amatlah tidak sopan jika kita sebagai hambaNya bersikap congkak di dalam menjalani kehidupan ini. Kita sering kali merasa “perkasa” (dalam hal ini bisa kita artikan berkuasa baik dalam hal jabatan maupun kekayaan) dan tidak bijaksana dalam menggunakannya. Setidaknya ada tiga hal yang kita bisa ambil pelajaran dari Al Quran, bahwa kita sebagai manusia harus mampu Bijaksana dalam ilmu, Bijaksana Kuasa, Bijaksana Harta.
- Bijaksana Ilmu
Seringkali kita merasa congkak dan seolah-olah merasa orang paling pandai sedunia bila gelar akademis yang kita miliki sangatlah panjang. Padahal dari cerita tadi diatas ternyata gelar akademis tidak bisa menjadi tolak ukur kebijaksaan seseorang. Jika kita belajar dari seseorang yang dianggap Bapak Kebijaksaan yaitu filsuf Yunani Socrates. Beliau mengatakan bahwa “ἓν οἶδα ὅτι οὐδὲν οἶδα hèn oîda hóti oudèn oîda” atau dalam bahasa Inggris “I know that I know nothing” yang artinya kurang lebih “Aku tahu bahwa aku tidak tahu apa-apa”. Mungkin saja maksudnya adalah jika kita merasa kita tahu sesuatu sesungguhnya kita ini tidak tahu apa-apa. Di balik yang kita tahu masih banyak hal yang kita tidak tahu. Seperti yang difirmankan Allah di dalam Al Quran surat Al Kahfi ayat 109 sembilan dan surat Luqman ayat 27.
Yang Artinya “Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Luqman : 27).
Dijelaskan dalam terjemahan Al Quran bahwa yang dimaksud kalimat Allah adalah ilmu-Nya dan hikmah-Nya.
Jadi alangkah malunya kita bila merasa tahu segalanya. Dan merasa yang paling benar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H