Mohon tunggu...
resahderajiwa
resahderajiwa Mohon Tunggu... -

“if you want to shine like sun first you have to burn like it.” \r\n― Adolf Hitler

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senja Merah Diatas Langit Selatan #2

10 Maret 2015   00:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:55 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"seringkali kebaikan menjadi bumerang buat kita kang" celetuk latip di pinggir api unggun di hutan jati lodoyo

"maksudmu apa to tip.." tugiyo nampak muram menatap arang yang menganga..

" kita ini ibarat pion yang hanya tau kulit, itu pun kulit ari setipis rambut, dalam kemelut di tanah jawa ini rakyat hanya menjadi kaum teraniyaya, apa kurang legowo kita apa kurang nrimo kita kang"

kemudian hening, nampaknya tugiyo sudah sedemikian lelah berargumen seperti mata terpejam tetapi mencari seekor belalang di rerimbunan daun tanjung.

" tidur tip, besok kita jalan lagi kearah ngliyep.." pikiran tugiyo melalang ke seantero angkasa yang bertaburan bintang, bintang memerah seperti desiran darah seketika dia teringat dan sungguh kangen dengan tumini istrinya yang tak tahu rimbanya dan lamunannya membawa ke alam bawah sadar hingga pagi menjelang..

***

" tip,..tip,..bangun ayo berangkat.."

siuman mata latip seperti lelah mendera membuat tugiyo tak tega untuk membangunkannya,..sisa potongan ketela di api unggun cukup untuk mengahangatkan badan, walaupun di pencernaan tak mudah untuk di kompromi, minuman dari belik di pinggir hutan cukup untuk membasahi kerongkongan tugiyo yang terasa mengganjal di leher..

"cuihhhhhhhh, kere kok menjadi kutukan mau  jadi apa bangsa ini"

" kurang apa hidup ini kalo hanya saling berebut darah, seumur cindel tikus sudah berlagak demokratis, menghalalkan darah kaum kiri,..cuihhhhhhhh"

ceracu tugiyo seperti "mendem" arwah singkong karet di kunyah seperti menghisap daun kecubung..

"kang apa baiknya kita menyerah ke kodam brawijaya atau pemuda ansor" suara latip menganggetkan seutas khayalan di batok kepalanya...

"tip,..pelarian kita ini adalah waktu untuk memolorkan nafas, sama saja tip kita menyerah atau tertangkap kalo tidak peluru bersarang di jantung, paling juga parang para kaum kopiah'an menebas leher kita"..

latip hanya termangu..

"padahal saya dulu sering ngaji di musholanya kyai mujahit, kok tega benar mereka menyeret - nyeret orang tua tersebut dan memancungnya, dan membentaknya kafir"...

"sudahlah tip mereka teriak nama gusti pengeran tapi pikirannya setan, sudah buta oleh hasutan" tugiyo menimpalinya

"apakah kita yang salah kang memilih lambang palu arit" desahnya terlihat berat di rongga nafas,...

"ndak kok tip, ini sudah jalan kita. semua sudah garisnya nasib, gusti kang kamulyo jagad sudah memberi takaran di mangkuk kehidupan manusia"..sergah tugiyo

"kang aku tak sholat dulu, walaupun jam 6 pagi siapa tahu gusti pengeran masih memberi nafas panjang" jengkar menuju kucur di balik bukit..

tugiyo memandang latip nampak muram, hembusan angin timur di pagi itu sepertinya menabuh kalbu hidupnya yang tak pernah dia obati, kerinduannya di saat magrib di surau kyai mujahit seperti memorabilia hidup yang hilang..

udara nampak tenang..dan hening..hanya suara burung prenjak di atas pohon jati yang mulai meranggas...

bersambung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun