Ternyata benar, dia lebih muda dariku, saya angkatan 2007 di Fakultas Pertanian.
*
Dua minggu berlalu, belum juga ada tanda kalau anak itu datang ke kamarku lagi. Padahal, selain waktu makan dan salat aku tak beranjak dari kamar ini, apalagi menjelang deadline seminar hasil skripsiku yang lama sudah kurencenakan akan berlangsung tiga bulan ke depan.
Kini semua terasa berbalik. aku yang merasa berutang kepada Randi. Uang tiga puluh ribu tak akan cukup jika diseterakan dengan celana jeans. Tekad untuk menyambanginya di fakultasnya muncul. Mungkin dia tak berani menampakkan diri karena belum mempunyai cukup uang untuk menebus celananya ini.
Pada beberapa orang pengurus masjid dari beberapa macam jurusan yang berbeda kutanyai tentang Randi dan segenap ciri yang bisa mendeskripsikan wujudnya. Satu pun diantara mereka tak ada yang mengenalnya. Mungkin karena mereka mahasiswa pengurus mushallah sepertiku yang kurang banyak mengenal orang karena saking khusuknya di masjid seharian.
Kuberanikan diri bertanya kepada mahasiswa beberapa jurusan dengan angkatan yang sama dengan Randi, angkatan 2009.
Betul saja, Mereka hanya menjawabku dengan jawaban singkat. “Saya tak tahu, maaf”. Anehnya mereka lamat memperhatikan celanaku yang tergantung dan gamis yang kukenakan dengan dibubui ekspresi tak ingin berlama-lama berbicara denganku.
Beberapa saat aku beranjak pada cara yang lebih baik. menanyakannya pada staf pegawai di fakultas. Memperhatikan semua nama Randi yang ada di fakultas ini. Dua nama Randi muncul. Yang pertama bernama Randi Ismawan di jurusan ilmu politik. Dari gambarnya di foto aku yakin bukan dia orangnya, pasalnya Randi yang satu ini kulitnya putih. Randi yang selanjutnya bernama lengkap Muhammad Randi jurusan hubungan internasional, meskipun pada foto tidak begitu mirip namun kemungkinan dia orang yang kucari masih memenuhi harapan. Kulitnya gelap seperti Randi yang pernah ke kamar. Mungkin saja ia kelihatan berbeda karena rambutnya yang kini memanjang dan keriting sementara foto yang ada di daftar mahasiswa adalah foto ketika mendaftarkan diri masuk ke universitas ini. Akhirnya kuputuskan kembali mencarinya esok.
*
Berkat bertanya pada pada teman-temannya aku akhirnya bertemu dengan Randi, Muhammad Randi, maksudku. Ternyata masih saja sama. Dia bukan Randi yang aku cari. Aku pasrah. Tak akan mencarinya hingga ia sendiri yang kembali mencariku ke kamar. Pada perjalanan pulang ke asrama aku sempat berpikir, apakah mungkin celana yang menjadi jaminan itu sebenarnya hanya celana yang sudah tak layak pakai lagi sehingga ia memberikannya padaku. Dengan kata lain, ini cuma penipuan modus lain, apalagi ketika mengingat wajahnya yang masih kutengarai lebih tua dariku. Mungkinkah?
Sesampai di Asrama, Kuberanikan diri membuka celana yang dititipkan Randi. Ini adalah kali pertamaku membukanya karena sebelumnya tak ada niat sama sekali untuk berprasangka kepada Randi. Aku kaget. Celana itu berukuran besar dan panjang ukuran celana itu bernomor 35. Tak akan mungkin milik Randi yang memiliki badan yang amat kurus seperti itu. Ditambah lagi di dalamnya berisikan sebuah kondom bekas dan beberapa bercak darah yang mewarnai bagian dalam celana itu terpat dekat selangkangan. Yang paling mengejutkan lagi sebuah dompet tebal berisikan lembaran seratus ribuan dan sebuah identitas nama pemilik celana itu. Randi Sunarwan, Phd Aku tak bisa berucap. Bahkan kali pertama aku berprasangka tentang orang yang menyambangiku tempo hari adalah seorang pembunuh yang mengkambing hitamkan aku sebagai pembunuh dari pemilik celana itu.