Saat itu saya sedang suntuk mengeja huruf komputer untuk menyelesaikan skripsi yang sekian lama dikejar deadline oleh dosen pembimbing. Khusuk pada asrama universitas yang aku tempati belajar dengan cara menyendiri pada sebuah kamar khusus. Mahasiswa tingkat akhir sepertiku sebenarnya tak lagi layak berdiam diri di asrama mahasiswa yang dikhusukan untuk Mahasiswa baru. tetapi karena saya seorang mahasiswa penjaga masjid asrama kampus maka Alasan bisa menetap di Asrama kampus itu bisa menjadi hak ku. Jadilah orang dipindahkan satu satu untuk meninggalkan asrama blok A dengan alasan renovasi. Tetapi saya tertahan, mana ada muadzin yang akan memanggil jamaah shalat jika saya harus dipindahkan ke kamar yang jauh dari masjid.
Suara sandal dengan nada pelan mendekat.
Apakah mungkin pengelola Asrama yang menyambangiku lagi untuk menyuruhku segera pindah dari blok A secepatnya?
Seorang lelaki berkaos putih kumal bertuliskan huruf kanji jepang hadir di hadapanku.
“Maaf Kak, mengganggu?”
Aku ternganga. rasanya tak pantas saja gelar ‘kak’ disandarkan dengan namaku, apalagi sekilas menatap kembali wajahnya secara saksama. Secara pengakuan pribadiku, orang itu lebih tua setahun dua tahun dariku. Diriku menaksir sendiri. Kulitnya bak parut dengan jerawat yang tumbuh hampir merata di permukaan pipinya, rambutnya panjang keriting berwarna kemerahan. Kumis tipis dan jenggot yang menebal semakin membuatku hendak bertanya. Apakah saya memang lebih tua, hingga ia harus memanggilku kakak?
“Maaf, apakah kita pernah saling kenal?”
“Saya Randi kak, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas ini”
“iya, ada apa?, ada yang bisa saya bantu?”
“Saya mau minta tolong, saya tak punya beras kak, bisakah saya meminjam uang lima puluh ribu rupiah”
Aku tersenyum. “Maaf kalau saat ini saya juga kekurangan uang. Saya bantu saja ya, nggak usah dipinjam”.