Mohon tunggu...
Adi Inggit Handoko
Adi Inggit Handoko Mohon Tunggu... Dosen - Seseorang penghamba media sosial, Hobi denger Radio tertarik dengan isu gender

"Kau Terpelajar, Cobalah Bersetia Pada Kata Hati" (Pram, Dalam Bumi Manusia)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

LGBT dan Sikap Toleransi

1 Maret 2016   11:35 Diperbarui: 1 Maret 2016   11:56 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini gencar berita tentang LGBT di media, bahkan malah jadi tema debat terbuka di media massa. Dari berbagai sudut pandang sudah di kupas: Psikologi, Agama, Hukum, dan sampai ranah Hak Asasi manusia. Dari berbagai macam sudut pandang ini terkadang ditemukan pendapat bahwa LGBT adalah sesuatu yang salah, yang keliru, yang seharusnya segera mendapat penanganan. Akan tetapi tidak sedikit pula yang kemudian menyudutkan lantas menghakimi kelompok minoritas ini. bagi masyarakat awam, persoalan LGBT dipandang secara serampangan, sehingga tidak jarang bahwa LGBT mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari kelompok tertentu. Yang mentoleransi keberadaan LGBT, dianggap sebagai pendukung dan dianggap sebagai tidak jauh berbeda dengan kaum LGBT. Dalam tulisan saya, saya berada dalam posisi netral, yang tidak mendukung atau juga menolaknya.

 

Media Massa Vs LGBT: Over Ekspos

Maraknya pemberitaan tentang LGBT bisa jadi dipicu oleh pemerintah AS melegalkan LGBT di Negara tersebut. Sehingga menimbulkan reaksi besar bagi kelompok LGBT di belahan dunia. Kondisi demikian tentu saja jadi ajang bagi para pemburu berita untuk meliput dan memberitakannya kepada masyarakat. Posisi media dalam hal ini adalah memberikan informasi kepada masyarakat. Masyarakat mau tidak mau akan disuguhi dengan liputan tentang kelompok LGBT. Kondisi demikian sudah tentu menjadi pemicu penggiringan opini publik. Misalnya saja, ketika kasus Rian pembunuh berantai dari Jombang muncul dipermukaan, media seolah olah ingin menguliti kehidupan pelaku. Belum lama ini terkait kasus mirna dan jesika Kumala Wongso media menyinggung tentang hubungan sejenis diantara keduanya.

Dari sudut pandang kelompok LGBT ketika media memunculkan isu hubungan sejenis, bisa jadi ini membuat keresahan bagi kelompok LGBT. Bagi kelompok yang homopobik atau orang tua yang khawatir terhadap buah hatinya “tertular” pemberitaan pun meresahkan. Mau tidak mau bahwa LGBT yang sudah bercitra negatif di mata masyarakat maka akan menambah catatan buruk bagi kelompok LGBT ini. belum lagi ketika media massa meliput tentang jumlah pengidap penyakit kelamin yang menurut penelitian penyumbang terbesar dari penyakit kelamin seperti HIV / AIDS adalah kelompok LGBT. Catatan buruk kemudian bertambah. Orientasi seksual seseorang yang sejatinya adalah ranah paling privat, ranah yang paling rahasia kini menjadi konsumsi publik. Misalnya saja kasus Indra Bekti dan Lalu Gagah Arsanova, media massa seolah-olah ingin memberitakan kasus ini berlomba-lomba memberitakan yang paling terupdate. Padahal dalam kasus Indra Bekti belum tentu kebenerannya, tapi masyarakat sudah terlanjur mengetahuinya. Entah memang keduanya terbukti LBGT atau bukan, namun masyarakat sudah terlanjur “menghakiminya”.

LGBT di media massa rasanya sudah menjadi jamak. Bahkan sebagian orang bisa saja menjadi apatis dengan LGBT yang tampil di media. Ketika pemerintah melarang adanya LGBT tapi pada kenyataannya media massa mengkonstruksinya menjadi lahan yang menguntungkan. Acara musik yang menggunakan host kemayu, feminin, atau bahkan menampilkan sang artis yang menggunakan fashion dan asesoris perempuan. Jika kondisi demikian yang ditampilkan oleh media, mau tidak mau pemirsa menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah. Apakah host kemayu, feminim tidak boleh berada dalam frame media massa? Jawabanya tentu saja boleh, asal tidak melanggar norma dan aturan karena pada dasarnya frekuensi media massa adalah frekuensi milik publik sehingga publik berhak mendapatkan sesuatu yang bermutu, yang tidak bertentangan dengan nilai, norma dan aturan hukum yang berlaku di suatu Negara.

Dalam kemajuan zaman, media massa tidak hanya media konvensional, kemajuan internet membuat cara berkomunikasi manusia berubah. Media sosial “dituduh” ikut berperan dalam mengkampanyekan kelompok LGBT. Bahkan dalam beberapa hal, media sosial dianggap sebagai “racun” yang mampu mendorong seseorang yang awalnya “normal” menjadi LGBT.  

Media sosial, seperti Facebook menjadi media sejuta umat, yang pada kenyataanya semua orang bebas menulis, bebas berkomentar dan bebas membagikan link-link terkait informasi LGBT. Perdebatan-perdebatan yang pada akhirnya tidak menemukan titik temu yang bijak yang terjadi di ruang virtual. Alhasil lagi-lagi media massa ikut berperan dalam “menumbuhkan” kebencian antar sesama manusia.

Keberadaan media massa ditengah masyarakat seharusnya mampu memberikan informasi yang seimbang yang tidak menimbulkan polemik ditengah-tengah masyarakat. Misalnya saja, memberikan informasi tentang LGBT yang bisa keluar dari kondisi LGBT dan kemudian bisa menjadi panutan masyarakat atau memberitakan prestasi LGBT dalam bidang ilmu pengetahuan. Banyak diluar sana LGBT yang berprestasi yang mampu membanggakan institusi dan Negara tapi tidak banyak diekspos oleh media. Jika porsi beritanya seimbang bisa jadi kebencian ditengah masyarakat bisa diminimalisir.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sejauh ini bisa dikatakan sudah menjalankan perannya. Tapi sejauh ini juga masih belum maksimal, belum mempertegas tentang Undang-Undang penyiaran, hanya sebatas menegur terkait dengan program yang dirasa  melanggar. Peran dan fungsi KPI inilah yang kemudian setidaknya bisa meredam pemberitaan LGBT di media massa, UU Penyiaran dan pers jangan menjadi tumpul.

 

LGBT Vs Agama

Memperbincangkan LGBT diranah umum, pada saat ini rasanya tidak lagi menjadi sesuatu yang tabu. Ini bisa jadi karena permasalahan LGBT bukan lagi masuk dalam ranah privat tapi sudah menyangkut hajat hidup orang banyak. Masalah LGBT seolah-olah adalah masalah dan tanggung jawab kita bersama. Ketika topik LGBT dibenturkan dalam ranah agama, maka akan jauh lebih tepat ketika seseorang yang memperbincangkan adalah tokoh agama. Karena tokoh agama diyakini sebagai orang yang kredibel untuk memperbincangkan masalah LGBT. Sebagai catatan, bahwa agama yang ada di Indonesia tidak membenarkan adanya kelompok LGBT, LGBT dianggap sebagai melanggar norma dan syariat agama. Dan dalam cerita Islam bahwa kaum LGBT diazab oleh Allah SWT.

Agama sebagai pondasi manusia dalam bersikap dan berperilaku sejatinya terkadang digunakan oleh orang-orang untuk menghakimi kelompok LGBT. Perlu diketahui juga terkadang seseorang mengutip ayat dalam kitab suci sebagai pendukung ucapannya bahwa LGBT patut untuk disingkirkan. Ayat-ayat yang dikutip sepotong potong dan terkesan serampangan terkesan menjadi kebanggan bagi sebagian orang ketika memperbincangkan LGBT di forum-forum. Penulis tidak sedang meragukan tentang potongan ayat-ayat suci, penulis hanya mencoba memberi pemahaman bahwa ada baiknya dalam mengutip ayat untuk mendukung suatu “perdebatan” jangan mengambil ayat secara sepotong, karena bisa jadi bermakna lain, harusnya ayat-ayat suci disampaikan secara utuh dan koherensi. Kondisi debat agama inilah yang terkadang membuat jalan buntu antara kaum LGBT dan kelompok yang memperdebatkan. Alhasil “agama” ikut mendorong kebencian diantara kelompok LGBT dan kelompok yang merasa benar dengan di dukung ayat-ayat suci. Sekali lagi, agama manapun tidak mengajarkan tentang kebencian, agama manapun tidak mengajarkan golongannya untuk menghakimi sesama umat manusia.

 

LGBT Vs Kesehatan

LGBT bagi sebagian orang masih dianggap sebagai gangguan kejiwaan yang butuh penanganan khusus, meskipun secara global bahwa WHO menyatakan bahwa LGBT bukanlah termasuk gangguan kejiwaan. LGBT adalah aktivitas normal, LGBT terkait dengan masalah genetik, tapi sebagian orang mengganggap bahwa LGBT adalah sesuatu yang menular. Menular karena menurut fakta bahwa jumlah LGBT dalam setiap tahun populasinya selalu bertambah. Yang menyatakan bahwa LGBT adalah termasuk Abnormal mungkin seseorang tersebut belum merasakan menjadi posisi LGBT. Menurut pengamatan penulis dan beberapa dialog dengan orang-orang yang memang LGBT mereka merasakan bahwa ketertarikan dengan orang lain layaknya aktivitas normal. Sekali lagi saya tidak sedang membenarkan pendapat demikian.

Dalam kacamata kesehatan, kelompok LGBT merupakan penyebar penyakit HIV / AIDS ini dibuktikan dari temuan penelitian bahwa penyebaran virus HIV / AIDS lebih banyak dari kelompok LGBT. Apakah demikian kebenarannya? Tidak menutup kemungkinan bahwa kelompok Straigh juga menyumbang penyebaran virus ini. Percepatan penyebaran virus mematikan ini bisa karena disebabkan LGBT melakukan seks bebas, seks yang bergonta ganti pasangan atau bisa jadi melakukan aktivitas seks ditempat seharusnya. Aplikasi chating dan forum-forum LGBT tidak menutup kemungkinan bahwa ikut berpartisipasi menyumbang terjangkitnya virus HIV / AIDS cepat menyebar. Disadari atau tidak bahwa komunikasi yang dibangun antara kelompok LGBT di dalam aplikasi chating mengarah hanya aktivitas seks. Padahal kita tidak mengetahui latar belakang lawan seks yang baru ditemui melalui aplikasi chating. Apakah melakukan seks “aman” dengan menggunakan alat kontrasepsi menjamin bahwa tidak tertular penyakit kelamin? Jawabannya belum tentu.

 

LGBT Vs Toleransi

Reaksi massa kelompok LGBT di beberapa Negara bisa saja karena dipicu bahwa kelompok minoritas ini merasa bahwa mereka tertindas. Semakin masyarakat berupaya memerangi keberadaan kelompok  LGBT maka semakin kuat pula mereka menunjukkan perlawanan (resistensi) terhadap kelompok yang menentang. Berlindung pada hak asasi manusia, menjadikan kelompok LGBT menunjukkan eksistensinya ditengah masyarakat. Namun kembali lagi pada dasar hukum dan aturan Negara mendukung keberadaan kelompok ini atau tidak. Secara hukum bahwa Indonesia tidak mungkin melegalkan pada saat ini, namun tidak tahu sepuluh atau seratus tahun lagi. Kebijakan legal non legal mau tidak mau bahwa pemangku kepentingan yang memiliki kekuatan.

Ancaman, siakap tidak diterima oleh masyarakat atas keberadaan LGBT yang merupakan pondasi dasar kelompok LGBT “menggugat”. Tuntutannya hanya sederhana, penerimaan dan tidak didiskriminasikan. Bahwa LGBT itu ada, bahwa LGBT itu dekat dengan kehidupan keseharian kita. Masalahnya adalah mindset masyarakat sudah terlanjur menganggap bahwa LGBT adalah perilaku yang menjijikkan. Banyak yang kemudian menganalogikan bahwa “anjing saja tidak mungkin melakukan hubungan badan dengan anjing berkelamin sama”. Pola pikir demikian yang menjadikan seseorang mendeskreditkan atas perilaku kelompok LGBT. Analogi binatang juga merendahkan harkat dan marbat sebagai manusia.

Dilain sisi, kelompok LGBT apakah selalu berperilaku negatif? Rasanya juga tidak, diranah akademis, diranah pemerintahan, diranah ilmuwan mereka juga ada yang memiliki kecenderungan seksual yang menurut sebagian orang tidak normal. Tapi apakah kita pernah mempermasalahkan karya-karya mereka? Apakah produk yang ditampilkan media massa terbebas dari campur tangan kelompok LGBT? Kita mentoleransinya bukan?

Diranah pendidikan, dari tingkat sekolah dasar kita belajar tentang pendidikan moral pancasila sampai perguruan tinggi kita diajarkan dengan pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan. Semboyan Bhineka Tunggal Ika selalu kita dengar, dan bahkan disadari atau tidak kita turut mengamalkan semboyan tersebut. Namun, ketika isu LGBT muncul dipermukaan, semboyan tersebut rasanya luruh, tidak lagi digunakan sebagai alrm pengingat bahwa kita dan kelompok LGBT adalah bagian dari warga Negara. Semua berkomentar dan berpendapat seolah dirinya paling benar, dan pada akhirnya menyudutkan kelompok LGBT.

Mentoleransi, bukan berarti mendukung atau membenarkan tindakan kelompok LGBT. Mentoleransi bisa jadi dimaknai bahwa kita sebagai makhluk sosial yang sudah seharusnya memanusiakan manusia (Humanis). Sebagai makhluk berketuhanan, kita memiliki prinsip dan memiliki pandangan  bahwa tidak ada pembenaran atas perilaku kelompok LGBT ini. Kelompok LGBT hanya menginginkan dirinya dihargai, tidak diperlakukan secara diskriminasi, tidak pula menjadi bahan olok-olok bullying disemua lini kehidupan. Mari mentoleransi, dengan tidak menganalogikan bahwa kelompok LGBT adalah kelompok manusia yang lebih rendah daripada binatang. Kelompok LGBT adalah manusia yang diciptakan oleh Allah SWT yang tidak lain tidak bukan memiliki derajat yang sama seperti manusia lain pada umumnya. Mereka butuh didampingi, mereka butuh untuk dirangkul, dan mereka pasti menginginkan keluar dari kondisi perbedaan. Mengutip dari twitter  Angga Dwi Sasongko bahwa makin lama orang yang mendekriminasikan LGBT bukan Cuma hilang rasa kemanusiaanya, tapi juga sense sebagai manusia yang berfikir. Sebagai penutup tulisan ini saya mengutip pendapat Gusdur bahwa semakin tinggi ilmu seseorang semakin tinggi toleransinya. Mari coba kita jadikan sebagai bahan perenungan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun