Soe Hok Gie pernah berujar bahwa orang yang paling beruntung adalah mereka yang tak pernah dilahirkan. Setujukah Anda? Atau ingin protes? Tentu saja bukan tanpa alasan aktivis pendongkel Bung Karno tersebut berujar demikian.Â
Hidup memberikan kesempatan pada semua makhluk untuk mencintai dan dicintai, sekaligus membenci dan dibenci. Setiap persinggungan dengan manusia lain tentu akan menghasilkan gejolak emosi, bisa iri, dengki, marah atau bahagia.Â
Dalam tulisan Besi Menajamkan Besi, Manusia Mengasah Sesamanya, memang benar kehidupan menawarkan aneka hubungan dan relasi. Dari situ manusia terasah. Bisa menjadi semakin bijak dan cerdas. Bisa juga terluka.Â
Imajinasi adalah sesuatu yang hakiki. Bahkan imajinasi adalah bahan bakar sains. Sedang sains adalah motor penggerak peradaban. Lantas bagaimana dengan imajinasi dari para pendengki? Tidak lain dan tidak bukan adalah fantasi untuk mencelakakan sesamanya.
Manusia Sempurna
Hitler membuat banyak orang percaya, Arya adalah jenis manusia terbaik dan paling sempurna di alam semesta ini. Sebuah ciri khas dari fasisme, yaitu kesombongan akut pada diri sendiri. Bisa pada ras sendiri, partai sendiri, golongan sendiri atau kesatuan sendiri.
Impian mencari citra manusia sempurna memang merupakan cita-cita manusia sedari dulu. Orang Yunani melambangkannya pada Hercules yang kuat, Oddeseus yang pemberani atau Athena yang bijak. Orang Mesir mengagungkan hewan-hewan tertentu hingga lahir cerita makhluk-makhluk hybrid berbadan manusia berkepala burung, atau setengah pria setengah singa.Â
Tetapi benarkah ada manusia sempurna? Sekuat beruang, selembut malaikat dan seberani ksatria-ksatria dalam cerita-cerita? Tentu tidak ada. Justru karena ketidaksempurnaan itu maka manusia disebut manusia, bukan dewa atau malaikat.Â
Namun sulit rasanya menginsafi ketidaksempurnaan. Inipun juga bagian dari kemanusiaan. Bagi mereka yang belum selesai dengan dirinya sendiri, maka sering mereka melihat orang lain sebagai sosok yang sempurna, bukan untuk dipuja, melainkan dijatuhkan. Disilah salah satu faktor lahirnya dengki, kemarahan atas kesempurnaan orang lain.
Mendengki Sampai Mati
Dengki bisa berubah jadi penyakit yang menggerogoti jiwa, mengubah pandangan yang tadinya cerah berbinar menjadi gulita penuh amarah. Hati jadi tidak tenang dan semangat naik turun. Dengki lebih berbahaya dari luka karena memegang panci yang panas atau kena beling. Karena urusannya adalah tentang hati yang kotor yang membuat pikiran akhirnya mereka-reka celaka orang lain.Â
Imajinasi adalah sesuatu yang hakiki. Bahkan imajinasi adalah bahan bakar sains. Sedang sains adalah motor penggerak peradaban. Lantas bagaimana dengan imajinasi dari para pendengki? Tidak lain dan tidak bukan adalah fantasi untuk mencelakakan sesamanya.
Sampai disini semua setidaknya masih baik-baik saja, tetapi jika terus dipelihara, maka dengki dan iri, nafsu dan kepicikan akan merenggut keindahan hidup serta menyeret insan manusia menjadi iblis.Â
Mendengki itu sia-sia, terlebih jika alasannya mengada-ada, semisal karena beda pilihan lurah.
Dengki Itu Tidak Berguna
Aku pernah membonceng seorang teman. Di jalan yang sibuk, ada makhluk kurang waras yang melawan arus. Nyaris kami tabrakan, tetapi untung temanku mampu menghindar. Selamatlah aku dari ancaman masuk ICU.
Sepanjang perjalanan temanku mengomel tiada henti. Hebatnya sampai dua minggu ke depan, topik pembicaraannya masih seputar insan tanpa otak yang melawan arus di kala sedang ramai-ramainya itu. Ia berencana mencari si kutu kupret itu dengan bermodalkan sekelebat seragam dan jenis motor yang mampu ia ingat.Â
Mungkin mantan calon penabrak kami sudah sampai rumah, makan nasi goreng dan bercinta delapan ronde dengan istrinya. Sedang temanku terkungkung dalam amarah yang meledak-ledak, membuat siapapun yang ada di dekatnya jadi ikut menderita. Apa ada manfaat dari semua itu?
Berdamai
Dengki itu sama seperti meminum racun tetapi  berharap orang lain yang mati. Mungkin mereka mati, karena sama-sama menjadi pendengki karena kita. Atau mereka memang sudah waktunya mati, dengan tenang dan damai. Sedang bagi Anda yang memelihara dengki, hidup akan seperti dikejar setan.Â
Seorang filsuf besar Indonesia pernah berkelakar bahwa tidak ada jabatan yang perlu dipertahankan mati-matian. Kalau omongan ini diucapkan oleh seorang pengangguran, maka resonansinya biasa saja. Tetapi bagaimana jika yang mengucapkannya adalah seorang presiden dengan jutaan pendukung yang siap jadi benteng hidup?
Mendengki itu sia-sia, terlebih jika alasannya mengada-ada, semisal karena beda pilihan lurah. Bisa saling tidak bertegur sapa di warung kopi dan mendendam terus menerus, padahal kedua peserta pilihan lurah, baik yang jadi maupun yang kalah sudah asyik makan ayam bakar bersama-sama sambil membuka visi masing-masing tentang bagaimana cara memajukan desa.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H