Mohon tunggu...
Guritno AS
Guritno AS Mohon Tunggu... Penulis - Penulis | Pengajar | Wiraswasta

Seorang pengajar yang hobi menulis. Biasa menulis di media sosial, LinkedIn, Esaiedukasi.com dan tentu saja Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dengki, Minum Racun Bermimpi Orang Lain Mati

13 Juni 2020   02:24 Diperbarui: 13 Juni 2020   02:31 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sampai disini semua setidaknya masih baik-baik saja, tetapi jika terus dipelihara, maka dengki dan iri, nafsu dan kepicikan akan merenggut keindahan hidup serta menyeret insan manusia menjadi iblis. 

Mendengki itu sia-sia, terlebih jika alasannya mengada-ada, semisal karena beda pilihan lurah.

Dengki Itu Tidak Berguna

Aku pernah membonceng seorang teman. Di jalan yang sibuk, ada makhluk kurang waras yang melawan arus. Nyaris kami tabrakan, tetapi untung temanku mampu menghindar. Selamatlah aku dari ancaman masuk ICU.

Sepanjang perjalanan temanku mengomel tiada henti. Hebatnya sampai dua minggu ke depan, topik pembicaraannya masih seputar insan tanpa otak yang melawan arus di kala sedang ramai-ramainya itu. Ia berencana mencari si kutu kupret itu dengan bermodalkan sekelebat seragam dan jenis motor yang mampu ia ingat. 

Mungkin mantan calon penabrak kami sudah sampai rumah, makan nasi goreng dan bercinta delapan ronde dengan istrinya. Sedang temanku terkungkung dalam amarah yang meledak-ledak, membuat siapapun yang ada di dekatnya jadi ikut menderita. Apa ada manfaat dari semua itu?

Berdamai

Dengki itu sama seperti meminum racun tetapi  berharap orang lain yang mati. Mungkin mereka mati, karena sama-sama menjadi pendengki karena kita. Atau mereka memang sudah waktunya mati, dengan tenang dan damai. Sedang bagi Anda yang memelihara dengki, hidup akan seperti dikejar setan. 

Seorang filsuf besar Indonesia pernah berkelakar bahwa tidak ada jabatan yang perlu dipertahankan mati-matian. Kalau omongan ini diucapkan oleh seorang pengangguran, maka resonansinya biasa saja. Tetapi bagaimana jika yang mengucapkannya adalah seorang presiden dengan jutaan pendukung yang siap jadi benteng hidup?

Mendengki itu sia-sia, terlebih jika alasannya mengada-ada, semisal karena beda pilihan lurah. Bisa saling tidak bertegur sapa di warung kopi dan mendendam terus menerus, padahal kedua peserta pilihan lurah, baik yang jadi maupun yang kalah sudah asyik makan ayam bakar bersama-sama sambil membuka visi masing-masing tentang bagaimana cara memajukan desa. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun