Mohon tunggu...
Adi Faridh
Adi Faridh Mohon Tunggu... Pendidik Merdeka

Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Nature

Resolusi Pentahelix Banjir Bengawan Jero

2 Maret 2022   15:21 Diperbarui: 2 Maret 2022   15:31 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Opini
Resolusi Pentahelix Banjir Bengawan Jero


Oleh Adi Faridh*)

Rutinitas setiap penghujung tahun bagi masyarakat di hilir Bengawan Solo adalah merawat kesabaran ekstra. Wilayah geografis yang dikenal dengan sebutan bonorowo atau Bengawan Jero ini memikul beban klasik terdampak banjir. Sebuah konsekuensi logis dari topografi yang lebih rendah dari kawasan sekitar dan berada di lahan pasang surut daerah aliran Bengawan Solo.

Kondisi topografi bonorowo ini melingkupi sekitar 50,17 persen luas Kabupaten Lamongan bagian tengah yang tersebar di delapan kecamatan. Rilis berita dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Lamongan menyebutkan bahwa sampai 30 Desember 2021 banjir telah melanda enam kecamatan dan merendam 1.780 rumah penduduk.  

Ketinggian genangan akibat luapan air anak Bengawan Solo ini bervariasi mulai dari 20 cm sampai 60 cm. Tingginya curah hujan serta air kiriman dari hulu diklaim BPBD sebagai pemicu banjir yang merendam lahan pertanian dan fasilitas umum termasuk akses jalan antar kecamatan mulai dari Turi, Karanggeneng, Kalitengah, Karangbinangun, Deket, dan Glagah.

Sebagai problematika rutin di musim penghujan  sebetulnya banjir ini bukan fenomena baru bagi masyarakat Bengawan Jero. Arsip sejarah Algemeene Secretarie 3091/1 menyimpan catatan kelam bahwa  zaman kolonial Belanda tepatnya 17 Februari 1896 terjadi banjir besar di Lamongan yang merendam wilayah ini. 

Bahkan catatan jurnalistik Suluh Indonesia 26 Maret 1966 melansir berita banjir besar mencapai ketinggian 3,5 meter dengan arus yang sangat deras pernah membobol tanggul di Karangbinangun dan meluas hampir memasuki Kota Lamongan.

Kearifan lokal mengilhami masyarakat Bengawan Jero untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan geografisnya. Etos kerja keras, rajin, dan ulet menjadikan tantangan berbuah peluang dan hasil. 

Publikasi ilmiah yang diunggah website Universitas Gadjah Mada melaporkan hasil riset program doktoral oleh Soegiyanto akademisi dari Unesa tentang kecerdasan beradaptasi masyarakat bonorowo dengan lingkungan banjir. 

Hidup dalam ancaman banjir jika disikapi kreatif juga bisa mengilhami pilihan strategi mata pencaharian dengan merotasi pola tanam dan pola bertambak. Alhasil, kecakapan beradaptasi membuahkan hasil tingkat pendapatan tinggi dan taraf ekonomi masyarakat Bengawan Jero berada di atas rata-rata masyakat Lamongan.

Kondisi banjir yang rutin melanda Bengawan Jero ini bukanlah bencana yang sengaja dibiarkan sehingga kemudian direspon cibiran dan umpatan dari beberapa kalangan masyarakat. 

Cetak biru dan masterplan pengendalian banjir sudah dirumuskan dan dilaksanakan pengerjaannya oleh instansi pusat  serta instansi teknis terkait Pengendalian banjir secara komperhensif dengan metode dan formulasi gabungan antara pembangunan tanggul,  bendung gerak, sudetan (flood way), normalisasi rawa dan waduk merupakan upaya yang diharapkan mampu mengendalikan banjir sekaligus pemanfaatan sumberdaya air. Baik sebagai penyediaan air baku, pencegahan intrusi air laut, dan sarana transportasi.

Era transformasi digital yang tidak diimbangi dengan literasi akan menjadikan segelintir oknum tergelincir dalam menyikapi fenomena bencana. Banjir sebagai bencana sepatutnya disikapi dengan empati dan kedermawanan (filantropi) terhadap masyarakat yang terdampak. 

Tetapi jika kita melintas di lini masa media sosial banyak meme, gambar, dan video humor tentang banjir yang diedit dan dieksploitasi. Bahkan di salah satu grup medsos ada hasutan dan ajakan untuk membongkar salah satu dam pintu air di wilayah Bengawan Jero yang diasumsikan sebagai penyebab banjir. Contoh ironi oknum masyarakat yang tuna literasi bencana.

Sejatinya, upaya pencegahan, kesiapsiagaan (mitigasi), adaptasi, dan penanggulangan bencana apapun baik bencana alam dan bencana buatan manusia termasuk bencana banjir tidak hanya menjadi tanggung jawab yang dibebankan ke pundak pemerintah. 

Tanggung jawab semua pihak dengan bekerja sama bahu membahu di lingkungan dan ranah kewenangannya masing-masing akan menjadi solusi. Paling tidak ada lima pihak atau kolaborasi multipihak (pentahelix) yang harus sinergi untuk menekan risiko bencana agar tidak semakin parah dampaknya.

Konsep kolaborasi pentahelix merupakan inovasi solusi dengan melibatkan multipihak dari unsur pemerintah, masyarakat, akademisi, pelaku usaha, dan media yang bersatu padu saling mengisi, dan menginspirasi untuk mencari pemecahan masalah. Resolusi pentahelix atau kebulatan pernyataan pendapat oleh lima multipihak yang terkait dalam pengambilan keputusan dan penentu kebijakan dapat dijabarkan segaris dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai berikut:

Pertama, Pemerintah. Pemangku kebijakan dengan tugas utama melayani publik yang disandang pemerintah menjadikan kehadiran dan perannya sangat sentral. Sejak dalam perumusan dokumen rencana pembangunan, rencana kerja, sampai penganggaran komitmen itu seharusnya sudah teragendakan. 

Demikian juga taktisnya, dalam siklus penanganan bencana banjir mulai dari tahap pencegahan dan mitigasi,  aksi kesiapsiagaan, tanggap darurat, adaptasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Komitmen pemerintah Kabupaten Lamongan dengan OPD teknis terkait sudah on the track. 

Selain kesiagaan informasi dan penanganan oleh BPBD,  aksi tanggap darurat Pemkab juga telah menyalurkan bantuan logistik beras dan telur, menyiapkan bantuan transportasi untuk kelancaran mobilitas masyarakat, serta mendirikan 15 posko kesehatan di 29 desa terdampak untuk melayani pemeriksaan dan pengobatan masyarakat.

Kedua, masyarakat. Dampak bencana banjir yang pertama kali merasakan adalah masyarakat. Masyarakat terdampak banjir rentan mengalami kerusakan tempat tinggal, penurunan kondisi kesehatan, terganggunya lahan usaha dan mata pencaharian, serta pada taraf tertentu menimbulkan tekanan psikologis. 

Pada momentum inilah kehadiran pemerintah atau pihak pertama di atas menjadi krusial untuk memastikan korban bencana banjir dapat ditangani dan pulih. Di pihak masyarakat tentu saja tidak semuanya rentan terdampak. Bagi masyarakat tangguh bencana atau komunitas yang tidak terdampak bisa mengulurkan bantuan kepada korban bencana adalah tindak nyata solidaritas, kedermawanan, dan gotong royong.

Ketiga, Akademisi. Akademisi sebagai kasta terpilih karena kecakapan intelektualnya. Buah pemikirannya dari hasil kajian, konsep, riset, dan temuan teknologi dapat diimplementasikan untuk mendeteksi, mengurangi dampak, dan menanggulangi banjir. Keempat, Pelaku usaha, Tanggung jawab sosial pelaku usaha atau perusahaan dapat meringankan beban masyarakat rentan dan korban bencana. 

Donasi logistik, pakaian, obat-obatan dan perbaikan prasarana fisik pasca banjir sangat dibutuhkan. Kolaborasi penggalangan dan penyaluran antara pelaku usaha, komunitas relawan, dan pemerintah adalah komitmen yang perlu dibangun.

Kelima, Media. Salah satu pilar demokrasi ini dapat menjadi corong yang menyuarakan informasi akurat. Jurnalis dapat merilis informasi kondisi cuaca harian, visualisasi peta wilayah terdampak banjir, reportase dari lokasi banjir, dan beragam pernik pemberitaan banjir. 

Pemberitaan media dengan informasi yang valid dalam mitigasi bencana dapat meminimalisir dampak bencana dan menyelamatkan korban. Media dapat juga menjadi penganjur keteladanan di era digital dengan pemberitaan obyektif yang menggiring opini dan energi publik agar terketuk empati untuk membantu korban bencana.

Setiap pihak memiliki tanggung jawab masing-masing yang harus dijalankan secara berkelanjutan dan mematuhi komitmen bersama demi risiko bencana banjir tidak semakin menyengsarakan masyarakat. Percayalah, kesabaran dan ketangguhan masyarakat Bengawan Jero sudah teruji adaptif lintas generasi menyintas banjir. Inilah yang dinamakan resiliensi.

*) Adi Faridh adalah Alumni Geografi Universitas Negeri Malang tinggal di Lamongan Jawa Timur

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun