Pada suatu pagi yang cerah di sebuah desa kecil di pinggir kota, Zahrah, seorang gadis muda yang penuh semangat, duduk di bawah pohon randu yang besar. Buku-buku terbuka di depannya, namun pikirannya melayang jauh, menatap langit biru yang terbentang tak berujung. Mimpi besarnya selalu menghantui, mimpi untuk pergi jauh, mencari ilmu yang tak pernah dia temui di desa kecil ini. Karena terbatasnya perkembangan teknologi dan kemajuan pendidikan disini.
Sejak kecil, Zahrah sudah diajarkan oleh ayahnya untuk selalu menghargai ilmu. Ayahnya, seorang guru agama yang bijaksana, sering berkata, "Ilmu itu lebih berharga daripada harta, Zahrah. Carilah ilmu itu, meski harus pergi ke negeri Cina sekalipun."pesan itupun terus terngiang-ngiang di pikiran zahrah
Zahrah tak pernah benar-benar mengerti mengapa ayahnya selalu menyebut negeri Cina. Baginya, Cina adalah tempat yang jauh, tak terbayangkan bisa dicapai. Namun, kata-kata ayahnya selalu terngiang dalam hatinya, dan zahrah terus membayangkan bagaimana jika dirinya bisa mencari ilmu kesana
Suatu hari, kesempatan itu datang. Di kota besar, ada beasiswa untuk belajar di luar negeri, termasuk ke Cina. Zahrah merasa seolah-olah dunia membuka jalan bagi impian yang selama ini terpendam. Namun, hatinya ragu. Apakah dia benar-benar mampu? Apakah dia bisa meninggalkan keluarganya dan pergi sejauh itu?
Sore itu, Zahrah memutuskan untuk mengunjungi ayahnya di sekolah. Ia menemui sang ayah yang sedang duduk di ruang kelas mengajar murid-murid kecil. "Ayah, aku ingin pergi ke Cina. Aku ingin belajar lebih banyak. Tapi... aku takut," ujar Zaharah dengan suara terbata.
Ayahnya tersenyum lembut. "Zahrah, ingatlah selalu, ilmu itu tak mengenal batasan. Bahkan jika harus menempuh perjalanan jauh, itu tak akan menjadi halangan bagi mereka yang benar-benar ingin belajar. Jangan pernah takut untuk meraih ilmu, karena ilmu adalah cahaya yang akan membimbingmu."
Dengan kata-kata itu, Zahrah merasa seolah-olah beban berat yang mengganjal di hatinya perlahan hilang. Ayahnya selalu bisa memberikan kebijaksanaan yang menenangkan. Ia pun memutuskan untuk melangkah maju, mengejar mimpinya.
Setelah berbulan-bulan mempersiapkan diri, Zahrah akhirnya berangkat ke Cina. Ia tiba di Beijing dengan hati berdebar, namun penuh harapan. Selama setahun di sana, Zaharah belajar berbagai hal: sains, teknologi, budaya, dan bahasa yang asing baginya. Setiap hari adalah tantangan, namun Zahrah merasa semakin dekat dengan tujuan hidupnya. Ia menyadari bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang menuntut ilmu, tetapi juga tentang menemukan dirinya sendiri.
Suatu malam, saat Zahrah duduk di ruang perpustakaan kampus, ia merenung. Di luar jendela, langit Beijing tampak luas dan penuh bintang. Zahrah ingat akan pesan ayahnya, dan ia tersenyum.
"Ilmu itu memang tak mengenal batas," bisiknya pada dirinya sendiri. "Dan kini, aku berada di sini, jauh dari rumah, di tanah yang jauh. Tapi, hati ini merasa dekat dengan semua yang telah aku pelajari."
Zahrah menyadari bahwa yang dimaksud dengan "Cina" dalam hadis itu bukanlah sekadar tempat, tetapi semangat untuk mengejar ilmu tanpa henti, meski harus menempuh jarak yang sangat jauh. Ia merasa seperti telah menggapai bintang di langit, dan setiap langkah yang ia ambil semakin membuatnya dekat dengan tujuannya.
Tak hanya ilmu yang ia dapatkan di sana, tetapi Zahrah juga belajar tentang ketekunan, keberanian, dan pentingnya terus mencari pengetahuan, bahkan di tempat yang tak terbayangkan sebelumnya.
Saat Zahrah akhirnya kembali ke tanah air, ia tidak hanya membawa pengetahuan, tetapi juga cerita-cerita berharga dari perjalanan panjangnya. Ia mengajarkan pada adik-adiknya, bahwa ilmu adalah cahaya yang tak terbatas oleh ruang dan waktu. Dan, seperti yang diajarkan oleh ayahnya, ilmu itu adalah jalan yang akan membawa kita menuju kebaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H