[caption id="" align="aligncenter" width="575" caption="Yasukuni temple - japan-guide.com"][/caption]
Langkah Jepang membakar emosi dua negara tetangganya seperti China dan Korea Selatan sangat terencana dan penuh pertimbangan. Selain terlihat cukup efektif, langkah taktis Jepang dalam mengirim pesan sebenarnya lebih ditujukan kepada bekas jajahannya China yang sepanjang tahun 2013 lalu membuat gelisah negeri sakura itu. Kegelisahan karena kaim zona pertahanan udara sepihak oleh China di Laut Cina Timur untuk memperkuat klaim mereka atas kepulauan Diayou (Senkaku-Jepang).
Belum genap satu hari berlalu sejak dunia merayakan pergantian tahun termasuk China, seorang menteri kabinet Jepang pada Rabu (1/1/14) dikabarkan mengunjungi kuil perang bermasalah di Tokyo. Pola kunjungan sang menteri ini terlihat terencana oleh karena hanya berselang enam hari setelah kunjungan Perdana Menteri Shinzo Abe, yang sukses membuat marah negara tetangganya hingga memicu kritik dari Washington.
Tentu saja Yoshitaka Shindo, Menteri Dalam Negeri dan Komunikasi, mengunjungi kuil Yasukuni pada Tahun Baru sudah penuh pertimbangan. Sementara pada saat yang sama ribuan orang mendatangi kuil Shinto dan Buddha sesuai tradisi untuk berdoa bagi keberuntungan pada hari baru setiap tahun, termasuk 2014. Ini bisa diartikan sebagai dukungan bagi kunjungan PM Abe lalu dan menegaskan bahwa Pemerintah Jepang juga berhak berdoa kepada leluhur mereka.
PM Shinzo Abe melakukan kunjungan pertamanya sebagai perdana menteri ke kuil itu, yang menghormati korban perang Jepang, termasuk sejumlah pejabat tingkat tinggi yang dieksekusi karena kejahatan perang setelah Perang Dunia II. Dua negara korban kejahatan oleh mereka yang dianggap pahlawan itu, China dan Korea Selatan melihat kuil Yasukuni sebagai pengingat atas kebrutalan imperialis Jepang di masa lalu dan simbol agresi di masa perang. China menganggap setiap kunjungan pemerintahan Jepang ke kuil tersebut sebagai kegagalan Tokyo untuk menebus sejarahnya.
"Saya melakukan kunjungan dengan perasaan hormat bagi orang-orang yang kehilangan nyawa mereka dalam perang," kata Shindo, cucu dari Letnan Jenderal Tadamichi Kuribayashi, yang memimpin tentara kekaisaran Jepang dalam pertempuran sengit melawan pasukan Amerika Serikat di pulau Pasifik Iwo Jima pada hari-hari terakhir Perang Dunia II (antaranews.com) "Saya telah memperbaharui keinginan saya untuk perdamaian, berharap bahwa perang tidak akan terulang lagi," lanjutnya kepada wartawan (seperti dikutip dari kantor berita Kyodo)
Yang paling terkenal dari pemimpin Jepang adalah Junichiro Koizumi ketika menjabat sebagai perdana menteri beberapa tahun lalu. Dia berulang kali melakukan kunjungan ke kuil itu hingga mengakibatkan hubungan Tokyo dengan Beijing dan Seoul berada di titik terburuk mereka dalam beberapa dasawarsa. Hal yang sebenarnya biasa bagi anggota parlemen konservatif dan secara teratur melakukan doa di kuil itu untuk mereka yang tewas dalam perang. Bahkan Shindo sendiri mengunjungi kuil itu setidaknya tiga kali tahun lalu termasuk pada tanggal 15 Agustus, peringatan menyerahnya Jepang dalam Perang Dunia II, kata Kyodo News yang dikutip dari AFP.
Namun pola kunjungan pejabat pemerintah Jepang, terutama Perdana Menteri dan anggota kabinet dapat dilihat sebagai aksi provokasi bagi Korsel dan China. Ini merupakan isu paling sensitif bagi negara Asia Pasifik itu dan berulangkali ditunjukkan dengan penarikan para Duta Besar.
Amerika Serikat yang menyayangkan kunjungan Abe akhir tahun 2013 lalu menilai waktu yang dipilih sang Perdana Menteri tidak tepat, karena semakin memanaskan situasi ketika isu Air Defense Identification Zone (ADIZ) dan klaim kepulauan Senkaku.
Disisi lain, Jepang juga merasa berkewajiban melindungi kepentingan klaim teritorialnya selain kewajiban sebagai pewaris sejarah. Sehingga jikalau China merasa berhak membuat kegelisan dengan ADIZ-nya dan tumpang tindih klaim kepulauan tak berpenghuni, maka Jepang juga berhak melakukan apa yang kita sebut sebagai perang syaraf. Meski harus ada negara lain yang juga ikut tersinggung - dalam hal ini Korea Selatan. Perang urat syaraf ala Jepang dengan 'senjata" Yasukuni berulangkali membuat para tetangganya kebakaran jenggot.
Secara ekonomi dan militer, China bukan lagi tandingan bagi Jepang. Kebangkitan ekonomi China telah memperkaya rasa percaya diri negeri Tirai Bambu itu dalam beberapa aspek, kecuali mungkin kedewasaan diplomasi. Jika kuil Yasukuni selalu menjadikan petinggi Beijing dan rakyatnya terlihat sebagai bersumbu pendek, maka kuil itu juga akan jadi "pengaduan" Tokyo setiap kali mereka merasa lemah tetapi siap selalu untuk berperang.