Mohon tunggu...
Adie Sachs
Adie Sachs Mohon Tunggu... Penulis - Hanya Itu

Happy and Succesfull... #Alert #Reveal

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Serunya Tarian Memanggil Hujan

9 Februari 2014   03:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:01 912
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1391892253904759355

Tradisi meminta hujan tidak hanya sekedar urusan dukun atau pendeta pendeta aliran kepercayaan masa silam. Di jaman modern ini pun, warisan leluhur itu tidak hilang begitu saja. Selain oleh teknologi rekayasa cuaca yang tidak murah, meminta hujan dengan cara tradisional masih melekat dan sering dipraktekkan oleh masyarakat kebudayaan tertentu di Indonesia. Tetapi, ada hal hal yang harus dipenuhi sebelum sebuah masyarakat melakukan ritual meminta hujan selain musim kemarau yang berkepanjangan pastinya.

Masyarakat dari bangsa Batak mengenal Tortor bukan sekedar tarian pesta pesta resepsi, hiburan atau produk seni semata. Tortor sebagaimana kebanyakan tarian di Nusantara memiliki makna dan tujuan beraneka macam termasuk meminta hujan. Gerakan Tortor yang kelihatan sederhana, tidak rumit dan mudah diikuti itu sebenarnya memiliki banyak makna filosofis dan tujuan secara keseluruhan. Itulah sebabnya bangsa Batak boleh berbangga dengan klaim bahwa Tortor adalah ibu semua tarian sejagat raya.

Beberapa keunikan Tortor yang mengesahkan tari ibu sejagat atau Ibu Pertiwi adalah tiga serangkai yang tidak dapat dipisahkan. Ke-tiga hal yang dimaksud adalah Gondang, Ulos dan Tortor. Artinya, Tortor hanya gerakan biasa saja yang nihil arti tanpa Gondang ( alat musik Batak ) dan Ulos (kain khas Batak). Demikian pula Ulos hanya berarti selendang adat biasa tanpa Tortor dan Gondang. Begitu juga Gondang adalah musik hiburan yang kreatif semata ketika tidak mengiringi tarian Tortor dengan Ulos dipundak penarinya.

Itulah sebabnya ketika negara tetangga ingin mengajukan klaim atas Tortor dan Gondang/Gordang Sembilan, ditanggapi dingin oleh bangsa Batak. Bahkan tidak menimbulkan kekhawatiran berlebihan karena mereka tahu bahwa klaim itu justru akan jadi bahan tertawaan dunia apalagi jika tidak dimainkan oleh orang Batak sendiri.

Tarian Hujan.


[caption id="attachment_311020" align="aligncenter" width="640" caption="Illustrasi dok.pribadi"][/caption]

Selain tarian yang sering digunakan untuk upacara perayaan adat, Tortor juga bersifat mistis dan asketis. Disebut mistis dan asketis karena Tortor dapat juga ditarikan sebagai bentuk syukur atas panen raya di sawah ladang, mengirim do'a pada leluhur, membuka musim tanam, menolak bala dan banyak lagi yang lain termasuk meminta hujan tadi. Setiap unsur dalam Tortor baik gerak, musik, penari, pemusik ( pargonsi ) dan pemuka adat harus menjalani gaya hidup asket ( pesuluk ) sebelum akan mempersembahkan tarian Tortor untuk salah satu hal yang disebutkan diatas.

Tarian hujan biasanya dilakukan dalam rangkaian puncak untuk memohon kepada langit agar menurunkan hujan setelah musim kemarau yang berkepanjangan. Ketika sungai hampir mengering dan sawah sudah terlalu keras untuk ditanami tanaman pengganti seperti jagung atau palawija lainnya. Tarian hujan di kampung saya biasanya dikenal dengan sebutan Tortor Nantinjo atau di Simalungun dikenal juga dengan Tortor SiTio ( merujuk pada artian "Jernih" ). Sebutan bisa berbeda pada setiap kampung (huta), atau Bius ( daerah otonom setingkat negara bagian - sebelum Indonesia merdeka ).

Menurut cerita para tetua di kampung penulis di Siantar sana, Tortor Si Tio jaman dulu biasanya dilakukan oleh seorang Raja Besar ( Raja Diraja ) atas permintaan Raja raja Bius yang wilayahnya terkena kekeringan. Kemudian Raja Diraja akan memutuskan apakah akan melakukan sendiri dari Istananya atau mengijinkan Raja Bius memimpin sendiri. Tetapi jika kekeringan berskala kecil, Raja Huta juga boleh melakukan permohonan hujan tanpa harus meminta kepada Raja Bius apalagi kepada Raja Diraja. Raja Diraja yang dikenal di masyarakat Batak sendiri, dan menjadi tujuan do'a do'a ada dua yaitu Sisingamangaraja di Bakkara dan Djonggi Manaor di Pusuk Buhit ( dipercaya sebagai tempat Raja Batak pertama "diturunkan dari langit" ). Tetapi ada juga Ompu Palti Raja yang kapasitas dan kesaktiannya setara dengan dua raja tadi.

Penulis sendiri pernah menjadi bagian dari penari Tortor ini untuk memohon hujan ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 3. Untuk detail bagian masing masing dari pemusik Gondang, Datu ( orang pintar pria ), Sibaso ( orang pintar Wanita / penangkal serangan jahat ) dan pemimpin ritual adat saya kurang perhatikan karena ketika itu penulis masih kecil. Yang saya ingat ada juga gadis kecil yang ikut disamping saya manortor ( menari Tortor ) ditengah arena acara - sawah. Usia saya ketika itu 9 tahun dan gadis kecil itu 7 tahun. Kami menggunakan pakaian adat Ulos hitam dengan mahkota dihiasi setangkai kecil daun beringin, setangkai padi, dan bunga sanggar ( sejenis perdu ).

Kami ( sepasang anak kecil ) mewakili kehadiran Raja yang sudah tidak lagi ada dan sepertinya dipilih berdasarkan usia. Sejak dipilih, 3 hari sebelum hari H saya ingat kalau saya tidak diperkenankan makan makanan yang diolah alias hanya makan buah buahan saja. Dalam acara itu, kami manortor sesuai irama Gondang dalam tiga jenis Tortor yang ditentukan yaitu Gondang Mula-mula, Gondang Somba, Gondang Mangaliat, Gondang Simonang-monang, Gondang Sibungajambu, Gondang Marhusip, dan seterusnya yang  diakhiri dengan Gondang Hasahatan Sitio-tio.

Tidak ada latihan atau arahan khusus bagi kami ketika itu, karena Tortor yang mistis itu memang tidak perlu latihan. Irama Gondang akan menuntun para penari seperti dalam keadaan trans namun tetap sadar dengan keadaan sekitar. Meski mata tertutup karena khusyuk dengan tarian, ketika itu saya tetap bisa merasakan orang orang yang menari mengelilingi kami dalam keadaan menunduk, do'a do'a yang dimohonkan, dan seolah kami menyampaikan doa doa itu ke Atas. Semua terasa ringan, kaki melayang dan kami seperti melihat semua orang dalam selayang pandang. Mengetarkan...

Uniknya kami tidak menemukan perbedaan keyakinan menghalangi seseorang ikut ambil bagian dalam acara itu. Semua, baik Islam maupun Kristen bersatu padu dari persiapan hingga pelaksanaan. Mungkin karena semua juga merasakan betapa kerontangnya lahan mereka hingga pohon pisang pun jadi kerdil dan sulit berbuah.

Hingga acara usai kami tidak merasa lelah, malah sangat terhibur. Dengan irama Gondang dan anak anak lain yang kemudian bebas berlarian menghampiri kami karena selebihnya adalah urusan orang dewasa. Kami tetaplah anak anak kecil yang bebas bermain main - termasuk ikut manortor dan menikmati hidangan - diantara rangkaian ritual yang berlangsung hampir seharian penuh itu.

Tortor kini.

Gerakan Tortor memang tidak serumit tarian yang ada di banyak daerah di Nusantara, apalagi jika dibandingkan tari Bedaya yang saya dengar hanya boleh ditarikan dihadapan Sultan Yogya Hadiningrat. Tortor juga masih mudah disaksikan di acara acara pernikahan atau pesta marga di kalangan warga Batak. Kelestariannya tidak mengkhawatirkan dibanding tarian langka warisan budaya leluhur kita di wilayah lain di Indonesia ini.

Tetapi ada yang menggelisahkan dalam kelestarian Tortor kini, yaitu lemahnya pemahaman makna dan filosofi Tortor ketika ditarikan bersama Gondang dan Ulos. Bahkan Tortor Sigale-gale dan Tortor lain yang dipertunjukkan bagi wisatawan di Pulau Samosir / Danau Toba sana, cenderung hanya sebagai atraksi semata tanpa makna dan pengetahuan tentangnya baik oleh penari. Penonton tidak diberi penjelasan makna filosofis dan bahkan kegunaan setiap sesi Tortor yang diiringi Gondang itu.

Jika saja masyarakat adat Batak, tanpa harus menunggu uluran tangan pemerintah, dapat memaksimalkan potensi Tortor sebagai bahan ajar nilai nilai kehidupan, maka Tortor tidak hanya terlihat sebagai gerak statis yang membosankan seperti celetukan orang jiran. Meski bukan tarian penuh atraksi dengan goyang pinggul menggairahkan, Tortor adalah ibu segala jenis tari. Disana ada kebebasan, pengendalian diri, kepatuhan, hormat, sujud, syukur, merdeka jiwa dan asketisme serta mistisme spiritual. Dan itu terlihat hanya jika Tortor bersanding dengan Gondangnya dan Ulos ulos untuk penarinya. Sebuah nilai lebih bagi para turis manca jika nilai nilai dalam Tortor dapat mereka pelajari dari dekat dalam nuansa Indonesia ancient culture yang mereka temui.

Akan sangat janggal melihat orang manortor tanpa Ulos,

Akan sangat janggal melihat orang manortor tanpa Gondang/Gordang,

Dan akan sangat janggal melihat Tortor ditarikan bukan oleh orang Batak yang mengerti makna didalamnya. Kebesaran budaya Indonesia akan semakin indah dimata dunia jika kita menemukan tradisi dan pengetahuan yang saling melengkapi.

Horas... Mejuah Juah...

=Sachsâ„¢=

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun