Mohon tunggu...
Adie Sachs
Adie Sachs Mohon Tunggu... Penulis - Hanya Itu

Happy and Succesfull... #Alert #Reveal

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Serunya Tarian Memanggil Hujan

9 Februari 2014   03:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:01 912
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1391892253904759355

Tidak ada latihan atau arahan khusus bagi kami ketika itu, karena Tortor yang mistis itu memang tidak perlu latihan. Irama Gondang akan menuntun para penari seperti dalam keadaan trans namun tetap sadar dengan keadaan sekitar. Meski mata tertutup karena khusyuk dengan tarian, ketika itu saya tetap bisa merasakan orang orang yang menari mengelilingi kami dalam keadaan menunduk, do'a do'a yang dimohonkan, dan seolah kami menyampaikan doa doa itu ke Atas. Semua terasa ringan, kaki melayang dan kami seperti melihat semua orang dalam selayang pandang. Mengetarkan...

Uniknya kami tidak menemukan perbedaan keyakinan menghalangi seseorang ikut ambil bagian dalam acara itu. Semua, baik Islam maupun Kristen bersatu padu dari persiapan hingga pelaksanaan. Mungkin karena semua juga merasakan betapa kerontangnya lahan mereka hingga pohon pisang pun jadi kerdil dan sulit berbuah.

Hingga acara usai kami tidak merasa lelah, malah sangat terhibur. Dengan irama Gondang dan anak anak lain yang kemudian bebas berlarian menghampiri kami karena selebihnya adalah urusan orang dewasa. Kami tetaplah anak anak kecil yang bebas bermain main - termasuk ikut manortor dan menikmati hidangan - diantara rangkaian ritual yang berlangsung hampir seharian penuh itu.

Tortor kini.

Gerakan Tortor memang tidak serumit tarian yang ada di banyak daerah di Nusantara, apalagi jika dibandingkan tari Bedaya yang saya dengar hanya boleh ditarikan dihadapan Sultan Yogya Hadiningrat. Tortor juga masih mudah disaksikan di acara acara pernikahan atau pesta marga di kalangan warga Batak. Kelestariannya tidak mengkhawatirkan dibanding tarian langka warisan budaya leluhur kita di wilayah lain di Indonesia ini.

Tetapi ada yang menggelisahkan dalam kelestarian Tortor kini, yaitu lemahnya pemahaman makna dan filosofi Tortor ketika ditarikan bersama Gondang dan Ulos. Bahkan Tortor Sigale-gale dan Tortor lain yang dipertunjukkan bagi wisatawan di Pulau Samosir / Danau Toba sana, cenderung hanya sebagai atraksi semata tanpa makna dan pengetahuan tentangnya baik oleh penari. Penonton tidak diberi penjelasan makna filosofis dan bahkan kegunaan setiap sesi Tortor yang diiringi Gondang itu.

Jika saja masyarakat adat Batak, tanpa harus menunggu uluran tangan pemerintah, dapat memaksimalkan potensi Tortor sebagai bahan ajar nilai nilai kehidupan, maka Tortor tidak hanya terlihat sebagai gerak statis yang membosankan seperti celetukan orang jiran. Meski bukan tarian penuh atraksi dengan goyang pinggul menggairahkan, Tortor adalah ibu segala jenis tari. Disana ada kebebasan, pengendalian diri, kepatuhan, hormat, sujud, syukur, merdeka jiwa dan asketisme serta mistisme spiritual. Dan itu terlihat hanya jika Tortor bersanding dengan Gondangnya dan Ulos ulos untuk penarinya. Sebuah nilai lebih bagi para turis manca jika nilai nilai dalam Tortor dapat mereka pelajari dari dekat dalam nuansa Indonesia ancient culture yang mereka temui.

Akan sangat janggal melihat orang manortor tanpa Ulos,

Akan sangat janggal melihat orang manortor tanpa Gondang/Gordang,

Dan akan sangat janggal melihat Tortor ditarikan bukan oleh orang Batak yang mengerti makna didalamnya. Kebesaran budaya Indonesia akan semakin indah dimata dunia jika kita menemukan tradisi dan pengetahuan yang saling melengkapi.

Horas... Mejuah Juah...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun