Mohon tunggu...
Adie Sachs
Adie Sachs Mohon Tunggu... Penulis - Hanya Itu

Happy and Succesfull... #Alert #Reveal

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merpati Lipat Sayap, Papua dan Intim Terisolasi

4 Februari 2014   06:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:11 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dahlan Iskan tidak sanggup menyelamatkan maskapai pembuka isolasi Irian Jaya dari kebangkrutan. Aksi gemilang DI di Jawa Pos, PLN (sebelum jadi menteri) dan Garuda setelah menjadi menteri tidak berlaku bagi Merpati yang harus "lipat sayap". Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu tidak bisa berbuat banyak soal nasib PT. Merpati Nusantara Airlines (Merpati) yang sekarat.

Pemerintah angkat tangan dan menyerahkan sepenuhnya dengan pasrah nasib Merpati kepada manajemen, termasuk upaya penyelamatan perusahaan dari keterpurukan akibat beban utang perusahaan yang mencapai sekitar Rp6,7 triliun. Kondisi Merpati yang kian mengenaskan akibat defisit kas perusahaan, lipat sayap sejumlah rute penerbangan, tunggakan asuransi, hingga tunggakan biaya gaji karyawan akan sangat berdampak pada Papua, Papua Barat, NTT dan wilayah timur Indonesia lainnya.

Penyakit Merpati ternyata tidak kunjung bisa disembuhkan oleh para ahli manajemen yang pastinya bukan berijazah palsu. Sebab upaya penyembuhan tanpa diagnosa sudah dilakukan sejak tahun 2005 dengan menyuntik dana dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp75 M, tahun 2006 - Rp450 M, 2008 - Rp300 M, 2010 mendapat dana subloan agreement (SLA) sebesar Rp2 triliun, tahun 2011 kembali PMN Rp560 M. (Sumber:solopos/Kompas.com)

Hingga pada tahun 2012, permintaan PMN Merpati sebesar Rp200 M tidak dipenuhi karena pemerintah memutuskan tidak lagi menyuntik perusahaan tersebut. Investor yang sudah patah arang dalam melihat perkembangan Merpati membuat si burung perintis semakin merana. Apalagi dengan menurunnya jumlah pemasukan yang ditambah dengan semakin kecilnya tingkat kepercayaan masyarakat dan agen perjalanan. Selain itu, Merpati juga memiliki utang pembayaran avtur terhadap PT. Pertamina sehingga pada saat ini Pertamina hanya akan mengirimkan avtur apabila Merpati membayarnya secara tunai.

Solusi manajemen mengurangi frekuensi penerbangan, rute dan jumlah pesawat yang di operasikan juga tidak bisa berjalan sesuai rencana, karena di beberapa bandara, Merpati tidak bisa terbang karena tidak adanya suplai avtur dari Pertamina. Sekarang dengan melipat sayapnya, Merpati masih harus mengembalikan uang tiket yang sudah terlanjur dijual karena pembatalan penerbangan. Dan itu bukan jumlah yang sedikit meski juga belum tentu sudah dibelanjakan oleh manajemen.

Diluar itu semua, ada dampak yang pasti menyedihkan bagi keberlangsungan pembangunan di beberapa daerah rintisan. Kepulauan di Nusa Tenggara ( Barat dan Timur ), Maluku, Papua dan Kalimantan yang sebelumnya merasakan pembangunan oleh kehadiran Merpati akan kembali mengalam kemunduran. Mereka akan semakin terisolasi dan ke jaman dimana hanya ada angkutan laut sementara penebangan swasta belum cukup mampu mengambil alih peran Merpati.

Negeri seratus Bandara, Irian Jaya ( Papua dan Papua Barat ) dipastikan akan terganggu dari segi mobilitas para pejabatnya yang ingin atau harus bepergian untuk berkoordinasi dengan pemerintah pusat maupun tingkat I. Sejauh ini penerbangan swasta hanya mengisi rute ke Jayapura, kota terbesar di Papua. Selanjutnya penumpang harus menggunakan penerbangan perintis menuju kabupaten atau bahkan kecamatan yang memiliki Bandara cukup besar seperti Merauke, Wamena, Biak dan Fakfak bahkan sebagian besar Indonesia Timur ( Intim ).

Bayangkan jika semua pejabat atau penumpang biasa harus menggunakan pesawat carter swasta? Berapa dana dan anggaran yang habis hanya untuk kunjungan kerja? Kambing dan sapi yang selama ini menggunakan pesawat sebelum dijual ke kota akan semakin sulit dijual dengan harga yang lebih murah. Anak anak di pegunungan yang terbiasa mengejar pesawat ketika akan landing dan take off akan kehilangan hiburannya.


Itu baru dampak sekunder, sebab dampak primer ekonomi dan sosial sesungguhnya adalah kenaikan harga serta keterasingan yang kembali ke era 1980-an. Harga dan sentuhan pemerintah pada penduduk dipuncak puncak gunung Papua akan berkurang, kecuali mungkin bahwa mereka sekarang punya pesawat lain yaitu pesawat televisi dan pesawat telepon genggam. Perjalanan merekalah yang terganggu, apalagi banyak kebutuhan pokok ( sembako ) yang didatangkan dari Makassar dan Surabaya menggunakan Pesawat Merpati. Lebih cepat dari kapal laut dan lebih dimaklumi oleh awak kabinnya dibanding pesawat swasta seperti singa udara dan bahkan Garuda Indonesia Airways.

Selanjutnya kita tidak akan merasa aneh lagi melihat Bandara ditutup oleh Bupati dengan Satpol PP-nya, karena bandara sudah tutup dengan sendirinya. Sudah tidak ada lagi Merpati yang membuka isolasi daerah terpencil sebab Merpati kini sedang sakit parah, sekarat dan hanya memiliki dua sayap yang harus terlipat.

Jika ada didunia ini merpati yang gagal terbang, itu adalah Merpati Nusantara Airlines. Adakah orang pintar yang bisa merentangkan kembali sayap Merpati yang terlipat itu?

=Sachsâ„¢=

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun