[caption id="" align="aligncenter" width="465" caption="SBY (blogger.com)"][/caption] Pihak koalisi, terutama partai berkuasa (Demokrat) tidak bisa menghindarkan diri keharusan menaikkan harga BBM. Apa daya, banyak tekanan yang harus mereka terima terkait kebijakan yang sensitif ini. Lagipula selama ini pemerintahan SBY tercatat hanya berusaha membuat kebijakan publik yang populis dan berkutat pada pencitraan diri. Ketika tiba saatnya mereka berhadapan dengan penolakan dari berbagai sudut, maka hanya partai koalisi yang diharapkan satu suara dengan mereka. Ini bukan karena kita dalam keadaan darurat harga BBM itu sendiri tapi karena pemerintah tidak punya argumen yang kuat untuk beberapa hal. Pertama: harga minyak dunia tidak sedang dalam keadaan tinggi sehingga tidak ada urgensi untuk kenaikan harga saat ini. Dan jika pemerintah menilai dari segi kurs dollar yang selalu menekan Rupiah, bukankah Bank Indonesia punya banyak waktu untuk mengintervensi pasar valuta asing? Kedua : subsidi BBM membebani APBN memang diluar kewajaran. Ketika krisis moneter pada 1998 lalu, salah satu kondisi yang menyebabkan ambruknya ekonomi Indonesia adalah subsidi yang tidak terkendali. Sehingga memang masuk akal jika saat ini pun BBM Indonesia masih menjadi salah satu pengeluaran negara terbesar dengan tidak terkendalinya subsidi untuk sumber energi itu. Masalahnya pemerintah tidak dapat memberi jaminan jika harga BBM dinaikkan tanpa  mengajak bahan bahan pokok lain untuk tidak ikut naik. Ketiga : Target pemerintah untuk menghemat anggaran sekitar Rp. 40 trilliun terlalu rendah dibandingkan dengan kuota subsidi yang untuk BBM selama ini yang mencapai lebih dari Rp. 250- 300 T. Hal ini menimbulkan kecurigaan karena kebijakan yang diambil hanya bersifat jangka pendek maka kemungkinan ada agenda terselubung yang bersifat jangka pendek pula. Seperti menghadapi pemilu 2014 misalnya. Keempat: Jika kebijakan tidak populis ini tetap diambil, ada baiknya pemerintah menaikkan target pengetatan anggaran dari kenikan  harga BBM bersubsidi diatas Rp. 60 Trilliun. Karena jika hanya 20 sampai 40 T. sementara kebijakan pendukungnya seperti BLSM dan Beasiswa juga berjalan maka kenaikan BBM sebenarnya tidak mempengaruhi beban APBN-P. Pemberian BLSM dan sebagainya inilah yang sebenarnya menjadi ajang tarik ulur mengapa kenaikan harga BBM sulit diterima oleh para pengamat dan politisi diluar koalisi. Bukan soal mereka tidak peduli pada rakyat, tetapi BLSM tidak membantu mempertahankan harga komoditi produk bahan pokok. Selain itu, urgensi kenaikan harga BBM seperti disebutkan sebelumnya, tidak membantu APBN. Sehingga jika BLSM dari hasil kenaikan BBM ini patut dipersangkakan sebagai ajang menarik simpati menjelang pemilu 2013, dimana Partai Demokrat dan koalisi Setgab-nya diperkirakan sedang menanti hukuman dari rakyat. Kesimpulannya, Tidak masalah jika harga BBM dinaikkan selama pemerintah dapat menjamin harga kebutuhan pokok tetap dapat dibeli orang miskin. Menjamin ketersediaan BBM premium dan solar di seantero negeri. Menjamin BLSM bukan dari utang luar negeri dan meyakinkan semua pihak BLSM bukan kampanye pencitraan atau untuk membeli suara mereka yang miskin dan polos ketka pemilu 2014 nanti (inilah yang tidak mungkin). Pelajaran berharga dari cara pemerintahan SBY selama ini adalah, kebiasaan pencitraan telah mempersulit kebijakan yang  tidak populis meski itu mudah. Demikian pula PKS yang masih bergelayut di koalisi namun mencoba menarik kembali simpati massa karena menolak kenaikan harga BBM hanya untuk membalas pembongkaran kasus korupsi yang dilakukan kader-kader utamanya. ; ; =SachsTM= Istilah populisme mungkin tidak ada dalam kamus Bahasa Indonesia, tapi cobalah memahaminya barang sebentar saja untuk artikel ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H