Mohon tunggu...
Adie Sachs
Adie Sachs Mohon Tunggu... Penulis - Hanya Itu

Happy and Succesfull... #Alert #Reveal

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Philipina Berduka, Indonesia Mendapat Pujian

14 November 2013   21:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:10 4952
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo:REUTERS/Edgar Su/bb/(metrotvnews.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="Photo:REUTERS/Edgar Su/bb/(metrotvnews.com)"][/caption] Sejumlah lembaga bantuan non-profit dunia mengeluhkan sulitnya upaya distribusi bantuan kepada para korban topan Haiyan di Philipina bagian tengah. Meskipun sudah sejak enam hari topan terdahsyat yang pernah menghampiri negara kepulauan itu, ancaman terbesar justru seolah akan terjadi pasca kejadian. Hal ini terlihat dari kemungkinan kelaparan dan berbagai macam penyakit yang akan timbul jika bantuan tidak segera dibagikan dengan baik dan cepat. Sebenarnya otoritas setempat sudah bereaksi cukup baik dalam upaya menyentuh para korban baik yang bertahan hidup maupun yang korban yang meninggal. Namun kesulitan justru datang dari sikap para korban yang sering menjarah bahan bantuan yang sedang dikirimkan. Ini belum termasuk akses ke tujuan yang lumpuh total dan bahkan serangan kelompok kelompok sipil bersenjata yang khawatir kehabisan bahan pangan dan sandang dari para donor. Upaya mengirimkan bantuan lewat udara disejumlah titik terdampak juga masih sangat minim karena selain kekurangan angkutan juga dikarenakan hanya dilakukan diwaktu hari terang padahal cuaca kini sering terjadi hujan dengan intensitas berat. Tak pelak, situasi mulai tak kondusif karena bantuan makanan datang terlambat. Korban Topan Haiyan terpaksa menjarah untuk mendapat persediaan makanan, air dan obat. Selain para relawan yang tidak mudah menembus lokasi yang harus dibantu, para aparat setempat seperti kepolisian yang juga menjadi korban malah ikut menjadi bagian dari para penjarah alih alih mengamankan situasi. Demikian juga tentara Philipina yang fokus perhatiannya seperti terbagi antara mengatasi pemberontakan disejumlah wilayah selatan dan membantu mengendalikan situasi dilokasi yang terkena badai itu. Hal hal diatas hanya sebagian kecil dari hambatan yang sedang terjadi dan dialami  Philipina, namun sejumlah warga mengungkapkan kemarahan karena lambannya upaya bantuan dari pemerintah. Wartawan BBC Jonathan Head di Tacloban-kota berpenduduk 220 ribu yang hancur di Pulau Leyte, mengatakan pada upaya penyaluran bantuan yang lebih terorganisir mulai dilakukan pada Rabu kemarin. Dan masih menurut BBC, situasi di Philipina tidak semudah atau sekondusif bencana yang sering terjadi di Indonesia. Mengingat akses bantuan ke Indonesia lebih mengandalkan kerjasama dari masyarakat yang menjadi korban dan tingkat kesabaran serta kemandirian seperti para korban di Aceh dan Nias misalnya lebih sangat membantu. Mungkinkah maksud BBC kalau bencana di Indonesia yang menjadi penghambat justru datang dari aparat serta birokrasi setempat? Tetapi bagaimanapun memang tidak mudah membandingkan sebuah bencana dari satu negara ke lain negara, sebab kultur danbudaya juga berbeda. Di Indonesia misalnya, setiap ada bencana, para korban berkumpul dan atau dikumpulkan di satu tempat dan membuat dapur umum. Hal ini sangat membantu pemberian bantuan ke setiap titik dan pada saat bersamaan muncul solidaritas rasa senasib-sepenanggungan antar korban meski sebelumnya tidak saling kenal hingga mereka juga mudah saling berbagi. Di Philipina kini, setiap korban belum ada data titik pengungsian dan sepertinya para korban mendirikan tenda masing masing. Hal ini akan semakin sulit menyebarkan bantuan secara merata karena bisa jadi satu keluarga mendapat bantuan sementara keluarga lain tidak, padahal mereka sangat berdekatan. Hal lainnya adalah bahwa di Philipina selain sipil boleh memiliki senjata sehingga dengan kepanikan dan trauma yang dialami, maka emosi mereka akan sangat mudah meledak setiap saat. Ini menjadi ancama tersendiri bagi para relawan. Maka tidak heran jika aparat yang berniat mengubur korban tewas saja dicegat dan dihalangi  demi mengingatkan bahwa mereka sedang lapar. Berbeda dengan Indonesia yang tidak boleh bersenjata dan lagipula seperti sedang terjadi akibat letusan Sinabung misalnya, mereka mengungsi dan berkumpul diatap yang sama dan tidak mengandalkan bantuan dari pemerintah melainkan swadaya dari LSM maupun umat Gereja atau Masjid dimana mereka sedang bernaung. Sekali lagi, budaya mengungsi seatap setitik ini menguatkan persaudaraan dan meminimalisir akibat yang menjurus anarkisme. Semoga bala bantuan untuk saudara kita di Philipina berjalan dengan semakin lancar dan tidak terlambat karena bencana sesungguhnya bukanlah ketika badai topan Haiyan itu lewat dan merusak apa yang dilewatinya, melainkan akibat yang ditimbulkannya. Apa yang tersisa dan kehidupan makhluk - makhluk (terutama manusia ) yang masih hidup dan mencoba bertahan dari bencana itu, itulah yang lebih mengerikan dan perlu perhatian. Bencana adalah bencana, tidak ada kegembiraan ketika ia datang, dan hendaknya pujian janganlah memabukkan hingga kita alpa dan tidak waspada. (NewsSource: dari Berbagai Sumber) ; ; =SachsTM=

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun