Bagi mereka yang mengaku pencinta sepakbola, sebaiknya melihat persoalan sepakbola Indonesia dengan lebih jernih. Selalu ada perbedaan namun beberapa aspek mendasar soal kepengurusan yang berkaitan dengan olahraga sepertinya sudah terabaikan.
FIGC yang membuat keputusan pengurangan 2 poin Napoli ketika musim sedang berlangsung dan menghukum beberapa pemainnya patut dicontoh.
Ada dilema besar bagi PSSI-nya Italia itu. Di satu sisi, branding Serie-A yang belum kembali ke posisi asalnya - sebagai liga terbaik dunia - dipertaruhkan jika FIGC memutuskan Napoli bersalah, yang artinya Serie-A belum bebas dari permasalahannya. Image Serie-A bisa kembali merosot. Sponsor bisa kabur.
Di sisi lain, Jika FIGC tidak mengambil keputusan tegas, ada kemungkinan akan kembali terjadi kejadian yang sama. Serie-A akan tetap dianggap sebagai liga yang tidak bersih dan ini lebih berbahaya bagi masa depan liga. Sponsor tidak akan kunjung datang.
Pengurus sepakbola di Italia tidak membiarkan masa depan liga dan banyak orang menjadi tidak jelas hanya karena masalah pengaturan skor atau perjudian oleh pemain dan official. Padahal baru dugaan loh..
Mereka tidak ingin tersandera oleh orang - orang yang hanya ingin mengambil keuntungan sesaat dan melupakan sportifitas. FIGC bisa saja menutupi masalah ini, tidak memprosesnya supaya Serie-A terlihat sudah bersih. Hebatnya, mereka tidak memilih opsi untuk menutupi skandal demi nama baik.
Bagaimanapun, keputusan harus dan sudah diambil. Seri-A kembali tercoreng saat ini. Soal kelanjutannya, kita tunggu saja.
Tapi lihat sisi baiknya, ketika yang berwenang mengambil keputusan yang tidak pragmatis. Mereka sudah berusaha mencegah kehancuran Serie-A dimasa mendatang - dengan skandal yang mungkin lebih besar lagi - jika dilakukan pembiaran.
Bandingkan dengan KPSI, yang mungkin penuh embel-embel "penyelamat". Tapi apa yang mereka selamatkan? Masa lalu yang penuh tipu daya atau menyelamatkan masa depan periuk nasi mereka?
Pengaturan skor dan penyuapan wasit. Perjudian antar pemain dan antar pemilik klub. Wasit yang memihak. Aparat yang melakukan pembiaran. Pengurus pusat yang menikmati uang sponsor. Itukah yang ingin diselamatkan?
Penulis tidak punya bukti atas tuduhan di atas, tapi bukan rahasia umum pula. Sementara ketika melihat siaran langsung, penonton dengan segala subjektifitasnya, mudah menilai kinerja wasit.
Demikin pula soal keputusan KOMDIS di era NH, membiarkan banyak pemukulan pada wasit sementara pemain bebas merumput.
Jika FIGC membuka borok yang terjadi demi kredibilitas Serie-A, walaupun itu memalukan, tetapi mereka mengedepankan kejujuran justru demi mengembalikan posisi Serie-A itu sendiri. Calciopoli, moggiopoli dan poli-poli lainnya memang memalukan, tapi jauh lebih memalukan jika Italia tidak punya liga.
Jadi, bisakah kita mendukung PSSI yang ingin membersihkan liga dan pengurus lama yang tidak ingin kebobrokan mereka terungkap?
Bisakah klub-klub pendukung KPSI hidup dan bersaing tanpa pengaturan skor atau "bantuan" wasit? Kita lihat sampai dimana KPSI menghambat pembangunan sepakbola nasional dan menyelamatkan masa lalu mereka.
Belajar dari keputusan sulit ala FIGC, PSSI punya pilihan, mengalah untuk kehancuran atau melanjutkan perjuangan yang kadung "berdarah-darah" nan penuh airmata demi kemajuan sepakbola INDONESIAÂ :-))
=SachsTM=
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H