Mohon tunggu...
Adie Sachs
Adie Sachs Mohon Tunggu... Penulis - Hanya Itu

Happy and Succesfull... #Alert #Reveal

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tiga Raja, Melepas Marga Melepas Agama

9 November 2012   20:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:42 5189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Para sarjana Barat masih mencoba menulis sendiri sejarah Batak menurut hipotesa mereka dengan ilmu logika dan pustaha hasil rampasan yang mereka coba terjemahkan di Leiden. Hal ini terlihat juga di beberapa media online terpopuler seperti Wikipedia, ketika anda mengetik kata kunci yang berkaitan dengan sejarah bangsa itu.

Bagi mereka yang tidak pernah tinggal atau berdampingan dengan Bangsa Batak, tentu literatur modern yang selalu merujuk makalah, desertasi, buku atau tesis karya para sarjana Barat - seringkali diyakini sebagai sebuah kebenaran sejarah yang tak terbantahkan. Dapat dimaklumi mengingat masa kolonial Belanda, banyak dari mereka yang begitu penasaran dengan bangsa yang mereka sebut sebagai "pemakan Manusia" itu.

Dan, karya yang juga menjadi bagian dari misi Zending itu kebanyakan tidak mampu diluruskan oleh putra-putri Batak sendiri. Terbukti, Mahasiswa studi Batak di Universitas terkemuka di Sumatera Utara, cenderung diajari atau setidaknya diarsiteki oleh Professor asal Eropa (Jerman dan Belanda). Ribuan naskah Batak masih berada di Belanda dan sekitar 600 ada di Jerman.

Namun ada beberapa pertanyaan yang mungkin belum terjawab oleh mereka soal Bangsa Batak, seperti:

Bagaimana Bangsa itu tidak dapat dijajah sampai menjelang akhir abad ke 19, sementara kerajaan besar di Nusantara - kecuali Aceh, sudah dicerai beraikan?

Kenapa Bangsa Batak tidak memiliki kerajaan seperti kerajaan lain di Nusantara?

Kenapa Bangsa Batak, memiliki Raja tapi tidak berkuasa secara mutlak dan tidak memiliki hak atas lahan?

Bagaimana masyarakat yang sangat menghormati Rajanya - cenderung memujanya - tapi tidak bertekuk lutut ala foedalisme dan juga tidak memiliki kasta?

Tentu banyak pertanyaan lain yang sepertinya mudah, tapi sulit bagi orang luar untuk menjawabnya.

Satu kata yang dapat menggambarkan bangsa Batak sebelum kemunduran Barus dan kedatangan  Belanda adalah DEMOKRASI, dan kesetaraan.

Ini menjadikan setiap individu memiliki hak atas hidupnya  tetapi tunduk pada aturan umum melalui Adat.

Lalu, bagaimana Tiga Raja ( Singamangaraja, Jonggi Manaor dan Ompu Palti Raja) menyatukan seluruh Bangsa Batak selain melalui Adat?

Mungkin yang paling mudah dilihat adalah mereka tidak menggunakan Marga mereka.

Tapi yang paling populer diantara ketiga raja tersebut adalah Raja Sisingamangaraja XII (SM.XII). Kepopuleran pengaruh raja yang bergelar Patuan Bosar,  bernama asli Ompu Pulo Batu ini mampu menyatukan semua  suku - suku  Bangsa Batak seperti Mandailing, Karo, Toba/Tapanuli, Simalungun dan Dairi/Pakpak. Bahkan Gayo dan Alas pun lebih dekat kepada beliau daripada ke Kutaraja (Aceh).

Ada cerita turun temurun di masyarakat Batak(*),

Ketika  utusan Raja Pagaruyung bertanya kepada Sisingamangaraja sebelum SM.XII yang memimpin Mandailing melawan Minang di masa Perang Padri, "Apakah Tuan berpihak pada Sileban (Islam) atau Hatorusan (Barus)?"

Ketika tekanan Belanda semakin nyata, Nommensen mencoba bertanya kepada SM.XII "Apa Agama anda?"

Sisingamangaraja XII menjawab : " Agamaku adalah Agamanya semua Agama".

Jawaban yang kurang lebih sama oleh SM.IX sampai SM.XII, sekalipun mereka tidak pernah bertemu bukanlah sebuah kebetulan. Dan bagi Bangsa Batak, menanggalkan marga dan tidak memihak pada agama oleh Sang Raja adalah bentuk kebebasan dan kemerdekaan yang menjadikan Bangsa itu bersatu dalam netralitas dan toleransi.

Disisi lain, jawaban Sisingamangaraja adalah strategi menyatukan seluruh Bangsa Batak tanpa melihat asal kerajaanya (BIUS), Marga ataupun Agamanya. Sebab, sejak perang Padri, Sisingamangaraja melihat perang saudara terasa nyata terkait Agama, dan memerangi Belanda dengan sentimen agama adalah kesia-siaan.

Jawaban SM.XII menegaskan bahwa Bangsa Batak tidak terpisahkan dan ini memicu dukungan luas dari mereka yang memilih Islam dan Kristen maupun yang masih bertahan dengan ugamo Sipele begu dan Parmalim. Dan  SM XII menginspirasi Bangsa Batak bahwa agama dianggap bukan alasan tepat dalam perjuangan melawan Belanda di kemudian hari.

Cerita ala "getok tular"  alias lisan, ini berkembang baik dalam ingatan sejarah sebagian kecil masyarakat Batak, khususnya Simalungun, Toba dan Dairi. Tidak mengherankan bila para sarjana Barat kurang menangkap realita soal Adat dan relevansinya pada sistem tata kehidupan Bangsa itu.

Sebab bagi bangsa Batak, adat bukanlah sekedar ritual resepsional, dan sopan santun. Adat mencakup segala hal dari segala aspek kehidupan, budaya, termasuk Ketuhanan dan posisi Raja-raja.

Berdiri diatas semua agama adalah hal yang paling fenomenal dan tidak biasa dalam mencegah perpecahan suku-suku Bangsa Batak yang dikelilingi banyak kesultanan termasuk pasukan Belanda di sepanjang pantai Barat.

Dan Sisingamangaraja XII melakukannya... Menaklukkan semua agama tanpa merusak agama. Beliau lebih dari sekedar Raja Bangsa Batak atau Pahlawan Nasional. Beliau adalah Toleransi itu sendiri.

=SachsTM=

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun