[caption id="attachment_296862" align="aligncenter" width="546" caption="Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (Warta Kota/Henry Lopulalan)"][/caption]
Joko Widodo dan Tri Rismaharini adalah senjata utama lawan lawan politik PDIP menghadapi pemilu mendatang. Meski keduanya dianggap sebagai kader emas di kandang banteng, bukan berarti pihak lawan tidak bisa memanfaatkan keberadaan mereka. Apa yang menimpa PDIP kini adalah repetisi dari keadaan mereka sepuluh dan lima tahun lalu.
Anda tentu belum lupa bagaimana PDIP besutan Megawati Soekarnoputri ketika berhasil digembosi dari dalam oleh Laksamana Sukardi dan kawan kawan. Atau hengkangnya sejumlah politisi daerah kawakan pasca pemilu 2009 yang tergiur kekuasaan seperti Gamawan Fauzi, Sinyo Sarundajang atau Bibit Waluyo.
Kalau boleh diupamakan, Jokowi dan Bu Risma itu seperti Lionel Messi dan Neymar dalam dunia sepakbola. Mereka menjadi rebutan dan biasanya setiap jendela transfer dibuka, beberapa klub kaya raya akan menempatkan keduanya dalam prioritas awal sembari memantau pergerakan klub asal dan pesaing yang juga tertarik. Tapi, itu kan hanya perumpamaan dengan kondisi yang jauh berbeda kalau ditelisik lebih dalam karena padanan dunia politik bukanlah arena sportifitas.
Hanya saja, pembaca yang budiman dan budiwati pasti mahfum jika intrik dan plot dunia politik juga bisa terjadi dalam olahraga. Kemungkinannya sangat kecil bahkan nyaris tertutup, karena aturan yang jelas dan sportif. Kita tidak bisa bayangkan seorang Messi atau Neymar dikondisikan oleh Real Madrid sedemikian rupa agar pindah dari Camp Nou, seperti kasus Luis Figo atau Ronaldo da Lima.
Inti perumpamaan diatas hanya kondisi "Rebutan" saja, tidak lebih.
Kembali ke topik.
Dua minggu terakhir, suara kelompok yang menamakan diri Pro Jokowi (Projo) bersuara lantang demi mendukung pencapresan Jokowi. Projo juga mengaku bagian dari PDIP, partai yang menjadi naungan Jokowi, sekaligus mendesak Ketua Umumnya agar buru buru mengumumkan Jokowi sebagai Capres. Jika tidak dilakukan, maka Projo mengancam akan menggembosi PDIP dan Megawati.
Apa yang dilakukan Projo sungguh tidak beretika dan terkesan dangkal. Di satu sisi mereka mengaku tidak mencampuri urusan proses politik PDIP tetapi mengaku dari dalam partai, sekaligus memaksakan strategi politik pada seorang pimpinan partai. Disisi lain, Projo tidak sanggup menjelaskan kenapa mereka begitu agresif dan ngotot memaksakan kehendak sementara mereka tidak menjelaskan agenda dibelakangnya.
Projo membentuk dirinya sebagai kelompok yang memecah konsentrasi petinggi PDIP dalam konsolidasi menghadapi pemilu nanti. Keberadaan mereka hanya mengesahkan ketidaksabaran lawan lawan politik PDIP dalam mencari tahu segera siapa jagoan dari kandang Banteng yang harus mereka hadapi nanti. Hal ini bersinergi dengan kepentingan penumpang gelap yang mencoba menjadi parasit bagi Jokowi, jikalau kelak dia benar jadi capres dan kemungkinan terpilih.
Ada potensi konfrontasi yang diinginkan Projo dengan PDIP, dan jika mereka berhasil, selanjutnya bisa berujung pada konflik yang tujuannya merusak citra Megawati. Apalagi masih banyak yang percaya bahwa Mega masih berambisi jadi RI - 1, sementara mereka lupa bahwa tanggung jawab Mega bukan hanya mencapreskan seseorang, tetapi memastikan kader kader PDIP mendapat kursi di parlemen. Jika beruntung dengan konflik yang muncul, Projo akan membuat Jokowi mendirikan partai sendiri atau hengkang ke partai lain.
Ada sebagian kecil dari kelompok Projo yang tulus mendukung Jokowi namun aktifitas mereka sudah memuai dari ketulusan menjadi obsesi. Tertutup pada kepentingan oportunis yang justru ingin menghambat kesempatan Jokowi sendiri. Jika Projo masih memiliki niat tulus itu, sebaiknya mereka mencoba mendekati partai lain agar merapat ke kubu PDIP jika rakyat sudah menentukan lewat pemilu legislatif 9 April mendatang.
Tri Rismaharini harus belajar terimakasih.
Mengelola keberadaan figur yang mencuat tiba tiba dan diterima semua kalangan seperti Jokowi perlu manajer yang mumpuni. Demikian pula dengan Walikota Surabaya berkarakter buldozer seperti Tri Rismaharini. Risma mungkin bukan politisi hebat karena dia berlatar birokrat, tapi keberadaannya sebagai walikota pastinya karena pilihan politik.
Berita keinginan mundur dari jabatannya sebagai walikota membuat PDIP menjadi bulan-bulanan media lokal hingga nasional. Bu Risma telah menempatkan diri sebagai bidak catur lawan politik PDIP di kota pahlawan tanpa disadarinya. Wanita yang baru saja terpilih sebagai Walikota Terbaik Dunia versi CityMayors.com itu memiliki nilai yang besar untuk menaikkan atau menghancurkan PDIP di Surabaya.
Latar belakang keinginan mundur Risma diberitakan oleh sebab penolakannya memberi ruang pada kebijakan Gubernur Sukarwo perihal pembangunan jalan tol. Gaung penolakan Risma pada wakilnya Wishnu Sakti Buana beredar setiap hari karena Risma memberi peluang pemberitaan dengan mengaku kecewa dengan penunjukan Wishnu Sakti Buana sebagai wakilnya. Risma juga masih mempersoalkan keabsahan jabatan Wishnu secara prosedural. Padahal selama ini Whisnu adalah orang yang selalu mengkritisi berbagai kebijakan Risma.
Sebagai pemilik delapan (8) kursi DPRD Surabaya, berbanding 42 opposisi, Risma tampaknya masih harus belajar mengerti posisi partai pendukungnya itu. Tidak perlu belajar politik di UNAIR untuk memahami beratnya langkah yang harus dijalani oleh seorang Wishnu. Cukup komunikasi dan rasa percaya diri bahwa Risma didukung oleh DPP dan rakyat Surabaya.
Akan ada saatnya Risma menghadapi kenyataan telah menuduh Wishnu tidak mendukungnya bahkan berusaha memakzulkan dimasa lalu. Tetapi, selain itu sudah berlalu, apakah waktu yang berlalu tiga tahun tidak menyadarkan seorang Risma, bahwa keberhasilannya sebagai Walikota adalah karena peran yang diambil Wishnu dan tujuh orang lainnya?
Dengan bersikap seolah menentang kebijakan Risma terkait pajak reklame, dan pemakzulan, lalu bagaimana Wishnu mengetahui dari dekat setiap gerakan yang akan diambil 42 opposisi? Delapan orang wakil PDIP tentu bukan orang sakti yang mudah menghipnotis setiap fraksi dalam sekejap untuk meloloskan perwali atau APBD agar secepatnya sampai ke meja Gubernur. Kemampuan lobby delapan orang itu pastinya dibantu informasi dari dalam dan berada cukup dekat dengan opposisi.
Jika tekanan datangnya dari partai lain, yang tidak suka keberhasilan fraksi minor, ada baiknya Risma menghindari penempatan dirinya sebagai bidak yang justru memuluskan agenda lawan. Seperti pengakuannya di beberapa media, Risma tidak tertarik dengan politik nasional, apalagi soal capres-capresan. Tetapi Risma harus sadar bahwa keberadaanya sudah menjadi perhatian secara nasional bahkan mungkin dunia, sehingga mau tidak mau beliau harus berpolitik. Setidaknya untuk dirinya sendiri agar tidak menjadi objek tarik menarik kepentingan demi menjatuhkan partai tertentu.
Gerakan Projo yang ambisius dan urakan, atau kerasnya politik Jawa Timur adalah resiko bagi PDIP yang terlalu berhati hati. Kehati-hatian yang justru membuat pesaing tidak nyaman dan bertanya tanya apa dan siapa yang akan mereka hadapi dari PDIP? Ketidaknyamanan yang mengharuskan mereka mengutak atik fokus kinerja seseorang yang sedang berusaha memperbaiki wilayah yang memberi amanat.
Risma perlu memahami posisi yang harus diambil teman, meski terlihat mendekati lawan. Atau ia akan malu hati, ketika sadar karena semua untuk membentengi kesuksesan dirinya. Bukankah itu yang disampaikan Jokowi lewat telepon kemarin?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H