Ibaratnya... jika ada seorang pujangga membuat puisi untuk gadis idamannya, tapi tak mengakui teruntuk si adek kusayang, bukankah itu sifat seorang banci?
Ibaratnya... seorang remaja terserang demam cinta monyet, lalu menuliskan surat cinta buat pujaan hati, lalu surat itu dibacakan guru didepan kelas. Tapi menyangkal isinya yang jelas untuk anak di bangku sebelah, bukankah itu pengecut?
Banci identik dengan pengecut yang tidak mengakui keberadaan kelaminnya. Lalu bertingkah laksana wanita, menyangkal keberadaan penis yang ada pada dirinya dan lebih buruk lagi, ia menyangkal dirinya sendiri. Menjepit telur telurnya, hanya untuk menciptakan kekisruhan di pangkal pahanya. Lalu adakah yang lebih halus dari larik "Jantan tak betelor" itu?
Jika berkarya dalam puisi, dalam sastra yang penuh keindahan diksi yang logis, maka akuilah bahwa logika diksi itu sebagai etika retorika. Sebuah tata krama lukisan kata yang jujur. Akui pula bahwa itu karya anda yang tujuannya untuk apa dan siapa. Untuk menunjukkan bahwa anda berjiwa ksatria meski tak harus pria dengan biji telurnya.
Puisi politik itu juga karya meski belum tentu diterima dunia sastra karena berkualitas maja. Namun ketika anda mengakuinya untuk tujuan selainnya, maka anda adalah ksatria, dimana pria bersama telornya.
Apakah ketua ketua Ger**dra ada tel0rnya? Lalu kenapa tak mengakuinya? Apakah karena mereka RAISOPOPO?
#Ya iyalah... lha wong ra ndue telor :)
=Sachsâ„¢=