Apa jadinya negara ini jika tanpa anak anak yang sehat secara jasmani dan rohani? Mungkin kita adalah bagian dari virus penyebar kekerasan pada anak, baik fisik maupun psikis. Tanpa sadar, kita adalah monster bagi masa kanak-kanak yang seharusnya penuh keceriaan itu.
Dengan alasan ekonomi, orang dewasa sibuk mencari uang dan uang, agar anaknya tidak kelaparan, tidak merasa minder, atau bahkan tidak menangis. Orang dewasa cenderung lupa memperhatikan perkembangan pribadi dan sifat anak karena fokus pada materi. Dan parahnya, kita lupa memperhatikan lingkungan kita, tempat dimana seharusnya si anak berinteraksi dan berkembang dengan baik.
Lingkungan kita dan perilaku kita sendiri mungkin bagian dari penyubur peningkatan kekerasan dan pelecehan pada anak hingga sebesar 20-30 persen per tahun. Kita tidak sadar bahwa itu adalah andil dari kita sendiri. Kita adalah virus itu, atau kitalah wadah sang virus?
Pernahkah kita tanpa sadar telah saling bertengkar dan berkata kasar dengan sesama orang dewasa tanpa memikirkan bahwa ada anak-anak mendengarkan kita?
Apa yang kita perbuat ketika bercumbu diatas motor keliling kampung/kota sementara anak kecil sedang bermain di halaman?
Bagaimana dengan seorang ibu yang rebutan remote TV, demi sinetron, dengan anak yang seharusnya didampingi membaca cerita 1001 malam?
Soal hukuman Mati.
Upaya kita untuk melindungi anak dari perbuatan cabul mungkin tidak sepenuhnya linier dengan kegeraman yang kita rasakan. Rasa marah seketika membuat kita mungkin menginginkan dan meminta supaya para pelaku kekerasan seksual pada anak dihukum mati. Kita berharap Dewan Perwakilan Rakyat segera merevisi Undang-Undang Perlindungan Anak Tahun 2002. Dimana salah satu poin yang paling krusial adalah ancaman hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak paling maksimal 15 tahun penjara.
Apakah itu kurang? Ataukan terlalu ringan dibandingkan dengan hak korban untuk tumbuh dan berkembang?.
Masalahnya bukan pada pencantuman pasal hukuman matinya, melainkan penerapan hukum mati itu sendiri yang akan menuai pro-kontra.
Pilih Aceng Fikri jadi DPD?