Mengalahkan penemuan kotak hitam dan badan pesawat naas Airasia, KPK sukses mengalihkan perhatian media-media nasional. Uji kepatutan dan kelayakan oleh Komisi III DPR-RI hingga secara aklamasi menyetujui calon tunggal Kapolri, Komisaris Jenderal (Komjen) Budi Gunawan, pun dianggap menjerumuskan Presiden Joko Widodo.
Semua kita adalah calon koruptor, atau mungkin sudah menjadi seorang koruptor. Bedanya dengan para pejabat "itu" hanyalah status "Tersangka"-nya, jika nasib apes menimpali maka gelar "Terpidana" bakal disematkan kemudian. Kita ( saya dan mereka - mungkin juga anda ) untungnya bukanlah pejabat "itu".
Stigma yang melekat pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang sudah menjadi semacam trademark adalah setiap penetapan menjadi tersangka sudah pasti didukung minimal dua alat bukti. Dan setiap tersangka KPK tidak akan lolos dari jerat hukum, alias pasti jadi terpidana.
Reputasi ini juga telah membuat masyarakat mencintai KPK sebagai lembaga penegak hukum yang dapat di andalkan sekaligus terpercaya. Bahkan, sebagian besar masyarakat seolah sudah dapat lebih dini "memutuskan" seseorang bersalah hanya dengan status tersangka oleh KPK. Vonis hakim hanyalah stempel kecil yang dapat dibubuhkan sebagai tanda validasi di lembar pengesahan semata.
Jerumuskan Jokowi.
Alasan bahwa Koalisi Merah Putih (KMP) tidak sedang solid boleh jadi hanya sekedar argumen yang masuk akal. Namun Koalisi Indonesia Hebat (KIH) patut mewaspadai betapa mulusnya persetujuan anggota dewan dari Komisi III dalam menerima usulan Presiden Jokowi terkait Komjen BG. Sungguh di luar dugaan khalayak yang sebelumnya cukup meragukan KMP akan menerima calon Kapolri begitu saja.
Proses politik di DPR masih menunggu rapat paripurna. Jika paripurna juga menyetujui apa yang dihasilkan secara aklamasi di Komisi III, maka semua akan kembali menjadi hak prerogatif presiden dalam menentukan Polri I. Inilah yang justru harus diwaspadai KIH, sebab jika ternyata presiden juga tetap menjadikan BG sebagai Kapolri, KMP akan semakin memiliki banyak amunisi dalam menjatuhkan wibawa RI-1.
KIH tidak boleh terlena dengan penerimaan yang dilakukan KMP. Jika seseorang yang berstatus tersangka dijadikan pimpinan lembaga penegak hukum, agenda KMP selanjutnya adalah mempersalahkan presiden atas kecerobohannya dalam mengajukan lalu memilih Kapolri. Karena pilihan akhir ada ditangan presiden, maka siapa saja di Senayan akan mudah mencuci tangan dengan alasan bahwa mereka hanya melakukan tugas politik.
Hak Prerogatif Presiden VS Hak Veto KPK
Presiden Joko Widodo telah berkomitmen untuk melibatkan Komnas HAM dan KPK dalam proses klarifikasi riwayat seseorang yang dianggap pantas menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahannya. KPK dalam hal ini memiliki peranan yang cukup strategis dan menonjol diantara lembaga - lembaga penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan termasuk Kehakiman. Meski keempat lembaga tersebut sama -sama memiliki istilah hukum yang sama.
Keistimewaan yang dimiliki KPK dibanding Komnas HAM adalah bahwa KPK dapat menetapkan status hukum seseorang sebagai tersangka di bidang yang paling dibenci di masyarakat yakni KORUPSI. Istilah hukum "tersangka" yang menjadi domain KPK amat ampuh mengganjal seseorang yang berhasrat duduk sebagai pejabat tinggi.