Selama ini, kita sering mendengar bahwa kunci pernikahan yang bahagia adalah saling mendengarkan dengan baik, terutama saat muncul konflik dengan pasangan. Banyak yang percaya bahwa pasangan harus bisa mendengarkan dengan tenang, memahami perasaan satu sama lain, dan menunjukkan empati, meskipun sedang kesal atau marah.
Terapis pernikahan sering mengajak pasangan untuk berlatih mendengarkan pasangannya. Misalnya dengan cara memberikan kesempatan kepada salah satu untuk berbicara, sementara pasangannya mendengarkan dan mengulangi apa yang didengar untuk memastikan bahwa semua yang disampaikan telah dipahami.
Bagus kan ya?
Tapi kenyataannya, cara mendengarkan seperti itu hampir tidak pernah terjadi di kehidupan nyata. Kenyataannya, pasangan yang bahagia jarang sekali duduk tenang dan mendukung perasaan pasangan mereka seperti yang diajarkan di terapi.
Pasangan yang bahagia biasanya justru cenderung berbicara seperti biasa. Kadang dengan nada kesal, kadang dengan nada marah. Berantem juga mereka, dan tidak juga bergantian untuk saling mendengarkan dan saling menguatkan. Namanya juga berantem.
Yang membuat mereka beda dengan pasangan yang pernikahannya terus menerus bertengkar adalah mereka tahu kapan harus berhenti dan mereka tahu bagaimana memperbaiki keadaan setelah terjadi konflik. Pasangan yang pernikahannya awet dan bahagia bisa menjaga suasana agar tidak semakin memburuk. Mereka bisa menurunkan tensi pertengkaran dan mampu kembali dekat setelah bertengkar.
Pada kenyataannya, benar-benar mendengarkan pasangan dalam pernikahan itu jarang sekali terjadi. Paling hanya sekitar 4,4% aja dari total waktu mereka ngobrol. Dan pada kenyataannya, benar-benar mendengarkan pasangan mereka seperti seorang terapis mendengarkan kliennya ternyata juga tidak benar-benar efektif dalam meningkatkan kualitas hubungan jangka panjang. Nah lo.
Coba deh kita pikir, kenapa psikolog bisa bener-benar tenang dan sabar mendengarkan seluruh cerita kliennya yang menyalahkan pasangannya? Ya karena yang disalahkan bukan psikolognya. Sementara dalam pernikahan, seringkali pasangan saling menyalahkan satu sama lain dan saling menyakiti. Bagaimana bisa mendengarkan dan mendukung bila sedang ada di posisi yang disalah-salahkan dan disaki-sakiti seperti itu? Mendengarkan pasangan di tengah pertengkaran tidak selalu semudah itu.
Meminta seseorang untuk tetap sabar dan mendengarkan dengan penuh pemahaman saat sedang emosi itu ibarat minta orang buat maraton padahal dia baru belajar jalan. Saat seseorang merasa diserang, wajar bila mereka jadi langsung defensif atau bahkan jadi balik menyerang. Jadi tidak heran bila teknik mendengarkan seperti ini sulit diterapkan dalam kehidupan pernikahan sehari-hari.
Pada kenyataannya, pasangan yang mampu menemukan pemecahan dari masalah mereka dengan cara yang praktis justru biasanya jauh lebih berhasil mempertahankan hubungan yang harmonis dibandingkan dengan pasangan yang hanya diajarkan untuk mendengarkan pasangannya layaknya seorang psikolog mendengarkan kliennya. Kenyataannya begitu.
Dan apa sebenarnya yang penting untuk menjaga pernikahan tetap bahagia? Jawabannya ternyata sederhana: jadilah teman terbaik untuk pasangan kita. Pasangan yang saling menghormati, saling mendukung, dan bisa bercanda di tengah kesulitan akan lebih mampu menghadapi konflik tanpa harus mengikuti aturan komunikasi ala-ala psikolog yang rumit.