--untuk Alm. Soni Farid Maulana (1962-2022)
luruh beludru ditimpa getas kerling sesayup aku
kail kecil lekuk teluk peluk lebam debar samar
menggelepar debur gelora duka nestapa geram
sengkarut ditingkap selimut redam gemuruh nadi
demam paling akut seringai perut bumi membisik
beringsut matamu memangku sepasang pohon duka
pokok cadas bakau iringan galau tertumbuk arung
nasib merenda menyibak perih angslup ibu tulang
merintih meringkuk, acapkali meringkas
sejak kita tak lagi mampu menguasai diri, ada yang letih
mengecap tiga teguk pasir hisap, sesendok pasir keram
dalam igauan pulau seram, kita temali angin yang
melayang-layangkan langit, menerka-nerka letak
jantung cuaca; tempat menyimpan seluruh
kalut ini, mendadak tumbuh sumbur di muka
pintu yang entah sampai kapan kau mengetuknya
sudah, sudah getir puisi ini buatmu saja,
biar aku dan warna-warni angan, semerbak sepi,
suara hujan yang mematung di cermin,
berlenggok ke kiri kanan lalu rontoklah ia dari
pandang, jadi keping-keping berserak.
tak lagi kutahan siasat penghidupan yang baru,
bergejolak, tunas bunga matahari mendobrak
seisi daging, kau yang disulap rerimbun kata,
amblas ke riuh belantara makna.
ribut-ribut ini akan segera berpulang ke ruang
bernama kasih sayang
**
M Sanantara
Bgr, 27122024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H