Ibu, milik dunia terasing
sedang menggelandang
ke antah berantah
ke bukan sesiapa
di perlintasan penuh neraka:
lautan beling, paku, gergaji.
Matanya, hamparan laut merah
sepasang gagak bermata kabur
mengitari riak tenang nan jurang.
Kakinya meleleh, magma luka
mencipta pulau berbentuk S,
lambang duka tak bertepi.
Hatiku lumpuh, saksikan
Tuhan bersinar terang di belakang
jejak kakinya.
entah mengapa
ada yang menyeruak,
menusuk jantung, dalam sekali,
mahakasih mengajariku:
Kusut gulungan sarafku,
borok bulan tua bersinar suram,
kegelapan mata kanan bercakar iblis.
Hanya demi mengakuinya ada,
tak masalah, Ibu,
tak masalah, Ibu,
kasihku memeluk hitam dan putih.
Aku timbangan cahaya,
mendekatkan jarak, kugali inti jantung
demi menemukan akar pohon suci.
kelak belantara tumbuh
memayungi ribuan matahari
di atas kepalanya, anak hujan
kemarin sore.
Ibu, kau akan teduh.
Lanjutkan perjalanan,
temukan dirimu di dalam dirimu
Kepada tulusku,
kuserahkan segalanya
pada cahaya-Nya.
**
M Sanantara
Bgr, 23122024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H