Mohon tunggu...
Adi Ciputra
Adi Ciputra Mohon Tunggu... Guru - Manusia Biasa dengan Pemikirannya

Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki seorang pemuda

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Catatan Guru Honorer #2 Inspirator

22 Januari 2022   12:26 Diperbarui: 22 Januari 2022   12:31 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari bergerilya mencari pekerjaan di perusahaan, kini saya juga bergerilya menaruh-naruh lamaran di sekolah-sekolah. Hanya bermodal nekat dan amplop lamaran saya mendatangi sekolah-sekolah, entah ada posisi lowongan atau tidak, setidaknya saya telah mencoba. Dan akhirnya kini saya mengajar di 4 sekolah. 

Mungkin banyak dari kalian yang tidak percaya, kok bisa? Bagaimana mengatur waktunya? Pertanyaan itu juga terlontar dari teman-teman guru saya. Sebelum saya jawab, saya ingin menceritakan mengapa saya mau mengajar di 4 sekolah sekaligus, yang tadinya saya enggan untuk terjun kedunia pendidikan.

Memang yang namanya belajar itu adalah kata kerja yang tiada hentinya. Teruslah belajar sampai akhir menutup hayat, prinsip itulah yang berusaha saya pegang. Walaupun saya sudah lulus kuliah bukan berarti belajar juga telah selesai, saya berharap bisa terus belajar guna meningkatkan kualitas diri saya. 

Belajar bukan berarti di dalam kelas, dari buku, ataupun dari tugas-tugas kuliah saja, belajar juga bisa dapat didapatkan dari diskusi dengan seseorang, melihat kehidupan dengan berbagai perspektif sehingga dapat menemukan makna kehidupan yang kita tafsirkan sendiri.

Menjadi guru membuatku banyak belajar, belajar dari pengalaman, pemahaman dalam perenungan kehidupan, setidaknya dapat membuat sedikit lebih bijaksana. 

Saya akui memang kemampuanku masih jauh dari kata cukup untuk menjadi pribadi yang baik, dan dengan menjadi guru saya sedikit banyak dapat mengupgrade softskill dan hardskill saya. Ketika saya menjadi guru, saya banyak bertemu teman-teman guru yang menginspirasi saya. 

Sayapun tak malu untuk belajar dari beliau-beliau yang sudah senior, mengambil yang baik-baiknya. Ketika saya mengajar di SMP 17 agustus yakni sekolah pertama saya dalam mengawali karir di dunia pendidikan, saya bertemu oleh guru matematika Ali Masrokan, M.Pd, saya biasa memanggilnya pa ali. 

Dia adalah salah satu teman guru senior yang menginspirasi saya dalam mengajar di 4 sekolah. Walaupun sebenarnya dia adalah guru baru di smp tersebut dibanding saya yang lebih dulu mengajar di SMP 17 agustus ini, jadi pemikiran saya, sayalah yang lebih senior dari pada dia. 

Pemikiran sombong dan idelisme seperti itu akhirnya terkalahkan oleh sifat dan pembawaan pak ali dalam bergaul terhadap guru-guru dan lingkungan baru, itu yang membuatku salut. 

Saya sedikit banyak belajar dari beliau, dan kisahnya menjadi guru membuat saya mau untuk serius dalam menekuni bidang pendidikan.

Pak ali begitu sapaannya, beliau pria kelahiran grobogan jawa timur, yang merantau ke Jakarta bersama ayahnya. Dia dibesarkan oleh seorang ayah penjual batagor keliling, yang sering mangkal di sekolah-sekolah. Walau hanya pedagang kaki lima ayahnya bisa menyekolahkan anaknya sampai menempuh pendidikan S2. 

Bisa dikatakan pa kali anak yang nakal semasa mudanya, sedikit banyak beliau menceritakan bagaimana masa lalunya dahulu, cerita pertemanan, persaudaraan, kehidupan, sampai kepersoalan asmara. 

Beliau selalu menyarankanku untuk segera menikah, saya selalu menanggapinya dengan tawa ketika dia menyerukan untuk menikah, karena usia saya terlalu dini untuk menjalin rumah tangga, kata-kata bujukannya ia selalu berkata “Di, udeh nikah, nunggu ape lagi lo? Nikah tuh 90% enak, 10% nye weeenaaakk banget”. Kemudian pak ali menceritakan bagaimana dia mengawali rumah tangganya, menurut saya dia orang yang nekat. 

Beliau memutuskan menikah di usia muda yakni 22 tahun, nekat karena pada saat itu pekerjaannya hanya seorang guru honorer yang gajinya tidak besar, dan dia masih menempuh kuliahnya. Namun beliau cerita pesan ayahnya “ngapain lo takut ga bisa nafkahin istri lo nanti, lo liat nih bapak lo Cuma tukang batagor, bisa nafkahin emak lo sama anak-anaknya sampe kuliah. Rezeky udah diatur apalagi kalo lo udah menikah rezeky lo dapet dua buat nafkahin anak istri lo nanti.” Pesan tersebut yang membuatnya yakin untuk menjalin bahtera rumah tangga.

Setelah berani untuk menikah dengan niat yang baik, benar saja jalannya dalam dunia pendidikan sangatlah cemerlang. Dengan menjadi guru honorer mengajar di satu sekolah dirasa pendapatannya tidak mencukupi, pak ali mengajar di hampir 5 sekolah dalam seminggu. 

Yang terpenting menurut beliau niat kita untuk mengajar dan berbagi ilmu harus lurus, karena disitu letak keberkahannya, ilmu yang bermanfaat bagi orang lain, dan jangan sekali-sekali ngedumel tentang pendapatan lo “ah… Cuma segini gaji gue” jangan, selalu bersyukur “Alhamdulilah..” orang yang bersyukur akan ditambah rezekynya. 

Dengan niat yang lurus pak ali dipermudah jalannya dalam karir dan sudah diangkat menjadi guru PNS. Kebetulan istrinya pak ali adalah seorang guru juga dan sudah diangkat PNS sebelum pak ali diangkat. Sungguh cerita yang meninspirasi menurut saya, semua didasari dari rasa ikhlas dan tulus, dan selalu bersyukur akan nikmat-Nya.

Ikhlas merupakan persoalan yang rumit menurut saya, dapat kita ucapkan dimulut namun sulit diresapi di dalam hati. Terkadang saya bisa meneguhkan hati saya untuk menjalani pekerjaan guru ini dengan ikhlas, namun terkadang juga keyakinanku runtuh ketika melihat teman-temanku sudah bekerja dengan gaji yang cukup besar dibanding saya. 

Hal tersebut yang membuat saya sedih dan iri mungkin. Oleh karenanya saya juga mensiasati penghasilan saya dengan mengajar di 4 sekolah. 

Jadi terjawab mengapa saya mengajar di 4 sekolah sekaligus, pertama saya terinspirasi dari pak Ali, kedua saya berusaha mensiasati pendapatan saya sebulan dari mengajar di 4 skolah, dan ketiga karena saya berfikir jika saya hanya mengajar di satu atau dua sekolah, masih banyak waktu kosong saya di setiap harinya, dan pertimbangan-pertimbangan tersebutlah yang membuat saya mengajar di 4 sekolah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun