Skenario Tuhan
Mendapatkan gelar sarjana pendidikan (S.Pd) menjadi sebuah kebanggaan bagi diri saya dan keluarga saya, sebab penuh perjuangan untuk mendapatkan ijazah S1 tersebut, selain itu saya menjadi orang pertama dalam keluarga saya yang lulusan sarjana, tentu menjadi sebuah kebanggaan yang tiada tara. Tentunya dengan saya bisa menyelesaikan kuliah S1, saya berharap bisa mengangkat derajat orangtua dan keluarga saya, sebab saya bukan berasal dari keluarga yang bergelimang harta.
Bukan hanya menjadi sebuah kebanggaan dari keluarga, tentu kini harapan keluarga tertancap dipundak saya. Entah seberapa besar dan berapa banyak harapan yang ada, saya hanya bisa menerka dan memahaminya, walaupun pada dasarnya keluarga tak pernah mengutarakannya. Sayapun memiliki harapan yang besar kepada diri saya pribadi. Dapat mewujudkan cita-cita saya sedari dulu, yakni bisa memperbaiki perekonomian keluarga, tentu menjadi sebuah harapan yang cukup besar.
Harapan jika tidak dibarengi dengan usaha takkan ada hasilnya, usaha tanpa dibarengi dengan do'a akan sulit jadinya, tetapi jika Allah belum merestui apa daya? Kita sebagai manusia hanya bisa bersyukur dengan apa yang kita dapat sampai saat ini, sebab itulah rezeky yang Allah telah berikan kepada kita. Sempat saya mencoba untuk menerka-nerka bagaimana skenario Tuhan terhadap kehidupan saya, berusaha untuk khusnuzon, bagaimana Tuhan berencana. Saya sering berimajinasi tujuan saya dilahirkan dalam keadaan seperti ini, dalam keluarga seperti ini, karena saya akan merubah nasib keluarga ini, itu yang selalu saya yakini. Namun apa yang saya dapat saat ini tidak sesuai dengan harapan saya waktu itu, atau mungkin lebih tepatnya belum tercapai, semoga. Lalu apa saya harus marah? Tidak, saya seharusnya malu. Malu akan pemikiran saya, saya harusnya tidak bersantai-santai dalam imaji yang terlintas, namun berusaha dalam kehidupan yang nyata.
Dan kini saya harus berusaha lebih keras lagi, untuk mewujudkan keyakinan saya. Setelah saya sah menambahkan gelar S.Pd di belakang nama saya menjadi Adi Ciputra, S.Pd. Saya harus berfikir jernih dalam melanjutkan ke jenjang karir, sebab saya belum ada niatan dan pemikiran untuk langsung lanjut S2. Saya harus mempertimbangkan, mau saya apakan ijazah S1 ini? Yang telah saya peroleh susah payah selama 4 tahun. Mencari pekerjaan dengan prioritas gaji yang besar dengan jenjang karir yang panjang, dalam benakku aga sedikit lebih mudah jika saya sudah sarjana. Namun lagi-lagi khayalku dibenturkan oleh kenyataan yang sungguh berat.
Mencari pekerjaan dengan lulusan sarjana tidak semudah yang dibayangkan. Penuh seleksi yang yang dibenturkan antara kebutuhan dan gengsi. Dilain sisi saya ingin mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang besar namun tidak ingin pekerjaan dengan standart lulusan SMA, jelas pemikiran saya jika saya bekerja dengan persyaratan lulusan SMA untuk apa saya kuliah, kenapa tidak langsung saja saya bekerja setelah lulus SMA. Nyatanya mencari pekerjaan di ranah perusahaan-perusahaan dengan gelar S.Pd memang sulit, mentok-mentok paling hanya dibagian marketing. Sedangkan saya tidak terlalu mahir bekerja dibawah tekanan dengan pencapaian target yang ditentukan. Terus berusaha mencari pekerjaan yang diharapkan, pergi kesana-kesini untuk mengikuti panggilan pekerjaan dengan bekal map ijazah di dalamnya, terus mendapatkan penolakan, sekalinya saya telah mendapatkan pekerjaan lagi-lagi itu marketing bidang yang saya tidak suka, akhirnya saya lepas pekerjaan itu. Mungkin benar sekali lagu yang dinyanyikan oleh iwan fals "sarjana muda" lesuh mencari kerja, namun saya terus berusaha tanpa menyerah.
Pernah suatu saat saya pergi dengan motorku untuk memenuhi panggilan pekerjaan, pergi ke daerah yang sama sekali saya tidak tahu jalan disana, hanya berpatokan pada google maps saya mencari lokasi kantornya. Kemudian ketika di bilangan jalan pondok indah, saya tidak tahu kalau jalan itu satu arah dan saya berjalan kearah yang berlawanan, namun saya tidak sendirian jalan ke arah yang sebaliknya, jadi saya pikir itu jalan dua arah, hingga ada seorang bapak mengangkut gas dengan sepeda motor datang dari arah yang berlawanan dari arah datangku, hampir sengaja menyerempetku dan ketika berpapasan dengan saya tiba-tiba dia meludahiku. Marah, saya disitu sangat marah dan langsung memberhentikan motorku dan hendak memutar balik untuk mengejar bapak tadi, namun ada seorang pengendara dari arah yang sama, memberitahu saya "mas ini jalan satu arah." Dan akhirnya saya mencoba bersabar, sambil terus berfikir, kerasnya hidup ini, dan hampir putus asa untuk mencari kerja.
Tak terasa sudah sebulan saya sudah di wisuda, namun pekerjaan yang diinginkan tak kunjung saya dapatkan, resah terus menjadi gelisah. Walau memang saat ini saya tidak benar-benar menganggur, saat masih kuliah semester akhir sampai saat ini saya telah mengajar di sekolah swasta di tebet, walaupun hanya 8 jam saja, setidaknya saya memiliki kegiatan yang menghasilkan manfaat dan mendapatkan title guru. Sempat saya frustasi mencari pekerjaan yang diinginkan, kemudian saya berfikir untuk mewujudkan tujuan ijazah saya yakni S.Pd, dan menjadi guru sesuai dengan kuliah saya. Sambil mencari pekerjaan melalui jobfair ataupun online, saya juga menaruh-naruh lamaran ke sekolah-sekolah. Bergriliya dengan bermodal nekat, datang ke sekolah-sekolah untuk menaruh lamaran, entah ada posisi yang dibutuhkan atau tidak, setidaknya saya telah mencoba.
Mengapa saya tidak bekerja sesuai gelar saya, yakni menjadi guru? Bukan bekerja menjadi pegawai-pegawai perusahaan. Mungkin jawabannya semua orang tahu, alasannya adalah salary. Menjadi guru memang profesi yang dipandang cukup baik, tetapi ketika melihat guru honorer dengan gajinya seolah-olah dipandang sebelah mata. Namun disisi lain rasa bangga telah tertanam di sanubari ketika melihat apresiasi dari murid-muridku terhadap saya yang guru. Melihat mereka yang menjadi termotivasi dan berdampak baik pada mereka, telah memunculkan kebanggaan pada diri saya, dan pada saat itu saya percaya disinilah passion saya. Namun hati masih dilema antara materi dan idealisme.
Kemudian saya teringat kata-kata dari alm. Dosen yang sangat menginspirasi saya, bahwa usia hanyalah rentetan angka, yang membuatnya berharga hanya dengan mengisi rentetan angka tersebut dengan manfaat, jadi hidup jangan melulu mengejar keinginan dan kepuasan pibadi, carilah hal yang dapat bermanfaat bagi orang banyak, sebab sebaik-baiknya manusia adalah yang dapat bermanfaat bagi orang lain. Sepenggal kata-kata itu yang membuat pilihanku menjadi guru menjadi nilai plus, walaupun hati belum mantap. Akhirnya kini saya mengajar disekolah-sekolah dengan sepenuh hati, sambil berharap mendapatkan pekerjaan yang diinginkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H