Mengundang investor asing untuk membuka bisnis di tanah air bukanlah perkara mudah. Setidaknya itulah yang terlihat di lapangan. Saya ingat, pada tahun 2019, Presiden Joko Widodo sempat kesal. Sebab, dari 33 perusahaan yang pada waktu itu terdampak Perang Dagang antara Amerika Serikat dan China, tidak ada satu pun yang merelokasi usahanya ke Indonesia. Mayoritas dari perusahaan tadi justru lebih memilih Vietnam dengan sejumlah pertimbangan. (Sumber)
Saya pikir, barangkali itu hanyalah "fenomena" sesaat. Sebab, begitu Presiden Trump lengser, sangat mungkin Perang Dagang bakal mendingin, dan Vietnam tidak akan mendapat "durian runtuh" lagi seperti sebelumnya.
Namun, seiring berjalannya waktu, pikiran saya tadi sepertinya harus "direvisi". Sebab, nyatanya ada sejumlah perusahaan "kelas kakap" yang tetap berminat berinvestasi di Vietnam sampai sekarang. (Sumber)
Sebut saja Apple, Microsoft, dan Nvidia yang lebih memilih menggelontorkan dana investasi puluhan hingga ratusan triliun rupiah di Vietnam ketimbang di Indonesia.
Hal itu bisa terjadi bukan tanpa alasan. Di mata para pengusaha asing, Pemerintah Vietnam dinilai punya kebijakan yang lebih ramah, cepat, dan akomodatif.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa Pemerintah Vietnam berani menawarkan insentif yang begitu menarik kepada para investor.
Satu di antaranya adalah fasilitas "tanah gratis". Kepada investor manapun yang datang, Pemerintah Vietnam menawarkan tanah untuk digarap secara cuma-cuma bahkan hingga 100 tahun. (Sumber)
Semua itu bisa terjadi lantaran Pemerintah Vietnam mempunyai dan menguasai bank tanah untuk kepentingan industri. Jadi, manakala ada investor yang datang, lahannya sudah siap, dan harganya bisa ditentukan sesuai dengan keinginan pemerintah.
Hal itu berbeda dengan Indonesia. Bank tanah untuk industri yang dikuasai Pemerintah Indonesia jumlahnya masih terbatas. Tentunya hal tersebut menimbulkan persoalan, terutama saat ada investor asing yang berencana menanamkan modalnya di Indonesia.