Kamu mungkin sudah mendengar ceritanya. Sebab, cerita "harga roti Rp 400 ribu" yang akan saya singgung di artikel ini memang sudah viral sejak beberapa hari yang lalu. Meski begitu, kamu harus tahu sebuah konteks yang melatarbelakangi viralnya cerita tersebut.
Harus diakui, untuk ukuran orang Indonesia, harga roti sebesar Rp 400 memang relatif mahal. Apalagi dengan uang tersebut, kamu cuma dapat membelinya sedikit saja, bukan "seraup" atau "segambreng". Tentu saja, kalau dinilai sepintasnya, membeli sepotong-dua potong roti dengan uang sebanyak itu tidaklah "worth it" (sepadan).
Namun demikian, bagi orang Amerika, perspektifnya barangkali bisa berbeda. Bagi mereka, harga roti tersebut mungkin saja dianggap "wajar", bukan "kemahalan" seperti yang dipandang oleh orang Indonesia. Maklum saja, biaya hidup di sana memang relatif tinggi, sehingga barang apapun bisa dibanderol dengan harga mahal, termasuk untuk roti sekalipun.
Alhasil, harga sepotong roti tadi sebetulnya tidak harus jadi "polemik" sebab semuanya terasa biasa-biasa saja dalam "kacamata" tertentu. Nah, yang jadi persoalan adalah cerita roti tadi disampaikan justru ketika situasi Indonesia sedang "memanas". Tentu saja hal itu memicu reaksi negatif yang luas, mulai dari cibiran, kritikan, hingga yang terparah, makian.
Cerita tersebut dinilai nirempati, tidak layak dipublikasikan, sebab meskipun untuk membelinya, pesohor yang bersangkutan memakai uang pribadi (dan bukan uang rakyat), namun ada rasa solidaritas yang "tercederai".
Saya pribadi enggan ikut terseret polemik tersebut. Semua itu bukanlah urusan saya. Meski begitu, saya memandang bahwa ada yang menarik di balik cerita roti Rp 400 ribu. Yakni soal pelemahan kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat.
Kalau kita telisik 10 tahun ke belakang, maka akan terlihat bahwa nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat memang terus melemah. Pada Januari 2014 kurs Rupiah mencapai 11.700-an per USD. Sekarang? Sudah tembus 15.700-an!
Kan naik-nya cuma 4.000, lalu apa dampaknya buat kita semua? Saya kira, efeknya sangatlah luas. Salah satunya ialah barang-barang jadi tambah mahal. Contohnya? Ya cerita roti itu tadi. Harga roti tadi bisa terkesan mahal karena kita merupiahkan harganya. Coba kamu berpegang pada mata uang lain, yang lebih kuat ketimbang Dollar AS, maka ceritanya bakal lain.
Contoh lainnya? Ya harga obat jadi tambah mahal. Hal itu harus dimaklumi mengingat bahan baku obat yang kita konsumsi mayoritas masih impor. Seingat saya dulu angkanya masih di atas 80%, mungkin sekarang sudah turun sedikit.
Alhasil, meskipun nilainya kecil, namun penguatan USD terhadap Rupiah bisa berdampak cukup besar terhadap harga jual obat di tanah air. Terlebih ada juga inefisiensi di sana-sini yang membikin harga obat di Indonesia bisa lebih mahal beberapa ratus persen dibandingkan negara tetangga di kawasan ASEAN.