Seperti bunyi pepatah "ada banyak jalan menuju Roma", maka merawat kebhinekaan di Indonesia pun bisa dilakukan dengan sejumlah cara. Di antaranya ialah dengan mengunjungi beberapa rumah ibadah.
Pada hari Minggu, 26 Februari 2023, saya berkesempatan melakukan kunjungan tersebut bersama teman-teman dari Koteka Kompasiana dan Wisata Kreatif Jakarta. Ada tiga rumah ibadah yang kami kunjungi, yang kebetulan lokasinya terletak di kawasan Pasar Baru, Jakarta.
1. Sikh Temple
Rumah ibadah yang paling awal kami sambangi adalah Sikh Tample. Sikh Tample adalah rumah ibadah Umat Sikh. Di sini, setiap hari Minggu, diadakan kegiatan keagamaan, mulai pukul 07.15 sampai dengan 22.00.
Kuil tersebut sejatinya merupakan kuil kedua yang dibangun di Jakarta. Kuil pertamanya terletak di Tanjung Priok, yang didirikan sekitar tahun 1920-an. Kuil itu menjadi rumah ibadah pelopor, sekaligus menandai kedatangan Umat Sikh ke Batavia (nama lama Jakarta).
Umat Sikh mudah dikenali dari fisik dan asesoris yang dikenakannya. Memakai sorban, kerudung, dan gelang merupakan identitas Umat Sikh. Umat Sikh termasuk vegan. Mereka berpantang mengonsumsi daging, telur, dan rokok.
Agama Sikh bukanlah bagian dari Agama Hindu. Namun, di Indonesia, karena agamanya belum mendapat pengakuan dari Pemerintah, maka Umat Sikh masih mencantumkan kolom Agama Hindu di ktp.
Kitab suci Agama Sikh setebal 1420 halaman, memuat semua ajaran agama. Kitab tersebut ditulis dalam bahasa Punjabi, dan pada perayaan agama tertentu, dibacakan secara bergantian selama 72 jam.
2. Sin Tek Bio
Terletak di sebuah gang yang sempit (Gang Kelinci), Sin Tek Bio adalah rumah ibadah berikutnya yang kami datangi. Saat awal melihatnya, kami sudah bisa mengetahui bahwa ini bukanlah rumah ibadah biasa.
Disebut demikian karena bentuk bangunannya sangatlah unik dan klasik. Hal ini bisa dimaklumi mengingat Sin Tek Bio sudah berdiri sejak 1968. Dari catatan sejumlah sumber, klenteng ini tadinya dibangun di daerah rawa.
Orang Tionghoa pada masa itu, yang kebanyakan berprofesi sebagai petani, mendirikan klenteng tersebut untuk kegiatan keagamaan, sekaligus pemujaan kepada leluhur. Sejak saat itulah Sin Tek Bio rutin dikunjungi oleh Umat Kong Hu Cu, Tao, dan Buddha.
Sin Tek Bio juga dikenal sebagai Vihara Dharma Jaya. Di dalamnya terdapat beragam jenis rupang, mulai dari Buddha, Boddhisatva, hingga para Dewa. Setiap rupang tadi sejatinya memiliki riwayat yang unik, yang mungkin tidak akan cukup disampaikan lewat tulisan ini.
Uniknya lagi, di salah satu ruang Sin Tek Bio, juga ada tempat khusus untuk persembahyangan Embah Raden Suna Kencana Winata.
Seperti diketahui, beliau merupakan anak dari Prabu Siliwangi yang begitu dihormati di bumi Jawa Barat. Sekiranya inilah wujud akulturasi yang menarik, yang terjadi di sini.
3. Gereja Ayam
Sesuai dengan namanya, Gereja Ayam mempunyai simbol ayam di atasnya. Simbol tersebut dulunya dibuat sebagai penunjuk arah mata angin, penangkal petir, atau pertanda khusus terkait Petrus yang menyangkal Tuhan Yesus sebanyak 3 kali.
Gereja Ayam mulai dibangun pada tahun 1913, dan rampung 2 tahun kemudian. Kemunculan gereja ini dimaksudkan sebagai kritik sosial terhadap Pemerintah Hindia Belanda.Â
Maklum, pada waktu itu, tidak semua umat kristiani bisa bebas beribadah, karena hanya kalangan pejabat dan orang kelas atas yang bisa melakukannya.Â
Mereka biasanya melakukan kebaktian kristen di Gereja Imanuel, sementara rakyat biasa tidak diperbolehkan beribadah di tempat tersebut. Alhasil, dibangunlah Gereja Ayam demi mengakomodasi rakyat biasa yang ingin melangsungkan ibadah.
Meski sudah berumur lebih dari 100 tahun, namun nuansa Kolonial masih terasa kental di Gereja Ayam. Wajar, dinding, ubin, dan tempat duduknya masih dipertahankan seperti awal berdiri.Â
Di samping itu, terdapat pula benda lain, yang menyimpan nilai historis yang tinggi, seperti Alkitab yang berusia 100 tahun lebih dan bertuliskan bahasa Belanda.
***
Dari kunjungan ke rumah ibadah tadi, kita jadi tahu bahwa kebhinekaan sebetulnya sudah terbentuk, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Hal ini menjadi bukti bahwa leluhur-leluhur kita bisa hidup akur di tengah banyaknya perbedaan.Â
Bukankah ini sesuatu yang indah dan damai? Bukankah ini seharusnya menjadi sikap hidup yang selayaknya dipertahankan dan dilestarikan?
Salam.
Referensi:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H