Film Spiderman No Way Home yang rilis akhir tahun kemarin sejatinya merupakan sebuah "reuni". Disebut demikian, karena film yang disutradarai Jon Watts ini mempertemukan karakter Spiderman lintas "semesta", mulai dari "semesta"-nya Tobey Maguire, Andrew Garfield, hingga yang teranyar, Tom Holland.
Tentu saja setiap Spiderman tadi mempunyai "aura" yang berbeda. Spiderman-nya Tobey misalnya terlihat lebih kalem, bijak, dan rendah hati, mesti di sebuah kesempatan, ia bisa juga tampak begitu rapuh, terutama dalam hal cinta.
Lain halnya dengan Spidey-nya Andrew. Ia tampil begitu atraktif, luwes bergaul, dan jauh dari kesan pendiam. Meski begitu, jangan bikin ia marah, karena kemarahannya bisa sangat mengerikan! Sementara, Spidey-nya Holland? Saya kira, pembaca sudah tahu, sebab di antara ketiganya, yang versi Holland-lah yang paling "ababil".
Ketiga Spiderman tadi memiliki nasib yang hampir sama. Mereka sama-sama pernah kehilangan orang tercinta, seperti Paman Ben, Bibi May, dan Gwen. Kehilangan tersebut memang terasa sangat menyakitkan. Sudah cukup banyak air mata yang terkuras akibatnya.
Namun, hal itu memperlihatkan bahwa sehebat apapun seorang superhero, ia tetaplah manusia yang mempunyai emosi, sama seperti kita semua. Saya kira, inilah bagian yang paling menyentuh sekaligus mendewasakan dalam setiap film Spiderman.
Kesamaan lainnya? Mereka semua ternyata punya kisah cinta yang tak tuntas. Spiderman-nya Tobey gagal menikah dengan Merry Jane. Juga sama halnya dengan Spidey-nya Andrew dengan Gwen. Lalu, yang versi Tom? Cukup sedih. Sebab, ia harus ikhlas "melupakan" dan "dilupakan" oleh kekasihnya Michelle Jones, serta semua orang yang pernah mengenalnya!
Meski begitu, mereka tetap dikenang sebagai "suar" yang menyalakan harapan masyarakat. Kehadiran mereka memberikan sebuah inspirasi kepada banyak orang bahwa kejahatan apapun yang terjadi di muka bumi tidak akan pernah menang melawan kebaikan.
Mungkin terdengar klise, tapi jika kita menonton semua versi film Spiderman, maka demikianlah adanya. Buktinya, sekuat apapun musuhnya, mulai dari Green Goblin, Doc Oc, hingga yang terkuat Thanos, selalu kalah pada akhir cerita!
Maka, jangan heran jika kehadiran Spiderman kerap dielu-elukan. Tidak jarang kita mendengar orang berteriak "Go Spidey! " atau "Go Tiger!" dan kemudian Spiderman beraksi membasmi musuh-musuhnya.
Walau begitu, aksi Spiderman tersebut bukan tanpa cela. Bagi sebagian orang, aksinya dianggap sebagai "main hakim sendiri", atau telah mencoreng citra kepolisian yang sejatinya memang bertugas menangkap kriminal dan menegakkan hukum.
Alhasil, kalau setiap orang bertindak seperti Spiderman, maka kepolisian menjadi tidak berfungsi, dan hukum tidak bisa ditegakkan dengan maksimal. Bukankah hal itu bisa menimbulkan kesan bahwa Spiderman tidak heroik lagi?
Namun, film Spiderman No Way Home berupaya mengubah semua kesan itu. Caranya? Dengan memberikan "kesempatan kedua" kepada semua musuh yang pernah dikalahkan oleh Spiderman sebelumnya.
Dalam film ini, Spiderman berusaha menyembuhkan dan mengembalikan semua musuhnya menjadi manusia normal seperti sediakala. Dengan demikian, mereka tidak perlu lagi terbunuh apabila dikembalikan ke "semesta"-nya masing-masing. Bukankah ini jauh lebih baik ketimbang terus bertarung dan bertempur?
Tentu saja upaya tadi tidak selalu berjalan mulus. Pasalnya, tidak semua musuhnya ingin "dinormalkan". Agaknya mereka sudah "kelewat" nyaman memerankan sosok antagonis yang memiliki kekuatan lebih, sehingga mereka cukup khawatir, kalau berubah jadi manusia normal lagi, maka mereka bakal tidak berdaya seperti sebelumnya.
Namun demikian, Spiderman tetap berusaha "memanusiakan" rival-rivalnya walaupun ia harus membayar usahanya tadi dengan begitu mahal karena mesti kehilangan orang terdekatnya.
Akan tetapi, begitulah superhero. Ia harus siap berkorban dan bekerja untuk keselamatan banyak orang, meskipun pada akhirnya, akibat mantra Doctor Strange, orang-orang yang diselamatkannya justru tidak tahu atau bahkan tidak ingat sama sekali dengan sosok Spiderman. Spiderman yang ramah akhirnya dilupakan dan ditinggalkan!
Namun, tampaknya hal itu cuma terjadi di film saja. Tidak di kehidupan nyata. Sebab, begitu film Spiderman usai, suasana bioskop tempat saya berada terdengar riuh oleh suara tepuk tangan.
Ini adalah kali kedua saya melihat penonton bertepuk tangan untuk sebuah film (yang pertama terjadi ketika saya menonton film Kimi no Nawa). Agaknya ada begitu banyak orang yang mengapresiasi aksi Spiderman. Ini menjadi bukti bahwa Spiderman telah hidup di dalam hati kita semua.
Film Spiderman No Way Home memang menjadi "fenomena" di penghujung tahun 2021. Film ini sukses masuk box office di sejumlah negara. Di Indonesia sendiri, film ini berhasil menarik sekitar 11 juta penonton, dan ini merupakan sesuatu yang luar biasa!
Sejumlah penghargaan pun diraihnya, di antaranya Golden Tomato Awards, Hawaii Film Critics Society, Casting Society of America, Chicago Indie Critics Awards, dan lain-lain. Penghargaan tadi sekaligus menegaskan bahwa Spiderman adalah urban culture yang ikonik di mata masyarakat dunia.
Kelanjutannya? Spiderman No Way Home tidak tamat begitu saja. Bagian akhir film masih menyisakan ruang untuk sekuel berikutnya. Beda dengan James Bond-nya Daniel Craig yang sudah jelas ending-nya, kisah Peter Parker sebagai Spiderman masih terus berlanjut.Â
Mungkin ia bakal bertemu dengan musuh baru yang jauh lebih kuat, atau malah berjumpa dengan musuh lama dari "semesta" yang berbeda. Kita nantikan saja kelanjutannya.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H