Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Pengalaman Saya 29 Kali Ikut Donor Darah

11 April 2022   07:00 Diperbarui: 11 April 2022   16:44 1029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Donor Darah/Dokumentasi Adica

Pengalaman ini mungkin terkesan "flexing". Namun, "flexing" yang saya ceritakan kali ini tentu berbeda dengan "flexing" yang dilakukan oleh beberapa pesohor di media sosial.

"Flexing" yang saya sampaikan sama sekali tidak memperlihatkan jumlah uang yang saya miliki, deretan mobil mewah yang saya koleksi, atau beberapa rumah megah yang saya beli. Tidak. Tidak sama sekali. Saya tidak punya banyak uang, mobil, atau rumah yang pantas dipamerkan. Yang saya punya hanyalah pengalaman ikut donor darah sebanyak 29 kali. Itu saja.

Saya mulai donor darah sekitar tahun 2013 silam. Pada waktu itu, saya ingat tempat ibadah yang saya kunjungi mengadakan donor darah. Petugas PMI dari Kabupaten Bekasi diundang, dan umat yang hadir bisa melakukan donor darah di situ.

Sebelumnya tidak terbersit di pikiran saya untuk ikut donor darah. Saya hanya datang ke tempat ibadah untuk menjalankan kebaktian sebagaimana biasa. Itu saja. Tidak ada maksud lain.

Namun, setelah kebaktian selesai, teman saya berinisiatif ikut donor darah. "Donor darah yuk," ajaknya. Karena tidak ada alasan untuk menolak, maka saya mengiyakan ajakannya.

Lagipula, donor darah adalah sesuatu yang baru bagi saya. Saya belum pernah ikut donor darah sebelumnya, dan mungkin itu bisa menjadi pengalaman unik yang "memperkaya" memori saya. Maka, jadilah kami mendaftar donor darah.

Ikut donor darah sebetulnya mudah dilakukan. Awalnya, kita diminta mengisi formulir, yang memuat data pribadi dan sejumlah kuesioner. Selanjutnya, ada pemeriksaan medis, berupa pengecekan tensi darah, golongan darah, dan berat badan. Jika semuanya lolos, maka darah kita bisa diambil. Dari 29 kali ikut donor, seingat saya, saya hanya sekali ditolak, karena tensi saya dianggap cukup tinggi. Sisanya saya dinyatakan layak donor.

Ketimbang tangan kanan, saya lebih sering menggunakan tangan kiri untuk ditusuk jarum. Sebetulnya tidak ada alasan khusus terkait hal tersebut.

Namun, karena saya bepergian mengendarai sepeda motor, maka saya pikir, akan lebih baik jika tangan kiri saja yang digunakan. Sebab, kalau tangan kanan saya nanti jadi "lemas" setelah disuntik, saya khawatir tidak kuat mengegas motor. Hehehe.

Saya tidak punya phobia terhadap jarum. Namun, sewaktu petugas PMI mulai menunjukkan jarum yang lumayan panjang dan mengolesinya pelan-pelan dengan alkohol supaya steril, mata saya tidak sanggup melihat.

Saya hanya bisa memalingkan wajah, tidak berani menatap langsung adegan ketika petugas tadi meraba area pembuluh darah di tangan saya, dan dengan tekad yang teguh, bersiap menusukkan jarum yang tajam tadi ke situ!

"Tahan napas, Mas" katanya, dan cus! Mengalirlah darah saya ke selang jarum tadi!

Orang bilang rasanya sih seperti digigit semut. Saya kira itu keliru! Jujur, rasanya perih, bro and sis!

Donor Darah/Dokumentasi Adica
Donor Darah/Dokumentasi Adica

Meski begitu, rasa perih tadi bukanlah halangan, sebab bertahun-tahun kemudian, saya malah jadi keranjingan donor darah!

Mungkin ini cuma perasaan saya saja, tapi sejak rutin donor darah, saya merasa mendapat sejumlah manfaat bagi kesehatan saya. Di antaranya ialah tubuh saya jadi lebih "enteng". Setelah donor darah, tubuh saya ibarat motor yang baru saja diservis. Saya bangun tidur dalam kondisi yang jauh lebih bugar daripada sebelumnya, dan hal ini tentu berdampak positif bagi kegiatan yang saya lakukan.

Berikutnya, saya pun jadi jarang sakit. Dulu, sebelum rajin donor darah, tubuh saya rentan terserang penyakit. Sebentar-sebentar masuk angin, sebentar-sebentar batuk pilek.

Namun, begitu rutin donor darah, daya tahan tubuh saya membaik. Penyakit musiman yang dulu kerap saya alami jadi jarang muncul. Alhasil, kesehatan saya sekarang terjaga dengan baik.

Selain itu, dengan berdonor darah, saya juga berkesempatan berbuat baik. Saya ingat, suatu hari, sewaktu saya datang ke kantor PMI, seorang bapak sedang duduk dengan wajah yang gelisah. Begitu saya berjalan ke pintu masuk, bapak tadi langsung menghampiri saya.

"Mas golongan darahnya apa?" tanyanya.

Saya jawab bahwa golongan darah saya O.

Lebih lanjut, ia berkata sedang membutuhkan darah dari golongan tersebut untuk keluarganya yang sedang dirawat di sebuah rumah sakit, dan kebetulan golongan darah saya cocok. Ia meminta saya untuk mendonorkan darah untuk keluarganya tadi dan saya menyanggupi permintaannya.

Setelah donor darah selesai dilakukan, bapak tadi kembali mendekati saya. Dengan wajah tersenyum, ia berkata sambil menghormat, "Makasih ya Mas."

Belum pernah saya mendengar ucapan terima kasih yang menggetarkan hati begitu! Mungkin apa yang saya berikan terlihat kecil, tapi tidak bagi keluarga bapak tadi. Sejak saat itu, saya menyadari bahwa donor darah yang saya lakukan tidaklah sia-sia. Darah yang kita donorkan benar-benar bisa menyelamatkan hidup orang lain. Bukankah hal itu adalah kebaikan yang luar biasa?   

Jika ditanya apakah saya bekal berhenti donor darah? Setelah 29 kali ikut donor darah, saya kira, saya sudah "telat" untuk berhenti. Yang ada, saya malah jadi tambah semangat untuk donor darah.

Apalagi sewaktu bulan puasa seperti sekarang, yang mana biasanya stok darah di PMI cenderung berkurang, sementara kebutuhan pasokan darah di sejumlah rumah sakit tetap ada, saya kira, inilah waktu yang paling tepat untuk melakukan donor darah.

Yuk, donor darah!

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun