Seperti sudah diketahui bersama, begitu subsidi minyak goreng diberlakukan, terjadi "euforia". Saya ingat, tetangga saya rela antri berjam-jam di supermarket hanya untuk memperoleh dua kantong minyak goreng. Pada waktu itu, setiap orang mendapat jatah maksimal dua kantong minyak goreng per hari.
Meskipun terkesan "ironis" mengingat Indonesia merupakan salah satu produsen minyak sawit terbesar di dunia, sehingga hampir mustahil warganya akan kekurangan minyak goreng, namun saya berpikir antrian semacam ini paling-paling hanya akan berlangsung beberapa hari saja.
Sebab, jika stok minyak murah yang dijanjikan pemerintah dalam 6 bulan ke depan nanti bakal "diguyur" lebih banyak ke masyarakat, maka setiap orang tentu bakal mendapat minyak goreng dengan harga yang murah tanpa harus berebut begitu.
Namun demikian, seiring berjalannya waktu, agaknya saya mesti merevisi pemikiran saya. Nyatanya, biarpun sudah ada banyak operasi pasar yang memasok minyak goreng murah, antrian panjang tetap saja terjadi. Orang-orang masih susah menikmati minyak goreng murah. Alhasil, kelangkaan minyak goreng pun tidak terelakkan!
Sebab-sebab Kelangkaan Minyak Goreng
Ada sebuah pertanyaan yang kemudian "menghantui" pikiran saya terkait kenaikan harga minyak goreng: "Mengapa bisa sampai terjadi krisis minyak goreng demikian? Bukankah dengan berlimpahnya biji sawit di Indonesia, seharusnya pasokan minyak goreng tidak akan tersendat dan harganya tidak akan begitu tinggi?"
Pertanyaan ini memang memiliki sejumlah jawaban. Di antaranya ialah fenomena "commodity supercyle". Fenomena ini sebetulnya cukup lazim terjadi setelah terjadi krisis ekonomi. Fenomena ini umumnya ditandai dengan melambungnya harga komoditas, termasuk minyak sawit, akibat tingginya permintaan di pasar.
Tingginya permintaan tadi disebabkan oleh pulihnya perekonomian sejumlah negara importir minyak sawit terbesar. Jika sebelumnya permintaan tadi menurun drastis akibat munculnya Pandemi Covid-19, maka tatkala kondisi ekonomi membaik, permintaan atas minyak sawit meningkat tajam.
Permintaan ini tidak bisa dipenuhi dengan segera mengingat sejumlah negara produsen minyak sawit, seperti Indonesia dan Malaysia, masih memberlakukan pembatasan sosial.
Alhasil, terjadilah kelangkaan, dan imbasnya harga minyak sawit, yang merupakan bahan baku pembuatan minyak goreng, melambung tinggi. Saat tulisan ini dibuat, harga minyak sawit menyentuh level 5600 Ringgit Malaysia per ton.
Alasan lainnya, terdapat faktor penimbunan. Saya kira, hal ini tidak perlu dijelaskan secara panjang lebar, karena di sejumlah kanal berita sudah tersiar kabar bahwa ada oknum-oknum tertentu (mafia minyak goreng) yang dengan sengaja menimbun minyak goreng demi mengeruk keuntungan. Jika penimbunan tadi dilakukan dalam jumlah yang masif, katakanlah sampai ribuan karton, maka jangan heran kalau minyak goreng jadi begitu langka.