"Setelah bekerja bertahun-tahun, mengapa gaji saya tidak naik-naik? Saya sudah berusaha begitu keras, tetapi mengapa atasan tidak juga mempromosikan saya? Dia kan karyawan baru, tapi mengapa bisa naik jabatan lebih cepat? Jika penghasilan saya lebih besar dari pasangan, apakah hal tersebut bakal menimbulkan konflik dalam kehidupan pernikahan?"
"Saya kurang suka dengan perubahan yang dilakukan oleh atasan, apakah itu artinya saya harus pindah ke perusahaan lain? Saya tidak cocok dengan pekerjaan saya, sehingga saya ingin berganti divisi, bagaimana cara saya meyakinkan atasan supaya menyetujui keinginan tersebut?"
Pertanyaan di atas adalah sekelumit persoalan yang kerap dijumpai oleh karyawan yang bekerja di sebuah perusahaan atau instansi.
Disebut sekelumit, lantaran mungkin masih ada lagi lusinan pertanyaan lain yang menyertainya. Alhasil, jika dijabarkan satu per satu, maka artikel sederhana ini mungkin tidak akan cukup untuk menampilkannya.
Meski begitu, hal tadi memang wajar terjadi. Disebut demikian karena hampir di semua organisasi, hal tersebut kerap dijumpai. Sepertinya tidak ada organisasi manapun yang bebas dari persoalan, baik yang berasal dari diri karyawan itu sendiri, atasan, maupun lingkungan.
Uniknya lagi, setiap persoalan yang muncul mempunyai solusi yang berbeda. Ibarat sebuah pintu, sebuah persoalan baru bisa "terbuka" kalau kita sudah menemukan dan menggunakan "kunci" yang pas.
Jadi, tugas kita sebetulnya sederhana saja: mencari "kunci" yang tepat untuk menyelesaikan masalah dalam karier yang sedang dihadapi.
"Kunci" tersebut bisa ditemukan dengan berbagai cara, di antaranya dengan membaca buku. Salah satunya buku "Segelas Kopi dan Segudang Cerita Karier", yang ditulis oleh Elin Waty, Presiden Direktur Sun Life Indonesia.
Buku ini memuat sejumlah persoalan yang kerap dialami oleh karyawan, dan menawarkan solusinya yang dikemas dengan bahasa yang sederhana.
Meski baru diterbitkan pada tahun 2021, namun keinginan Elin untuk menulis buku ini sebetulnya sudah terbersit sejak 20 tahun lalu. Keinginan itu bisa muncul bukan tanpa alasan, mengingat sejak dulu, ia memang senang membaca novel.
Beragam jenis novel disukainya, mulai dari yang bertema romantis, remaja, hingga serius. Maka, jangan heran, ia pun berkeinginan, suatu hari, bisa menerbitkan karya sendiri.
Namun, sayangnya, keinginan itu hanya bisa mengendap di dalam hatinya saja. Ibarat sebuah benih, keinginan tadi hanya bisa terpendam selama bertahun-tahun tanpa pernah terwujud secara nyata.
Meski begitu, benih itu bukan berarti sudah mati sama sekali. Ia masih mempunyai potensi untuk tumbuh. Hanya saja, ia belum menemukan kondisi yang tepat untuk berkecambah, berkembang, dan berbuah.
Kondisi itu justru baru timbul bertahun-tahun kemudian. Namun, anehnya, kondisi yang dimaksud ternyata bukanlah keadaan yang ideal. Disebut demikian karena kemunculannya baru terjadi tatkala Pandemi Covid-19 menyebar ke seluruh dunia.
Seperti diketahui, pandemi tersebut memaksa banyak orang untuk mengubah perilaku, termasuk dalam hal bekerja. Jika sebelumnya urusan pekerjaan, seperti rapat dan administrasi, banyak diselesaikan di kantor, kini ada begitu banyak orang yang melakukannya di rumah.
Sebagai orang yang senang bersosialisasi, tentu saja ini menjadi berat karena Bu Elin menjadi rindu untuk ngobrol secara langsung dengan teman-temannya.
Di tengah perasaan itulah, Elin kemudian terpikir menulis buku. Jika bercakap-cakap secara langsung masih begitu terbatas, maka ia mungkin masih bisa berbincang-bincang lewat tulisan.
Hal inilah yang kemudian membuatnya menyisihkan waktu setiap akhir pekan untuk mencicil tulisan, yang menjadi dasar buku "Segelas Kopi dan Segudang Cerita Karier" ini.
Jika kita menyimak isi buku ini, maka sebetulnya kita bakal menemukan sejumlah keunikan di dalamnya.
Pertama, gaya penulisannya begitu sederhana dan santai. Elin menulis buku ini seperti seorang sastrawan mengarang sebuah novel. Alih-alih menggunakan gaya bahasa yang formal, layaknya buku-buku manajemen, ia lebih memilih menyajikan persoalan karier dalam bentuk cerita.
Gaya bahasa tersebut dirasa tepat. Sebab, seseorang mungkin akan malas membaca buku yang terkesan menggurui, tetapi ia tentu akan senang mendengar cerita.
Cerita bisa merefleksikan pengalaman yang pernah dialaminya. Maka, jangan heran, cerita yang ditulis Elin begitu mengena di hati, sehingga tidak jarang, pembacanya pun berpikir, "Eh kok cerita ini gue banget!"
Kedua, punya visual yang menarik. Tak melulu menampilkan kata-kata, buku ini juga menyajikan beberapa foto di dalamnya. Tentu saja, foto-foto tadi disajikan guna mendukung konten tulisan yang ditampilkan.
Walau begitu, jika dicermati dengan seksama, maka kita akan menemukan bahwa foto-foto tadi mempunyai nuansa yang hangat.
Foto-foto seperti secangkir kopi, pemandangan alam, dan keluarga, bisa mencairkan pembahasan persoalan karier yang terkesan berat dan dingin. Alhasil, biarpun sejatinya berat, namun dengan melihat visual buku ini, persoalan tadi mungkin terasa begitu enteng.
Ketiga, bisa dimulai dari mana saja. Buku ini memuat 20 cerita, tetapi kita bisa membacanya dari bab yang mana saja yang kita suka.
Kita bisa mulai dari bab awal, tengah, atau bahkan akhir, karena memang tidak ada alur yang linear, layaknya novel. Alhasil, cerita-cerita di dalamnya lebih mirip prasmanan, yang bisa dipilih dan disantap sesuka hati.
Keempat, berhadiah kopi. Berbeda dengan buku-buku pada umumnya, pembelian buku ini ternyata berisi hadiah berupa Kopi Sidikalang 200 gram. Kehadiran kopi ini bisa jadi teman yang asyik dalam membaca. (untuk pemesanan, silakan kunjungi link berikut: https://bit.ly/BukuSegelasKopi)
Kelima, untuk donasi. Royalti yang didapat atas penjualan buku juga bakal disumbangkan ke Wahana Visi Indonesia. Jadi, dengan membeli buku ini, selain menambah wawasan, maka kita juga dapat ikut berkontribusi di bidang pendidikan.
Persoalan karier boleh disebut sebagai sebuah keniscayaan. Persoalan semacam ini bakal terus muncul kapan pun dan di mana pun, mulai dari organisasi yang kecil hingga yang besar.
Semuanya serupa. Seperti yang dikatakan Elin: "Lari dari masalah yang ditemukan di satu perusahaan dan pindah ke perusahaan lain memang jalan yang paling mudah. Tetapi, apabila masalah yang sama ditemukan lagi, maka kita tidak pernah tahu cara menyelesaikannya."
Oleh sebab itu, yang membedakan adalah cara kita dalam mengelola, mengomunikasikan, dan menuntaskannya.
Barangkali, di situlah kita mesti belajar seninya berkomunikasi. Sebab, seperti yang disampaikan Elin, sejumlah persoalan karier sebetulnya bisa diselesaikan dengan baik, asalkan seseorang terampil berkomunikasi dengan baik, sebagaimana yang terlihat jelas di buku "Segelas Kopi dan Segudang Cerita Karier."
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H