Di tengah kemacetan yang begitu panjang, Gus Dolphin masih sempat bernyanyi dengan riang. Sambil menaiki seekor kuda, dengan santai, ia melintasi lusinan mobil yang sedang mengantree di sebuah pom bensin. Tak ada sedikit pun reaksi marah, sewot, atau bahkan frustrasi yang diperlihatkannya. Ia tampak cuek. Bahkan, ia sampai merekam aksinya di tiktok. "I don't need petrol cos I'm on a horse," lantunnya.
Mungkin lagu yang dinyanyikan gus merupakan "sindiran" atas krisis energi yang tengah melanda Inggris. Maklum, sudah beberapa minggu, Inggris mengalami paceklik energi, mulai dari langkanya bbm, naiknya harga gas, hingga meningkatnya tarif listrik. Tak dapat diperkirakan sampai kapan krisis tersebut bakal berlangsung. Namun, yang jelas, jika terjadi selama berbulan-bulan, maka boleh jadi, bakal timbul kekacauan yang hebat di tengah masyarakat.
Untuk mencegah peristiwa tersebut, Pemerintah Inggris kemudian melakukan sejumlah upaya. Salah satunya adalah menggunakan kembali Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batubara. Pemerintah Inggris sepertinya hanya punya sedikit pilihan, sehingga dengan "terpaksa" memakai kembali PLTU, yang sudah cukup lama diberhentikan operasinya tersebut.
Keputusan tadi tentunya "berseberangan" dengan komitmen Inggris untuk mencapai Net-Zero Emissions, sebagaimana yang tertuang dalam Paris Agreement pada tahun 2015. Dalam kesepakatan tersebut, sejumlah negara, termasuk Inggris, bertekad menjaga suhu global tetap stabil dengan menerapkan beberapa kebijakan.
Di antaranya ialah dengan meninggalkan atau meminimalkan penggunaan batubara. Maklum, batubara adalah sumber energi yang cukup boros mengeluarkan emisi Gas Rumah Kaca. Alhasil, kalau sejumlah negara masih mengandalkan batubara sebagai sumber energinya, maka bumi terancam bakal lebih panas dalam beberapa dekade ke depan.
Namun, sayangnya, krisis energi yang terjadi malah membuat batubara kembali diandalkan. Inggris ternyata tidak sendirian, sebab sejumlah negara di Uni Eropa pun mengalami krisis yang sama. Bahkan, Tiongkok dan India pun dikabarkan bernasib serupa.
Alhasil, banyak PLTU berbahan bakar batubara akhirnya kembali diaktifkan, dan permintaan atas batubara pun melonjak signifikan. Sewaktu tulisan ini dibuat, harga batubara sudah menembus level USD 260/Metrik Ton, tertinggi dari 5 tahun terakhir!
Meski begitu, melesatnya harga batubara tidak serta-merta membuat Paris Agreement ditinggalkan begitu saja. Negara-negara yang menandatanganinya masih tetap menjalankan komitmen untuk menjaga kelestarian dunia.
Pun termasuk Indonesia. Pada tahun 2016, Paris Agreement sudah diratrifikasi melalui Undang-Undang No. 16 tahun 2016 tentang pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change. Dalam framework-nya, Indonesia bertekad mencapai Net-Zero Emissions paling lambat tahun 2060.
Demi mewujudkannya, tentu saja, pemerintah tak bisa bekerja sendirian. Dibutuhkan peran serta masyarakat untuk meminimalkan efek Gas Rumah Kaca. Sebetulnya peran serta yang diambil cukup sederhana dan mudah. Berikut adalah lima peran serta masyarakat untuk mencapai Net-Zero Emissions.
1. Bijak Menggunakan Listrik
Listrik merupakan kebutuhan dasariah yang harus tersedia demi menunjang kehidupan. Meski begitu, pasokan listrik masih terbatas, belum merata dan menjangkau semua lapisan masyarakat. Makanya, walaupun di kota-kota besar kebutuhan listrik sudah tercukupi, namun kita tetap mesti bijak memakai listrik. Alasannya? Semakin efisien penggunaan listrik yang kita lakukan, maka semakin besar kontribusi yang kita berikan untuk mendukung terwujudnya Net-Zero Emissions.
Hal ini tentu bisa dimaklumi, mengingat listrik yang sehari-hari kita gunakan mayoritas dipasok dari PLTU berbahan bakar batubara. Seperti dilansir dari tirto.id, pada tahun 2020, sebanyak 35.216 MW atau setara 49,67% dari total kapasitas nasional yang mencapai 70.900 MW bersumber dari PLTU tersebut. Ini artinya ketergantungan kita terhadap penggunaan batubara masih sangat besar.
Oleh sebab itu, jika ingin mendukung program Net-Zero Emissions, mulai sekarang, kita mesti belajar menyiasati pemakaian listrik. Caranya bermacam-macam. Di antaranya adalah dengan menggunakan peralatan elektronik yang hemat energi, mulai dari lampu, kulkas, hingga AC.
Dalam keluarga saya, cara ini sudah lama diterapkan. Semua lampu yang terdapat di rumah sekarang telah memakai LED yang lebih hemat energi. Pemakaiannya pun hanya untuk malam hari saja. Pada siang hari, mayoritas lampu dipadamkan, dan sumber cahaya di dalam rumah lebih banyak mengandalkan sinar matahari.
Selain itu, peralatan elektronik lain pun bisa dipakai seperlunya saja. Jika memang tidak begitu diperlukan, ac sebaiknya dimatikan. Membuka jendela untuk mendapatkan udara segar tentu jauh lebih baik, sehingga sirkulasi udara di dalam rumah bisa berlangsung dengan lancar.Â
Dengan cara ini, keluarga saya jadi jauh lebih berhemat, mengingat hanya bayar tagihan listrik sekitar Rp 400 ribu per bulan. Bukankah ini cara yang bagus untuk menyehatkan keuangan, sekaligus menyelamatkan lingkungan?Â
2. Memakai Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap Skala Rumah
Rumah yang mengusung konsep Net-Zero Emissionss adalah rumah yang mampu swasembada energi. Rumah tersebut sekarang sudah mulai bermunculan di masyarakat. Buktinya, beberapa developer kini mulai menjual rumah yang dilengkapi dengan PLTS atap skala rumah.
Harganya memang masih terbilang "premium". Maklum, fasilitas berupa PLTS tadi jelas menambah ongkos pembangunan. Terlebih, harganya pun cukup mahal. Sekadar diketahui, per Kilowatt Peak, harga rata-rata PLTS tadi berkisar antara Rp 13-15 juta.
Meski demikian, kehadiran rumah tersebut bisa menjadi "pion" bagi tren industri properti di Indonesia. Apalagi Indonesia merupakan negara tropis yang berlimpah sinar matahari, sehingga penggunaan PLTS tadi dirasa cocok diterapkan. Alhasil, biarpun sekarang masih terbatas, tetapi bukan mustahil jumlah rumah model demikian suatu saat bakal bertambah luas.
3. Membiasakan Urban Farming
Urban Farming kini bukan lagi sebuah hobi sesaat, melainkan bagian dari gaya hidup. Buktinya, di beberapa tempat umum, kini sudah mulai terlihat wujud Urban Farming berupa pembuatan vertical garden, yang tampak begitu elok dan segar.
Sebut saja vertical garden, yang sempat saya lihat beberapa tahun silam di Kawasan Palmerah. Kehadiran vertical garden tersebut tak hanya mempercantik lingkungan, tetapi juga bisa mengurangi emisi karbon di udara. Apalagi, bahan yang dipakai juga sangat ramah terhadap lingkungan, karena dibuat dari barang bekas yang sudah tidak terpakai, seperti botol plastik, talang air, atau kain.
Tentu saja model vertical garden demikian bisa juga dirakit di rumah. Beberapa tahun lalu, saya pernah membikin vertical garden serupa dari pipa paralon. Caranya cukup sederhana, yakni melubangi pipa paralon di sejumlah sisi, kemudian mengisinya dengan tanah yang dicampur pupuk, dan menaruh benih tanaman tertentu di dalamnya.
Pada waktu itu, saya memilih menanam pakcoi di vertical garden tersebut. Hasilnya? Pakcoi yang saya tanam di situ ternyata bisa tumbuh dengan subur. Oleh sebab itu, meskipun terkesan kecil dan sederhana, namun cara ini merupakan wujud nyata untuk membantu mengurangi emisi karbon.
4. Memilih Bahan Bakar Minyak Beroktan Tinggi
Ketergantungan masyarakat terhadap konsumsi BBM jelas masih begitu tinggi. Biarpun sekarang sudah tercipta beberapa sumber energi terbarukan, macam B20, biogas, dan sebagainya, namun bahan bakar fosil sepenuhnya belum bisa tergantikan.
Walau begitu, bukan berarti tak ada cara yang bisa dipakai untuk meminimalkan efek Gas Rumah Kaca, yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil tersebut. Efek tadi sebetulnya bisa dikurangi, jika kita bersedia memakai bahan bakar beroktan tinggi.
Alasannya? Selain membikin proses pembakaran di mesin jadi jauh lebih sempurna, emisi yang dikeluarkan juga jauh lebih sedikit. Hal ini tentunya bisa menekan jumlah emisi yang bisa mencemari lingkungan, serta mempercepat terwujudnya Net-Zero Emissions.
5. Berinvestasi pada Saham yang Ber-ESG (Environmental, Social, & Corporate Governance)
Semangat mewujudkan Net-Zero Emissions kini juga mulai terpancar di dunia pasar modal. Buktinya, kini Bursa Efek Indonesia (BEI) telah merilis indeks ESG Leader. Indeks ini memuat 30 saham, yang bisnisnya ramah terhadap lingkungan, bermoral secara sosial, dan bertata kelola yang baik.
Jumlahnya sekarang memang masih terbilang sedikit, jika dibandingkan jumlah saham yang tercatat di BEI, yang menyentuh angka 759 emiten. Namun, bukan berarti jumlah tersebut mustahil bertambah pada masa depan, mengingat sejumlah perusahaan tambang batubara kini mulai bertransformasi menjadi perusahaan energi yang berwawasan lingkungan.
Sebut saja PT Indika Energy Tbk.. Perusahaan berticker INDY ini kini mulai merintis sejumlah perusahaan energi terbarukan, serta pelan-pelan meninggalkan bisnis tambang batubara. Ini merupakan wujud komitmen Indika dalam mendukung terwujudnya kebijakan Net-Zero Emissionss.
Oleh sebab itu, jika berinvestasi di saham demikian, maka secara tersirat, sebetulnya kita sudah ikut serta di dalam komitmen tersebut.
***
Krisis energi yang melanda sejumlah negara seperti yang disinggung sebelumnya memang menyisakan sebuah tanda tanya:
"Siapkah kita mewujudkan Net-Zero Emissions di tahun 2060?"
Saya kira, pertanyaan tadi sangat bergantung pada keseriusan beberapa pihak.
Dari pihak pemerintah, sebetulnya sudah ada "big plan" untuk mewujudkan hal tersebut. Buktinya, pada tahun depan, pemerintah bakal menetapkan pajak karbon, dan berencana menyetop produksi kendaraan berbahan bakar bensin dalam beberapa dekade berikutnya. Kebijakan ini diambil demi mengurangi efek Gas Rumah Kaca, yang bisa menyebabkan temperatur bumi naik 2 derajat celcius!
Dari pihak korporat pun demikian. Kesadaran untuk lebih memperhatikan kelestarian alam kini mulai terbangun dan tercermin dari kebijakan yang dilakukan oleh sejumlah korporat, di antaranya menghijaukan kembali daerah bekas tambang, mencoba memanfaatkan energi terbarukan, dan menerapkan tata kelola yang baik.
Sementara, dari masyarakat umum, peran serta yang dapat diambil, di antaranya, ialah dengan melakukan lima hal yang diuraikan sebelumnya. Biarpun terkesan sepele, namun apabila dilakukan secara bersama-sama, maka boleh jadi, akan muncul perubahan yang besar dalam merawat lingkungan. Jadi, jika dengan langkah tersebut saja sudah bisa berdampak positif, maka untuk apa kita menunggu terlalu lama untuk melakukannya?
Salam.
Referensi:
https://investor.id/bumee/264892/jalan-panjang-indonesia-mengurangi-gas-rumah-kaca
https://tirto.id/energi-fosil-sumbang-85-listrik-ri-per-mei-2020-terbanyak-pltu-fU1K
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H