Seorang saudara saya, yang baru terjun ke dunia saham, kemarin bercerita bahwa ia sempat susah tidur begitu melihat harga saham yang dibelinya jatuh sekitar 10%. Ia berkata cukup khawatir kalau-kalau saham tersebut turun lebih dalam lagi, sehingga nilai loss-nya bakal bertambah lebar.Â
Jika "skenario" tadi terjadi, maka jadinya bakal terkesan konyol, mengingat baru beberapa hari ia membelinya. "Masa baru investasi saham beberapa hari sudah langsung rugi?"
Mungkin saudara saya menyesal dengan keputusannya berinvestasi di saham tersebut, tapi yang jelas, ia masih terus menyimpan sahamnya, tanpa tertarik untuk segera menjualnya. Sepertinya ia belajar "berdamai" dengan pasar saham, yang belakangan memang cukup volatil. Alasan lainnya, mungkin ia juga mendengarkan nasihat saya untuk terus memegang sahamnya. Saya menilai fundamental perusahaannya masih bagus, sehingga meskipun sudah loss 2 digit, namun tidak ada alasan baginya untuk melepas saham tersebut.
Lebih gila lagi, saya bahkan menganjurkannya membeli lagi di harga bawah. Itu dilakukan kalaupun ia masih punya uang sisa. Namun, sepertinya, ia tidak melakukannya, sebab jumlah sahamnya tidak berubah. Ia tampaknya memilih berdiam diri dan berdoa, supaya harganya lekas naik dan ia bisa lepas dari kesulitan tersebut.
Doanya terjawab beberapa minggu kemudian. Harga sahamnya kembali mantul. Ia kemudian memutuskan keluar, dan meraup cuan beberapa ratus ribu rupiah. "Lumayan," kata saya. Kini ia bisa tidur nyenyak tanpa harus khawatir terhadap kondisi pasar saham esok harinya.
Namun, ketenangan tadi ternyata tidak berlangsung lama. Sebab, kemudian ia menyesal begitu melihat bahwa saham yang baru dilegonya ternyata malah terbang 10% pada esok harinya. "Ah, coba aku masih hold," katanya via whatsapp.
Kejadian yang dialami oleh saudara saya mungkin pernah dirasakan oleh orang lain. Saya sendiri pun dulu pernah mengalaminya. Saya ingat, pada awal-awal berinvestasi saham, sempat merasa grogi terhadap pergerakan harga saham.Â
Kalau harga saham turun, saya khawatir bakal merugi, sementara jika untung, saya takut melepas saham, yang besoknya masih mungkin lanjut naik harganya.
Meski begitu, perasaan itu kini sudah tidak begitu berpengaruh di batin saya. Saya tidak tahu sebabnya. Mungkin karena sudah terbiasa dengan dinamika pasar saham. Mungkin juga karena bertambahnya insting dalam memahami pergerakan harga.Â
Setelah bertahun-tahun berkecimpung di pasar saham, sepertinya saya sudah sedemikian "akrab" dengan segala situasi yang terjadi di sana, sehingga saya sekarang sudah mampu mengelola emosi dalam berinvestasi dengan lumayan baik.
Saya kira, hal itulah yang belum dikuasai oleh saudara saya. Ia memang punya uang untuk membeli saham. Ia juga punya pengetahuan dasariah tentang saham.Â
Namun, ia belum punya keterampilan untuk mengendalikan emosinya. Oleh sebab itu, jangan heran kalau ia jadi gampang grogi terharap pergerakan harga saham yang sangat fluktuatif.
Alasan Grogi
Jika dijabarkan satu per satu, saya kira, ada beberapa alasan, yang membikin seorang investor, khususnya yang baru menjajal investasi saham, jadi mudah grogi terhadap pergerakan harga yang terjadi.
1. Tidak Membaca Laporan Keuangan
Mungkin terdengar gila, tapi nyatanya masih ada begitu banyak investor saham yang malas baca laporan keuangan. Alasannya? Membaca laporan keuangan itu ribet, ruwet, dan pusing.Â
Mungkin mereka benar, mungkin juga tidak. Namun, yang jelas, laporan keuangan dan dokumen penting lain haruslah menjadi dasar dalam membuat keputusan investasi.Â
Sebab, di dalam laporan keuangan itulah termuat berbagai macam informasi penting terkait perusahaan, mulai dari asetnya, utangnya, modalnya, labanya, hingga kasnya.
Jika kita asal membeli saham tanpa mengetahui kondisi keuangan perusahaan, maka hal itu jelas-jelas berisiko. Bagaimana kita bisa berinvestasi saham dengan santai kalau saham yang kita punya ternyata berasal dari perusahaan yang hampir bangkrut? Bagaimana kita dapat berinvestasi dengan tenang jika saham yang kita beli ternyata berasal dari perusahaan yang sedang terkena kasus hukum?
Hal inilah yang jelas-jelas bikin grogi. Makanya, jika ingin berinvestasi dengan nyaman, sebaiknya investor melirik laporan keuangan yang diterbitkan perusahaan. Di situlah kita bisa memastikan apakah saham yang dimiliki termasuk aman atau tidak, sehingga kekhawatiran saat kita menyimpannya bisa dikurangi.
2. Berinvestasi karena Ikut-ikutan Orang Lain
Membeli saham atas rekomendasi orang lain adalah sebab lainnya. Alasannya? Belum tentu orang tersebut kompeten dan jujur. Bisa saja, ia menjual rekomendasi saham untuk meraup keuntungan pribadi. Orang yang seperti itu jelas tidak menghasilkan kekayaan dari investasi saham, tapi dari jualan rekomendasi.
Makanya, sejak dulu, saya enggan ikut jadi member komunitas investor yang berbayar atau yang gratis sekali pun. Alasannya sederhana saja. Member yang terdapat di dalamnya sama-sama tidak pernah bisa membaca atau bahkan memprediksi harga pasar. Yang ada justru mereka malah berdebat tentang analisis siapa yang paling benar.
Perdebatan demikian tentu tidak ada gunanya, apalagi kalau ada member yang rajin tebar fear. Member ini memang senang menyampaikan berita buruk yang mungkin terjadi, sehingga investor yang belum berpengalaman jadi terpikir dan dibuat cemas oleh berita tersebut. Jika terus dijejali oleh berita demikian, bagaimana tidak jadi grogi?
3. Ragu terhadap Analisis Sendiri
Bisa saja, investor melakukan analisis secara mandiri. Ia membaca laporan keuangan, mengikuti public expose, dan menyimak berbagai berita dari berbagai sumber yang bisa dipercaya. Namun, karena belum punya jam investasi yang tinggi, maka ia masih mungkin mengalami rasa grogi.Â
Perasaan itu bisa muncul jika ia masih ragu atas analisis yang dilakukannya. Jangan-jangan gue salah analisis? Kok harga sahamnya masih di situ-situ saja, padahal menurut analisis gue, harusnya sih sudah to the moon!
Untuk kasus seperti ini sebetulnya tidak ada solusi instan yang bisa diambil. Sebab, obat-nya ialah dengan menambah jam investasi. Ini artinya investor mesti lebih banyak belajar dari pengalaman. Ia mesti bertahan selama mungkin di pasar saham, melakukan evaluasi atas keputusan investasi, dan mengambil hikmah atas kesalahan investasi yang diperbuatnya. Alhasil, seiring dengan berjalannya waktu, pengetahuannya bakal bertambah dan rasa grogi bisa teratasi dengan sendirinya.
Dalam berinvestasi saham, selain keterampilan mengelola dana, manajemen emosi juga perlu dikuasai. Sebab, percuma memiliki dana yang berlimpah, tapi kalau investor mempunyai manajemen emosi yang buruk, maka dana tersebut akan berkurang karena terlalu sering cutloss.
***
Merasa grogi terhadap pergerakan harga saham adalah sesuatu yang wajar terjadi. Saya kira, hampir semua investor pernah mengalami perasaan tersebut. Perasaan tersebut tersebut sebetulnya tidak jadi masalah, asalkan tidak sampai mempengaruhi keputusan berinvestasi saham.
Yang jadi persoalan adalah kalau investor merasa grogi secara berlebihan, sehinggi perasaan tersebut justru merugikan dirinya sendiri. Untuk itulah, perasaan grogi yang muncul sebaiknya dijinakkan sebaik mungkin, sehingga perjalanan investasi yang dilakukan bisa berlangsung dengan lebih rasional.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H