Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Pasca Stock Split, Nasib BBCA Bakal "Sesedih" UNVR atau "Secemerlang" SIDO?

2 Agustus 2021   07:00 Diperbarui: 2 Agustus 2021   10:05 8090
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Saham BBCA/ Sumber: https://www.tribunnews.com/

Sebagai salah satu emiten "Big Cap", gerak-gerik yang dilakukan oleh manajemen Bank Central Asia alias BCA memang selalu menyita perhatian investor. 

Salah satunya yang teranyar ialah wacana dilakukannya stock split saham dengan rasio 1:5. Ini artinya harga saham BCA terkini (sekitar Rp 30 ribuan) bakal dibagi 5, sehingga pascastock split, harga sahamnya bakal berkisar di angka 6 ribuan.

Tentu saja aksi korporasi ini dilakukan bukan tanpa alasan. Manajemen tampaknya melihat bahwa harga saham BCA (BBCA) sudah terlalu "tinggi", sehingga begitu sulit dijangkau oleh investor ritel. Hal ini tentunya bisa dimaklumi, mengingat untuk membeli 1 lot saham BBCA saja, kita mesti merogoh kocek sekitar Rp 3 jutaan.

Bagi investor yang memiliki modal minim, tentu ongkos sebesar itu terasa memberatkan. Makanya, jangan heran, jika selama bertahun-tahun, investor yang umumnya "berlangganan" menanamkan modalnya di saham BBCA mayoritas berasal dari investor institusi, seperti perusahaan investasi atau pengelola dana pensiun, yang notabenenya mempunyai modal miliaran rupiah. 

Jadi, dengan dilakukannya stock split, investor ritel bisa lebih gampang memperoleh saham BBCA dengan mengeluarkan modal hanya 600 ribuan saja per lot-nya.

Stock Split Unilever

Meskipun aksi korporasi tersebut terkesan bagus, namun kita mesti melihat aspek lain, yakni bahwa tidak semua saham yang melakukan stock split sukses memperlihat kinerja yang baik dalam jangka panjang.

Sebut saja kasus stock split saham Unilever.

Kasus ini sebetulnya agak mirip dengan BCA, mengingat Unilever mempunyai beberapa kesamaan dengan BCA. Di antaranya Unilever sama-sama tergolong sebagai emiten "Big Cap", yang selama bertahun-tahun telah menjadi "idola" para investor. Hal ini tentu bisa dimaklumi, mengingat Unilever merupakan perusahaan consumer, yang begitu profitable.

Bisa dibayangkan, jika perusahaan lain umumnya hanya mampu menghasilkan Return on Equity (ROE) sebesar 10-30% per tahun, maka Unilever sanggup memberikan ROE lebih besar lagi, yakni 100%! Ini artinya kalau kita menanamkan modal 1 juta rupiah, maka Unilever bisa mengembalikan modal tadi plus keuntungannya sebesar 1 juta lebih dalam waktu 1 tahun!

Maka, jangan heran, karena sangat menguntungkan, maka saham Unilever (UNVR) sampai dipasang dengan harga mahal alias "premium". Pada tahun 2019, sahamnya dihargai 40 ribuan, sehingga untuk membeli 1 lot saja, kita mesti menyiapkan dana 4 jutaan. Sungguh mahal bukan?

Oleh karena harganya sulit dijangkau oleh investor ritel, maka saham Unilever termasuk saham yang kurang liquid alias jarang ditransaksikan. Kenaikan harganya pun tergolong lambat, dalam sehari, hanya 1-2% saja, sehingga para trader enggan melirik saham ini untuk ditrading.

Atas dasar itulah kemudian manajemen memutuskan melakukan stock split dengan rasio yang sama dengan BCA, yakni 1:5. Satu saham Unilever yang seharga 40 ribuan dipecah lima menjadi 8 ribuan.

Setelah melakukan stock split, kinerja saham Unilever sebetulnya masih oke-oke saja. Namun, pandemi Covid-19 sudah mengubah segalanya. Pasalnya, fundamental Unilever terlihat goyah dalam dua tahun terakhir. 

Pendapatannya menurun, utangnya bertambah, dan imbasnya, harga sahamnya pun longsor pelan-pelan. Sewaktu tulisan ini dibuat, saham Unilever diperdagangkan di harga 4200-an alias sudah turun hampir 50% lebih setelah stock split!

Kasus Stock Split Sido Muncul

Nasib berbeda justru dialami oleh Sido Muncul. Sido Muncul adalah salah satu produsen obat herbal (jamu) terbesar di Indonesia. Produknya yang terkenal ialah Tolakangin dan Kuku Bumi.

Maskipun menghasilkan produk yang berbeda, namun Sido Muncul mempunyai sektor usaha yang sama dengan Unilever, yaitu barang konsumsi. Keduanya sama-sama memprodukasi barang yang umumnya dipakai untuk keperluan sehari-hari.

Selain itu, seperti halnya Unilever, Sido Muncul juga termasuk perusahaan yang sangat munguntungkan. Return on Equity-nya konsisten di atas 25% dalam 5 tahun terakhir. Oleh sebab itu, jangan heran, kalau harga saham Sido Muncul (SIDO) juga terbilang premium, biarpun tidak semahal Unilever yang mencapai 40 ribuan per lot. Saham SIDO sewaktu distock split berkisar di harga 1400-an.

Dengan harga sebesar itu, sebetulnya investor ritel sebetulnya masih sanggup membeli sahamnya. Namun, manajemen SIDO tampaknya menilai bahwa sahamnya kurang liquid. Makanya, manajemen SIDO kemudian memutuskan melakukan stock split dengan harapan sahamnya lebih ramai ditransaksikan.

Keputusan ini tidaklah keliru, sebab setelah stock split dengan rasio 1:2 pada tahun 2020, transaksi saham SIDO menjadi lebih aktif. Biarpun begitu, sampai artikel ini ditulis, tidak ada tanda-tanda saham SIDO bakal runtuh seperti Unilever. Pergerakan saham SIDO tetap stabil, bahkan cenderung menguat, seiring dengan rilis laporan keuangan kuartal kedua tahun 2021, yang memperlihatkan kinerja perusahaan yang semakin bagus.

Kasus Stock Split BCA

Nah, sekarang pertanyaan yang menarik diajukan adalah apakah BBCA bakal mengalami nasib yang sama dengan Unilever, yang harga sahamnya cenderung menurun setelah melakukan stock split, atau justru sebaliknya, harga sahamnya bakal tambah melesat layaknya saham SIDO?

Jelas itu adalah pertanyaan yang sulit dijawab, mengingat tidak ada seorang pun yang sanggup meramalkan secara pasti peristiwa yang bakal terjadi pada masa depan. Namun demikian, jika kita berpijak pada fundamental BBCA, maka setidaknya kita sudah mempunyai sedikit "bayangan" atas nasib BBCA dalam jangka panjang.

Seperti diketahui, setelah melewati periode yang berat pada tahun 2020 kemarin, pada tahun ini, sejumlah perbankan besar, termasuk BBCA, sejatinya tengah berbenah. Manajemen berusaha mendorong kinerja perusahaan agar laba yang sebelumnya berkurang atau bahkan minus setidaknya bisa ditingkatkan.

Pada semester 1 tahun ini, hal tersebut sudah mulai terlihat. Berdasarkan rilis laporan keuangan kuartal 2, beberapa bank, termasuk BBCA, sudah menunjukkan pertumbuhan laba yang sedikit lebih baik dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.

Pada laporan tersebut tercatat laba per saham BBCA menyentuh angka 587. Jika angka tersebut disetahunkan, maka akan muncul proyeksi laba sebesar 1173. Artinya, kalau di sisa tahun, laba BBCA tidak bertumbuh sama sekali, dan ujung-ujungnya hanya berkisar di angka tersebut, maka boleh dikatakan perolehan laba pada tahun ini bakal sedikit lebih tinggi daripada tahun sebelumnya, yang hanya sebesar 1100 saja.

Pertumbuhan tersebut seharusnya menjadi sebuah alasan yang kuat bagi investor untuk mendorong harganya lebih tinggi. Terlebih lagi, dengan adanya stock split, saham BBCA bakal lebih likuid, sehingga bukan mustahil sahamnya bakal "to the moon".

Alasan lainnya, jika dilihat dari tren harga selama 5 tahun terakhir, maka BBCA termasuk saham yang uptrend. Dari tahun ke tahun harganya cenderung melesat. Kondisi ini tentunya menguntungkan, mengingat saham yang sedang uptrend biasanya bakal lebih mudah meningkat harganya ketimbang saham yang sedang downtrend.

Selain itu, situasi uptrend juga mengisyaratkan bahwa investor cenderung optimis terhadap kinerja BBCA dalam jangka panjang. Alhasil, dengan kondisi demikian, setelah melakukan stock split, besar kemungkinan saham BBCA bakal terus melanjutkan peningkatannya.

Berdasarkan semua hal tadi, setidaknya saya menyimpulkan bahwa daripada UNVR, nasib BBCA tampaknya bakal lebih menyerupai SIDO. Baik dari sisi fundamental maupun teknikal, tidak ada alasan sahamnya tidak dapat terus memperlihatkan prestasi yang cemerlang dalam jangka panjang.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun