Sewaktu masih menjadi Presiden Amerika Serikat, Donald Trump dikenal mempunyai "jari sakti". Disebut demikian lantaran komentar yang ditulisnya di media sosial kerap menimbulkan "kegaduhan", khususnya di pasar saham. Alhasil, setiap ia mem-posting komentar yang bernada negatif, maka pasar saham langsung jadi bergolak.
Sayangnya, "kesaktian" tadi tidak bertahan lama. Setelah lengser dari kursi presiden, jari-jemari Trump seolah-olah kehilangan "kesaktian"-nya. Semua postingannya kini tidak lagi berpengaruh apapun. (Informasi terkait "jari sakti" Donald Trump bisa dibaca di artikel "Efek "Jari Sakti" yang Sanggup Menggoyang Ekonomi")
Walau begitu, bukan berarti tidak ada orang lain, yang sanggup menandingi "jari sakti" Trump. Sebab, kini terdapat seorang miliarder yang juga memiliki "jari sakti" seperti Trump. Orang tersebut tak lain dan tak bukan ialah Elon Musk.
Musk adalah bos dari dua perusahaan teknologi ternama asal Amerika Serikat, yakni Tesla dan SpaceX. Ia merupakan seorang yang "eksentrik". Disebut demikian, karena ia menciptakan sebuah produk yang "melampaui" zamannya.Â
Buktinya, ia berani mendirikan Tesla Motors pada awal tahun 2000-an meskipun pada waktu itu, tren mobil listrik belum "sedahsyat" hari ini.
Keeksentrikan Musk tak cuma terlihat dari perusahaan teknologinya, tapi juga perilaku investasinya. Beberapa bulan lalu, melalui Tesla, Musk menghabiskan uang triliunan rupiah untuk meraup Bitcoin. (Informasi terkait investasi Bitcoin oleh Tesla bisa dibaca di artikel "2021 adalah Tahun "Keemasan" Bitcoin Cs?")
Awalnya Musk berniat mengembalikan Bitcoin sebagai alat tukar dengan cara membolehkan banyak orang untuk membeli mobil Tesla dengan Bitcoin. Namun, belakangan, niatan ini ditangguhkan lantaran ia tidak ingin kegandrungan masyarakat terhadap Bitcoin malah menyebabkan persoalan lingkungan.
Maklum, selain dengan cara dibeli secara langsung, Bitcoin juga bisa diperoleh dengan cara menambang atau "minning". Kegiatan ini membutuhkan bantuan superkomputer, yang operasionalnya jelas menghabiskan begitu banyak listrik.
Alhasil, jika kebutuhan listrik melonjak karena masyarakat "kesurupan" melakukan minning Bitcoin, maka penggunaan batubara juga bakal meningkat dan hal inilah yang bakal memperparah pencemaran udara, mengingat pembangkit listrik berbahan batubara menghasilkan polusi yang begitu merusak lingkungan.
Makanya, dalam ciutan terbarunya di Twitter, Musk kemudian menyetop sementara pembelian mobil Tesla dengan menggunakan Bitcoin demi meredakan aktivitas minning yang jelas berdampak negatif bagi alam.
Walau begitu, Musk memutuskan tidak menjual Bitcoin yang dibeli Tesla dalam waktu dekat. Tesla masih menyimpannya sebagai sebuah aset, karena memandang bahwa Bitcoin bakal mempunyai nilai tertentu pada masa depan.
Tentu saja ciutan tadi langsung "menyengat" pasar Bitcoin. Begitu ciutan tadi dirilis, harga Bitcoin terbenam semakin dalam. Tidak diketahui apakah penurunan ini cuma bersifat sementara atau bakal berlangsung seterusnya.
Namun, yang jelas, hal ini tentu semakin menegaskan bahwa pergerakan harga Bitcoin lebih banyak dipengaruhi oleh sentimen semata.
Tidak ada faktor fundamental apapun yang punya andil terhadap pergerakan harga Bitcoin, karena seperti kripto lain, Bitcoin memang tidak memiliki "underlying asset" di dalamnya. Alhasil, sampai sekarang pun, tidak ada seorang pun yang bisa menilai secara tepat harga wajar dari Bitcoin.
Maka, jangan heran, tatkala berita yang bernada positif berkurang dan berita yang bernada negatif bertambah, maka harga Bitcoin bisa terjun bebas dalam waktu cepat. Hal ini bisa dilihat dari pergerakan Bitcoin dalam waktu sebulan belakangan.
Pada pertengahan April kemarin, harga 1 keping Bitcoin masih dihargai 920-an juta rupiah. Sekarang, sewaktu tulisan ini dibuat (15 Mei), harganya "hanya" 700-an juta saja! Jadi, jika ada orang yang membeli 1 keping Bitcoin pada pertengahan April kemarin, maka orang tersebut sekarang mengalami loss lebih dari 200 juta rupiah!
Kehilangan uang sebanyak itu dalam waktu sebulan saja mungkin cukup terasa menyesakkan. Kalau yang beli adalah "sultan", barangkali kerugian tadi terlihat kecil, tapi bagaimana apabila yang beli adalah orang biasa yang tidak tahu apa-apa dan berdagang kripto hanya karena ikut-ikutan teman? Yang ada malah bisa celaka!
Situasi semacam ini tentu saja bisa bikin stres, mengingat belum tentu ada kepastian bahwa harga Bitcoin bakal kembali bergerak naik. Semuanya sangat bergantung pada komentar positif, yang diberikan oleh orang berpengaruh, seperti Musk.
Jadi, andaikan Musk kemudian kembali "berkicau" positif tentang Bitcoin, maka bukan mustahil, Bitcoin bakal "terbang" lebih tinggi, dan investor yang merugi 200 juta tadi bisa tidur nyenyak.Â
Namun, apabila yang terjadi justru sebaliknya, katakanlah Musk memutuskan mencairkan Bitcoin yang dibeli Tesla, maka harga Bitcoin boleh jadi bakal tambah amblas.
Inilah sejumlah "skenario" yang mesti dihadapi oleh investor Bitcoin. Sejak semula, perdagangan kripto memang sangat kental dengan spekulasi, sehingga siapapun yang bermain di dalamnya harus siap mental dalam menghadapi segala situasi yang terjadi di pasar kripto.Â
Jadi, jika tidak siap untung besar atau bahkan rugi besar, maka sebaiknya jangan berdagang kripto.
Salam.
Referensi:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H