Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Susah Move On karena "Premature Exit"?

22 Februari 2021   07:00 Diperbarui: 22 Februari 2021   17:23 1046
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bank Syariah Indonesia dengan Kode Saham BRIS/ sumber: www.cnbcindonesia.com

"Di balik 'move on' yang lambat terdapat mantan yang hebat." 

Ungkapan di atas mungkin terkesan agak "lebay" (berlebihan), tetapi kenyataannya memang selalu demikian. Orang-orang yang punya banyak mantan kekasih pasti memahami maksud saya. Sebab, di antara sederet mantan yang pernah singgah di hati, pasti ada satu atau dua orang yang cukup berkesan, sehingga kita begitu sulit melupakannya, biarpun sudah lama berpisah. 

Kesan tadi bisa muncul karena berbagai sebab, seperti kenyamanan, kecocokan, dan kesamaan yang dimilikinya, yang mungkin belum tentu kita peroleh sewaktu berhubungan dengan orang lain. 

Alhasil, setelah kata "putus" disampaikan, kita masih susah berpaling darinya. Kita terus saja "dibayangi" rasa kangen terhadapnya, sehingga tanpa sadar, kita lumayan sering mengecek histori chat dengannya, atau memantau akun media sosialnya, atau menyelipkan obrolan tentangnya. 

Hubungan asmara/ sumber: embracewichita.org
Hubungan asmara/ sumber: embracewichita.org
Itulah tanda-tanda susah "move on" yang umumnya dialami oleh banyak orang, termasuk investor sekalipun. Walau memiliki kesamaan, namun tentu saja kasus susah "move on" yang dirasakan oleh investor mempunyai konteks yang berbeda. 

Jika sebelumnya, konteks "move on" yang dibahas menyangkut hubungan "asmara", maka sekarang konteksnya lebih menyoal tentang "ikatan batin" antara investor dan saham tertentu.

Seperti halnya ikatan cinta, berinvestasi di sebuah saham memang bisa menimbulkan kesan tertentu, apalagi kalau saham tersebut sudah memberikan "cuan" yang besar kepada investor. Semakin besar keuntungan yang diberikan, maka semakin kuat pula keterikatan yang tercipta. 

Ikatan inilah yang begitu sulit lepas, sehingga investor tadi menjadi susah "move on" biarpun sudah menjual saham kesayangannya dan merealisasikan keuntungannya.

Saya sempat mengalami perasaan tersebut sewaktu berinvestasi pada saham INKP beberapa waktu yang lalu. INKP adalah saham produsen kertas terbesar, yang sebagian kepemilikannya dikuasai oleh Grup Sinarmas. 

Pabrik INKP/ sumber: m.bisnis.com
Pabrik INKP/ sumber: m.bisnis.com
Saya ingat mulai membeli saham ini pada harga 7000-an. Alasannya sederhana. Pada kuartal 1 tahun 2020, INKP membukukan penjualan dan laba yang cukup besar dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Tentu saja ini merupakan saham yang menarik dibeli, mengingat kondisi neracanya juga cukup baik dan valuasinya sangat murah.

Pada kuartal 2, laporan keuangannya masih cukup solid, meskipun angka penjualannya hampir berimbang secara year on year. Saya memutuskan terus menyimpan sahamnya, walaupun pada waktu itu, IHSG masih "panas-dingin" dihujani sentimen negatif. 

Pada bulan November 2020, emiten merilis laporan keuangan kuartal 3. Di dalamnya terlihat penjualan yang dibukukan perusahaan mengalami penyusutan. Dalam pandangan saya, kondisi ini kurang begitu bagus, sebab walaupun emiten masih mencatatkan laba yang lebih besar secara yoy, namun laba tersebut lebih besar diperoleh dari keuntungan kurs dan efisiensi yang dilakukan oleh manajemen. 

Saya berpikir, dalam jangka panjang, mungkin saja bisnis INKP bakal tersendat, dan kalau itu sampai terjadi, maka bukan mustahil harganya bakal turun. Oleh sebab itu, di harga 9000-an, saya memutuskan melepas INKP dan merealisasikan keuntungan sekitar 20%.

Ternyata keputusan tersebut merupakan "premature exit" yang saya lakukan. Saya menjual INKP terlalu dini, sebab beberapa bulan kemudian harganya justru "terbang" hingga menyentuh level 14.000-an. Andaikan masih menyimpannya, mungkin keuntungan yang saya peroleh sudah mencapai 100%!

Tentu saja saya "merindukan" INKP yang saya beli beberapa bulan sebelumnya. INKP adalah salah satu mantan terindah saya biarpun saya hanya memperoleh keuntungan yang kecil darinya. Oleh sebab itu, jangan heran kalau saya jadi begitu susah "move on" setelah mengetahui bahwa harga INKP terus terkerek setelah saya lepas!

Premature Exit

Dalam investasi saham, kasus yang saya alami kerap disebut sebagai "premature exit". Kasus ini terjadi manakala investor menjual saham yang sudah menghasilkan keuntungan terlalu cepat, sehingga kehilangan kesempatan untuk memetik keuntungan yang jauh lebih besar tatkala saham tadi melanjutkan kenaikan harga.

"Premature exit" adalah kasus yang biasa terjadi dalam investasi saham. Kasus ini bisa dialami investor manapun, baik yang masih "newbie" maupun yang sudah profesional. 

Kasus ini bisa muncul lantaran keputusan untuk menjual saham sama sulitnya dengan membeli saham. Makanya, jangan heran kalau strategi dalam menjual dan membeli saham bisa cukup berbeda, bergantung pada gaya yang dianut oleh masing-masing investor.

Meski begitu, sekiranya saya perlu menekankan bahwa apapun strateginya, yang jelas jangan pernah menjual saham karena sedang terbawa emosi. Anda bisa menyesalinya. Sudah ada sejumlah kejadian yang memperlihatkan hal tersebut.

Contohnya, kejadian seperti ini sempat dirasakan oleh seorang teman saya, yang memutuskan melepas sahamnya ketika IHSG sedang ambyar beberapa waktu yang lalu. 

Sebelumnya ia masih menggenggam saham BRIS, yang dibelinya di harga 1400-an. Dengan menggunakan strategi "averaging up" yang tepat, ia mampu menambah porsi saham BRIS di portofolionya secara bertahap.

Bank Syariah Indonesia dengan Kode Saham BRIS/ sumber: www.cnbcindonesia.com
Bank Syariah Indonesia dengan Kode Saham BRIS/ sumber: www.cnbcindonesia.com
Dari saham BRIS tersebut, ia sempat merasakan "cuan" yang besar untuk pertama kalinya, mengingat nilai saham BRIS yang dipegangnya sempat naik hingga 100%. Tentu saja ia senang menyaksikan potensi keuntungan tersebut. Meski begitu, kesenangan tadi hanya berlangsung sebentar saja, mengingat pada akhir bulan Januari kemarin, IHSG sempat ambyar hingga 8%.

Dengan cepat, harga saham BRIS turun mengikuti laju IHSG. Pada titik itulah, ia mulai takut dan khawatir kalau-kalau penurunan harga yang tajam bakal menggerus atau bahkan menghilangkan potensi keuntungan yang sudah didapatnya. Alhasil, ia pun berkata pada saya, bahwa ia ingin menjual saham BRIS secepatnya.

Saya menyarankan supaya ia tetap menahan atau bahkan membeli lagi sahamnya di harga bawah ketika harganya turun, mengingat ketika peristiwa itu terjadi, fundamentalnya baik-baik saja. 

Tidak perubahan yang negatif pada fundamentalnya, sehingga sebetulnya tidak ada alasan untuk melego sahamnya hanya karena IHSG sedang "sempoyongan". Namun, ia tidak mengikuti nasihat saya. Ia tetap menjual sahamnya, dan hanya menikmati keuntungan sekitar 20% saja.

Nah, yang menarik, pada hari ketika ia melepas semua sahamnya, IHSG malah rebound. Saham BRIS yang dijualnya mantul hingga di atas 10%. Andaikan lebih bersabar, tentu saja ia tidak akan mengalami "premature exit". 

Ia memang sudah meraup untung dari saham tersebut, tetapi sayangnya, kalau saja ia menjualnya tepat ketika harganya naik kembali, bukankah keuntungannya bakal jauh lebih besar?

"Premature exit" yang dialami teman saya sebetulnya bisa dihindari atau diminimalkan jika ia membuat keputusan menjual saham dengan berpijak pada fundamental perusahaan. 

Apabila fundamental perusahaan masih dalam kondisi oke, maka tidak ada alasan bagi kita untuk menjual saham hanya karena pasar saham sedang mengalami bearish. Lebih baik abaikan saja. Setelah situasinya menjadi tenang, maka harganya bakal kembali naik.

Meski begitu, membuat keputusan untuk menjual saham berdasarkan fundamentalnya bukan jaminan bahwa kita bisa terhindar dari "premature exit". Saya menjual INKP karena fundamentalnya terlihat melemah, tapi INKP malah terus melaju kencang beberapa kemudian. Saya tetap mengalami "premature exit", meski sudah membikin keputusan dengan berpijak pada fundamental. 

Namun demikian, cara ini masih jauh lebih baik daripada menjual saham karena terbawa emosi sesaat. Sebab, dengan menggunakan strategi ini, kita mempunyai alasan yang jauh lebih kuat dalam memutuskan sesuatu ketimbang hanya berdasarkan emosi semata. 

Makanya, sekalipun nanti mungkin mengalami "premature exit", maka penyesalan yang muncul boleh jadi akan jauh berkurang, karena kita sudah membuat keputusan dengan berpijak pada data-data yang tersedia, bukan kepada emosi yang sifatnya sementara.

Salam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun