Sewaktu harga saham yang saya beli naik 20-30%, saya merasa bahwa tugas saya sebagai investor sudah "selesai". Alasannya sederhana. Dengan kenaikan sebesar itu, hampir mustahil harganya berbalik turun dalam waktu dekat.Â
Alhasil, tanpa harus diawasi sekalipun, portofolio yang saya kelola tetap aman, sebab saham-saham yang sudah "terbang" harganya biasanya mampu mengurus dirinya sendiri dengan baik.Â
Meski begitu, bukan berarti tidak muncul "godaan" untuk menjual saham yang dimiliki. Saat harga saham yang sudah untung malah turun karena aksi "profit taking" yang dilakukan investor lain, maka mungkin timbul keinginan untuk merealisasi keuntungan sesegera mungkin, sebelum terjadi penurunan lanjutan, yang berpotensi mengurangi keuntungan yang bisa diperoleh.
Bersabar dalam Kondisi Untung
Situasi semacam itulah yang sempat saya alami beberapa waktu yang lalu. Pada saat itu, saham emiten rokok yang saya beli sekitar dua bulan lalu melesat harganya setelah perusahaan merilis Laporan Keuangan Kuartal 3.Â
Karena laporan tadi menunjukkan bahwa perusahaan tersebut mampu membukukan laba yang jauh lebih besar daripada periode yang sama, maka jangan heran kalau harganya naik begitu cepat. Alhasil, hanya dalam waktu 1-2 hari saja, investasi saya berpotensi menghasilkan cuan hingga 40%!
Hal itu terjadi beberapa minggu sebelumnya, ketika IHSG rontok di bawah level 5000-an akibat diberlakukannya pengetatan PSBB di DKI Jakarta dan diumumkannya berita tentang resesi di Indonesia. Saat semua itu terjadi, maka harga saham tersebut sempat anjlok hingga 15%.
Meski berpotensi menanggung kerugian, namun saya tetap berusaha bersikap tenang. Saya mengecek fundamental perusahaan. Ternyata tidak ada perubahan apapun, yang bisa menyebabkan kinerja perusahaan terganggu. Saya menganggap bahwa penurunan ini hanya bersifat sementara. Saya memilih menahan saham saya, dan bahkan membeli beberapa lot lagi di harga bawah.
Setelah itu, saya hanya bisa bersabar untuk waktu yang lama, dan untungnya kesabaran saya berbalas manis. Walau begitu, niat untuk menikmati keuntungan sempat muncul di pikiran saya. Niat itu jadi semakin kuat, terutama setelah saya melihat-lihat harga handphone di sebuah e-commerce!Â
Terpikir oleh saya, dengan keuntungan dari saham tadi, sebetulnya saya bisa membeli handphone baru. Apa sebaiknya saya jual saja saham tersebut untuk "ditukar" dengan handphone baru?Â
Saya sempat lama menimbang-nimbang niatan tersebut. Namun, pada akhirnya, saya memilih bersabar. Saya memutuskan menahan saham tadi, karena yakin masih ada cerita yang jauh lebih indah apabila saya terus menyimpannya. Â
Bersabar dalam Kondisi Rugi
Tentu saja bersabar dalam kondisi untung jauh lebih mudah dilakukan daripada dalam keadaan rugi. Ketika saham yang dipilih ternyata jatuh harganya, atau lama sekali harganya "jalan di tempat", maka kesabaran yang diperlukan jelas harus lebih banyak daripada sebelumnya. Alasannya? Karena tidak ada tahu secara pasti kapan harganya akan naik, sehingga kita bisa terlepas dari "bayang-bayang" capital loss.
Dengan kinerja demikian, seharusnya harga sahamnya diapresiasi. Yah, setidaknya kenaikan harganya mampu mencapai dobel digit. Namun demikian, yang terjadi justru sebaliknya. Alih-alih melesat, harganya malah meluncur turun.Â
Saat tulisan ini dibuat pun, harganya masih di situ-situ saja. Tidak ada investor yang tertarik "mengangkat" harga sahamnya, sekalipun di Laporan Keuangan Kuartal 3, kinerjanya masih seciamik beberapa kuartal sebelumnya.Â
Akibat kejadian ini, saya pun berisiko menanggung kerugian sekitar 15%. Tentu saja kerugian ini di luar harapan saya. Biarpun berpeluang merugi secara waktu dan materi, namun saya memutuskan tetap mengoleksi saham tersebut.
Saya mengecek fundamentalnya, dan belum ada perubahan negatif yang berarti. Alhasil, saya tidak punya alasan yang cukup kuat untuk melepasnya.
Bersabar Adalah Bagian dari "Permainan"
Kesabaran merupakan salah satu sifat yang mesti dimiliki investor. Investor yang sukses biasanya mempunyai kesabaran yang besar dalam menggenggam sahamnya.
Apapun situasi pasar yang terjadi, baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan, investor tadi bakal terus bertahan, karena tahu bahwa setelah badai berlalu, akan muncul pelangi yang indah pada momen berikutnya.
Sikap ini diambil bukan tanpa alasan. Sebab, segala keputusan yang dibuat, mulai dari membeli, menahan, hingga menjual saham, umumnya didasari pada analisis fundamental yang dilakukan. Analisis inilah yang menjadi "barometer" bagi setiap investor yang andal dalam mengarungi situasi pasar saham yang penuh dengan gejolak perubahan.
Analisis ini jugalah yang memberi saya pedoman untuk terus bersabar. Tatkala harga saham naik, dan tidak ada perubahan fundamental yang negatif pada perusahaan, maka saya mempunyai alasan yang kuat untuk bersabar menyimpan saham-saham yang saya pilih.Â
Sebaliknya, sewaktu harga sebuah saham turun dan fundamentalnya tetap bagus, maka tidak ada alasan bagi saya untuk menjualnya, sekalipun penurunan harga yang terjadi ternyata di luar perkiraan sebelumnya.
Tren Laba dan Tren Harga
Untuk memahami hal ini lebih dalam, kita dapat mengamati perubahan tren laba dan tren harga yang terjadi pada sebuah saham. Kedua tren tersebut ibarat "saudara kembar".Â
Perubahan laba yang berhasil dicetak oleh perusahaan biasanya akan mempengaruhi pergerakan harga sahamnya. Oleh sebab itu, sewaktu laba perusahaan bertumbuh dari tahun ke tahun, maka harganya pun akan meningkat mengikuti tren laba tersebut.
Sudah ada cukup banyak kasus yang memperlihatkan hal ini. Sebut saja pergerakan harga saham-saham "bluechip", seperti BBCA, BBRI, ICBP, ASII, UNVR, dan HMSP.Â
Dalam jangka pendek, katakanlah harian atau mingguan, pergerakan harganya tampak begitu acak, sehingga tidak terlihat hubungan antara tren laba dan tren harga. Namun, dalam jangka panjang, katakanlah tahunan, hubungan tadi dapat diamati dengan jelas.Â
Jadi, kalau ada yang bertanya, "Sampai kapan saya harus bersabar menahan sebuah saham", maka jawaban terbaik yang bisa diberikan adalah "Sampai terjadi perubahan fundamental pada perusahaan."Â
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H