Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Jadilah Investor, Bukan "Impostor"

8 Oktober 2020   07:03 Diperbarui: 8 Oktober 2020   19:22 932
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Impostor dalam Game Among Us/ sumber: tekno.kompas.com

"Impostor" adalah istilah yang terdapat di dalam game Among Us. Istilah ini merujuk pada seorang atau sekelompok pemain yang bertugas "membasmi" pemain lain dan mengacaukan permainan secara diam-diam.

"Impostor" harus menyembunyikan perannya serapat mungkin. Apabila perannya sampai tersingkap, maka ia akan kalah.

Jika merunut asal-usulnya, maka istilah "impostor" dalam game Among Us boleh jadi diambil dari bidang psikologi. Dalam ranah psikologi, memang terdapat sejenis penyakit mental yang disebut sebagai Imposter Syndrome.

Penyakit ini biasanya menggambarkan hilangnya kepercayaan diri seseorang ketika orang tersebut sukses meraih sesuatu yang luar biasa.

Sederhananya, meskipun sudah memperoleh hal-hal yang diimpikan banyak orang, namun seseorang yang terkena penyakit ini umumnya merasa bahwa dirinya belum cukup pantas mendapatkan hal tersebut.

"Ah, gue enggak sehebat yang kalian pikirkan."

Mungkin itulah kata-kata yang muncul dalam pikiran orang yang mengalaminya. Alhasil, yang bersangkutan pun acapkali mempersepsikan dirinya sebagai seorang "penipu", yang berpura-pura sebagai orang yang berhasil, padahal sesungguhnya tidak demikian.  

Mengenal "Impostor" dalam Investasi Saham

Dalam perkembangannya, sosok "impostor" tak hanya bisa ditemukan di dunia game, tetapi juga di pasar saham. Di sini konsep "impostor" yang ditampilkan agak berbeda dengan konsep yang terdapat di dunia psikologi.

Sosok "impostor" yang berkecimpung di pasar modal umumnya mempunyai sifat yang berbeda-beda. Namun demikian, di antara semuanya, yang cukup "mengerikan" ialah sosok "impostor" yang berupaya mengeruk keuntungan pribadi di atas kerugian orang lain.

Meskipun sifatnya relatif, namun "impostor" jenis ini biasanya memperoleh keuntungan dengan merekrut banyak follower. "Impostor" yang bersangkutan kerap memamerkan sebuah strategi investasi, yang disebut mampu menghasilkan keuntungan yang besar dan cepat dari pasar saham.

followers/ sumber: socialmediaweek.org
followers/ sumber: socialmediaweek.org
Makanya, dalam mempromosikan dirinya, "impostor" tadi acapkali hanya menunjukkan deretan profit jumbo yang pernah diraihnya saja. Sementara, kerugian yang diderita umumnya disimpan rapat-rapat, sebab kalau ikut diperlihatkan, tentu saja orang-orang tidak akan tergiur.

Oleh sebab itu, jika dilihat dari taktik marketing yang dijalankan, maka sekilas terlihat bahwa hal itu mirip dengan "jurus pompom" yang sering dilancarkan oleh perusahaan investasi bodong.

"Mangsa"-nya tentu sudah jelas, yakni orang-orang yang masih awam tentang investasi saham dan punya sifat tamak yang besar, sehingga begitu sedikit saja ditunjukkan "jurus cepat kaya" dari pasar saham, maka yang bersangkutan mudah tergoda.   

Orang-orang yang tertarik kemudian mendapat tawaran grup berbayar. Jika menjadi member di grup tadi, maka yang bersangkutan bakal mendapat rekomendasi saham tertentu, yang disebut mampu menghasilkan "cuan" yang besar.

Agar lebih meyakinkan, si "owner" grup pun ikut membeli saham yang direkomendasikan. Tidak jarang, "owner"-nya kerap berperan menjadi "bandar", yang mampu memainkan harga saham. Secara berkala, "owner"-nya bakal mengabarkan kapan ia membeli, menahan, dan menjual, sehingga followers-nya tinggal mengikuti arahan yang disampaikan.

Tentu saja proses yang berlangsung tidaklah semulus impian yang ditawarkan. Ada kalanya saham-saham yang direkomendasikan menunjukkan kinerja yang sesuai harapan. Jika hal ini terjadi, maka "owner" dan followers-nya bisa happy bersama.

Namun, kalau yang terjadi justru berseberangan dengan harapan, maka ceritanya bisa lain. Pasalnya, tidak jarang, "owner"-nya bersikap curang, katakanlah dengan menjual sahamnya lebih dulu daripada followers-nya tatkala pasar saham sedang dalam tren turun.

Alasannya sederhana saja. Kalau ia memberitahukan terlebih dulu kepada followers-nya bahwa ia akan melepas sahamnya, maka harganya bisa anjlok cepat, karena followers-nya pun akan ikut menjual saham tersebut. Dengan demikian, potensi kerugiannya bakal bertambah lebar.

Makanya, untuk menghindari hal tersebut, "owner"-nya biasanya melego sahamnya secara diam-diam, dan setelah semuanya berhasil dilepas, barulah ia mengabarkan hal itu kepada para followers-nya.

Dengan melakukan hal ini, kerugian yang diderita "owner"-nya memang tidak akan begitu lebar, tapi tidak demikian dengan followers-nya. Sebab, kalau "bandar"-nya saja sudah kabur lebih dulu, bukankah kerugian yang didapat bakal bertambah dalam?

Menjadi Investor yang Independen

Jika dicermati dari modus operandinya, maka yang dilakukan oleh "owner" tadi mirip dengan perbuatan "impostor" dalam game Among Us. Di satu sisi, saat menjalankan sebuah misi, ia bisa menjadi mitra yang andal dan tangguh, sehingga keberadaannya dianggap cukup membantu peran pemain lain. Sementara, di sisi lain, ia dapat menjelma menjadi "serigala berbulu domba", yang tega mencelakai teman sendiri!

Makanya, dalam berinvestasi saham, kita mesti mewaspadai keberadaan "impostor" demikian. Kalau sampai berteman atau bahkan bergabung menjadi membernya, maka kita bisa saja dirugikan atas rekomendasi saham yang keliru dan ditinggalkan sendirian di dalam kesulitan. Jadi, saran saya, daripada ikut "impostor", lebih baik jadilah investor yang independen.

bersikap independen/ sumber: https://www.entrepreneur.com/article/337563
bersikap independen/ sumber: https://www.entrepreneur.com/article/337563
Menjadi investor yang independen memang tidaklah instan. Proses belajar dan berlatihnya memerlukan waktu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.

Meski begitu, jika sudah mempunyai "jam terbang" yang banyak dalam investasi saham, maka kita bakal jadi lebih percaya pada kemampuan diri sendiri dalam memutuskan sebuah investasi, tanpa perlu lagi bergantung pada rekomendasi pihak lain yang belum tentu menolong kita dalam situasi-situasi sulit.

Salam.

Referensi:
Ramai di Media Sosial, Apa Itu Sindrom Imposter? (kompas.com)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun