Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Tak Ada "September Ceria" di Pasar Saham Indonesia?

25 September 2020   07:03 Diperbarui: 25 September 2020   08:52 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi sebagian orang, lagu "September Ceria" mungkin terasa lekat di hati. Maklum, lagu yang dinyanyikan dengan begitu lembut oleh Vina Panduwinata ini menyiratkan bahwa September merupakan bulan yang penuh dengan harapan. Makanya, jangan heran, orang-orang yang mendengarnya acapkali memersepsikan bahwa jika bulan September tiba, maka akan ada keceriaan yang dirasa.

Meski begitu, keceriaan yang diharapkan ternyata tidak serta-merta muncul di pasar saham. Sebab, sepanjang bulan September ini, pasar saham Indonesia terus-menerus mendapat "guyuran" sentimen negatif, yang berimbas pada terpentalnya IHSG dari level 5300-an.

Saat blog ini ditulis, IHSG masih "terbenam" di level 4800-an. Meskipun sudah turun sekitar 500 poin, namun posisi IHSG masih belum aman. Apabila ada sentimen negatif yang muncul berikutnya, maka boleh jadi, penurunan IHSG bisa menyentuh level 4700-an, dan demikian seterusnya.

Situasi ini bisa terjadi karena pada bulan ini saja, pasar saham Indonesia sudah "dihantam" sejumlah sentimen negatif. Berdasarkan berita yang tersebar di internet, setidaknya ada tiga sentimen negatif yang menyebabkan anjloknya IHSG.

Sentimen negatif yang pertama adalah diberlakukannya PSBB Jilid 2 di Wilayah DKI Jakarta. Sentimen ini membuat investor terlihat begitu gelisah.

Sebab, kalau kebijakan tersebut (pada waktu itu) resmi dijalankan, pemulihan perekonomian Indonesia yang sedang berlangsung bisa terhambat, mengingat DKI Jakarta mempunyai kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian nasional. Makanya, jangan heran, sehari setelah Gubenur DKI Jakarta Anies Baswedan mengumumkan kebijakan tersebut, IHSG langsung "terjun bebas" hingga 5%.

Sentimen negatif yang kedua adalah bocornya dokumen Financial Enforcement Network (FinCEN). FinCEN merupakan berkas rahasia yang memuat informasi tentang transaksi yang dianggap mencurigakan, yang terjadi di sejumlah bank. Transaksi yang dimaksud merupakan upaya pencucian uang yang dilakukan oleh sejumlah nasabah di bank tersebut.

Kasus ini kemudian "menyengat" bursa saham di Indonesia. Begitu bocoran tadi tersebar luas di dalam grup jurnalis investigasi dari seluruh dunia, saham-saham di sektor perbankan sontak berguguran.

Penurunan ini tentu bisa dimaklumi, mengingat investor sepertinya enggan memegang saham-saham bank tertentu, yang disebut di dalam dokumen itu. Sekadar informasi, berdasarkan dokumen tadi, tercatat 20 bank di Indonesia baik yang milik swasta maupun negeri, yang diduga terlibat dalam kasus tersebut.  

Akibat kasus tersebut, tak hanya saham-saham di sektor perbankan, IHSG juga ikut terpukul. Karena saham perbankan mempunyai bobot yang lumayan besar terhadap IHSG, maka jangan heran jika penurunan yang terjadi pun cukup dalam, hingga mencapai angka di atas 1% dalam sehari.

Sentimen negatif yang ketiga adalah pernyataan sejumlah menteri, yang menyebut bahwa pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia pada Kuartal III 2020 masih akan minus. Walaupun BPS belum merilis laporan tentang hal tersebut, namun, lewat penyataan tadi, secara tersirat, Indonesia sudah masuk ke dalam resesi ekonomi.

Tentu saja kabar ini bakal berdampak buruk terhadap perekonomian. Pasalnya, dalam situasi resesi demikian, akan terjadi sejumlah hal negatif, mulai dari bangkrutnya banyak perusahaan, bertambahnya jumlah pengangguran, meningkatnya angka kemiskinan, hingga terjadinya deflasi karena menurunnya daya beli masyarakat.

Karena tidak ada yang bisa memastikan waktu berakhirnya Pendemi Covid-19, maka tidak ada pula yang dapat memperkirakan durasi berlangsungnya resesi ekonomi. Jika situasi belum kunjung membaik, maka sangat mungkin bahwa resesi ekonomi bakal berlangsung lebih dari 6 bulan.

Hal ini tentu saja menyebabkan ketidakpastian di pasar saham. Alhasil, sebelum hal itu terjadi, sejumlah investor pun berduyun-duyun menarik dananya dari pasar saham, sehingga IHSG pun terkapar di level bawah.

Anomali

Walaupun penurunan IHSG pada bulan September tidak sedahsyat bulan Maret kemarin, namun saya melihat beberapa situasi yang mirip, yakni sepinya perdagangan harian dan terjadinya panic selling.

Hal ini tampak pada aktivitas saham-saham tertentu, yang bisnisnya sebetulnya baik-baik saja dalam masa Pandemi Covid-19, tapi karena orang-orang beramai-ramai jualan saham, maka harganya ikut-ikutan turun.

Sebut saja saham BRI Syariah (BRIS). Dalam beberapa bulan terakhir, saham ini memang menjadi "sorotan" para investor karena beberapa alasan, yakni kinerjanya membaik dan rencananya bakal dimerger pada tahun 2021.

Atas dasar itulah, jangan heran kalau harganya "lompat" dalam waktu yang begitu cepat. Saat IHSG sedang dalam kondisi oke, saham ini bahkan sempat menyentuh harga tertingginya, yaitu 1020.

Namun demikian, ketika "diberondong" oleh tiga sentimen negatif yang disebutkan sebelumnya, saham BRIS kemudian longsor dalam waktu yang relatif cepat ke level 700-an. Investor tampaknya cukup risau dengan kondisi bursa, sehingga memutuskan mengobral sahamnya.

Bagi saya, hal ini merupakan sebuah "anomali". Disebut demikian karena BRIS masih mempunyai "cerita" yang bagus. Kinerja perusahaan pada laporan bulan Agustus menunjukkan bahwa masih ada laba sebesar 168 miliar rupiah yang berhasil diraih. Perolehan ini jelas jauh lebih baik daripada bulan yang sama pada tahun 2019.

Selain itu, BRIS juga tidak ada sangkut-pautnya dengan kasus FinCEN. Meskipun kasus tersebut menyeret nama bank-bank besar di tanah air, namun BRIS tetaplah "bersih". Tidak ada nama BRIS yang tercantum di dalam dokumen FinCEN, sehingga bisa dipastikan bahwa tidak bakal terjadi kasus yang akan menjerat BRIS dalam jangka panjang.

Jika mencermati hal-hal tadi, maka seharusnya harga saham BRIS bisa naik lebih tinggi, bukannya turun seperti sekarang. Panic selling yang terjadi telah menyebabkan harganya tersungkur.

Penurunan harga tersebut sebetulnya menawarkan peluang untuk membeli sahamnya di harga bawah. Alih-alih kabur seperti investor lain, kita bisa mulai mengumpulkan saham ini secara bertahap, karena tahu bahwa fundamentalnya masih baik-baik saja dan perusahaannya bebas dari kasus. Asalkan bersedia menunggu dalam waktu yang lama, maka bukan mustahil saham ini bisa memberikan "cuan" yang memuaskan.

Saham lain yang sebelas-dua belas nasibnya dengan BRIS adalah saham Indofood CBP (ICBP). Sama seperti BRIS, saham ICBP juga memiliki fundamental yang tetap bagus, meski sedang berlangsung Pandemi Covid-19 di tengah masyarakat. Buktinya, penjualan dan laba ICBP pada semester 1 tahun 2020 terus bertumbuh dibandingkan dengan tahun kemarin.

Harga sahamnya pun cenderung cukup stabil. Biarpun beberapa bulan lalu, harga ICBP sempat "terpelanting" oleh isu akuisisi Pinehill, namun hal itu hanya bersifat sementara. Sebab, begitu perusahaan merilis laporan keuangan yang memperlihatkan kinerja yang baik, maka harganya pun pulih dengan cepat. Saat blog ini dibuat, harga saham ICBP masih nyaman di level 10.000-an.

Namun demikian, posisi ICBP ternyata belum aman, mengingat sejumlah investor asing masih lumayan getol menjual sahamnya. Hal inilah yang menahan kenaikan harganya beberapa bulan terakhir.

Seperti halnya BRIS, saya pun memandang pergerakan harga ICBP sebagai sebuah "anomali". Alasannya sederhana saja. Dalam situasi krisis di pasar saham, ICBP seharusnya menjadi "benteng" yang cukup aman, karena saham ini dianggap kebal terhadap resesi.

Apapun situasinya, produk-produk yang dibuat ICBP masih laris dikonsumsi masyarakat, sehingga kinerja perusahaannya tidak akan begitu terdampak oleh Pandemi Covid-19.

Oleh sebab itu, semestinya investor beramai-ramai mengoleksi saham, sehingga harganya bakal terangkat naik. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Saat IHSG sedang ambyar, saham ICBP juga ikut-ikutan turun.

Jika menggunakan akal sehat, maka peristiwa ini seharusnya tidak terjadi, sebab ICBP tidak ada hubungannya dengan penurunan kinerja emiten lain yang terdampak akibat Pandemi Covid-19. Alhasil, semestinya harganya bisa tetap bertahan sederas apapun penurunan yang menerpa IHSG.

Seperti halnya BRIS, penurunan harga ICBP juga menawarkan kesempatan investasi yang bagus. Dengan valuasi yang masih murah, saham ini sebetulnya bisa memberikan potensi keuntungan yang lumayan besar, apabila disimpan dalam jangka panjang.

Di samping saham-saham yang disebut sebelumnya, mungkin masih ada saham-saham lain yang fundamentalnya tetap bagus, tetapi karena IHSG sedang "goyang", maka pergerakan harganya ikut melempem.

Saham-saham demikian tentu saja layak dipertimbangkan untuk dikoleksi. Sebab, kalaupun pada bulan September seperti sekarang belum ada keceriaan yang terlihat, tetapi kalau mau bersabar dalam jangka panjang, maka bukan mustahil keceriaan tadi bakal didapat pada bulan-bulan berikutnya.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun