Mempunyai rumah merupakan salah satu impian yang ingin diwujudkan oleh banyak orang. Namun, ketika pemerintah berupaya "membantu" mewujudkan impian tadi lewat program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), ternyata ada sejumlah "suara sumbang" yang terdengar.
Hal ini tentu bisa dimaklumi, mengingat program yang bakal efektif berjalan pada tahun 2021 tersebut dianggap begitu "membebani" karyawan. Alasannya? Karyawan diwajibkan menyisihkan 3% dari gajinya untuk membayar iuran.
Alhasil, jumlah nominal yang dipotong dari gaji pun bakal bertambah banyak, sehingga hal itu dikhawatirkan mengganggu arus kas dari karyawan yang bersangkutan.
Kekhawatiran tadi sebetulnya cukup beralasan. Sebab, sebelum adanya Tapera, potongan gaji yang dialami karyawan ada beberapa jumlahnya. Sebut saja potongan untuk iuran BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan.
Di samping itu, mungkin masih ada potongan lain yang mesti diterima karyawan, sehingga kalau ditotal, maka bisa saja 5% lebih gaji yang didapat karyawan habis hanya untuk potongan ini dan itu.
Bagi karyawan yang mempunyai gaji yang besar, hal itu tentu bukan masalah. Sebab, yang bersangkutan bisa menutupi kebutuhan hidup dasariahnya dengan relatif mudah. Akan tetapi, bagaimana dengan karyawan yang gajinya kecil (katakanlah 3 juta rupiah per bulan)? Boleh jadi, potongan tadi akan begitu terasa dampaknya.
Selain itu, program ini juga belum tentu tepat untuk semua karyawan. Adalah betul bahwa karyawan-karyawan yang belum mempunyai rumah berpeluang besar memetik manfaat dari program ini. Sebab, dengan adanya Tapera, "jalan" untuk memiliki rumah bakal lebih mudah.
Namun demikian, bagaimana dengan karyawan yang sudah telanjur membeli rumah sebelumnya? Apakah mereka juga diwajibkan menjadi peserta dan mesti rutin membayar iuran setiap bulan?
Jawaban atas pertanyaan itu bisa ditemukan dalam mekanisme pengelolaan dana Tapera. Seperti diketahui, dana Tapera dikelola dengan menggunakan skema Kontrak Investasi Kolektif (KIK).
Mekanisme KIK sebetulnya sama dengan mekanisme reksadana karena dalam kontrak tersebut, manajer investasi (BP Tapera) mendapat wewenang untuk mengelola portofolio investasi kolektif (dana Tapera) dan bank kustodian memperoleh mandat untuk melaksanakan penitipan kolektif.
Dana Tapera nantinya bakal diinvestasikan ke sejumlah instrumen, yang bisa memberikan imbal hasil yang lebih besar daripada bunga bank. Makanya, jangan heran kalau program ini menawarkan keuntungan yang lumayan kompetitif, dan keuntungan tadi bisa dinikmati pada masa akhir kepersertaan.
Alhasil, meskipun di program ini ada embel-embel "tabungan", namun sesungguhnya para pesertanya tidak bisa mencairkan dana Tapera-nya sewaktu-waktu layaknya tabungan biasa. Dana Tapera baru bisa diterima kalau yang bersangkutan sudah habis masa kepersertaannya.
Dengan demikian, terjawab sudah pertanyaan sebelumnya, bahwa meskipun pesertanya sudah mempunyai rumah, sehingga tidak terlalu merasakan manfaat Tapera, tetapi yang bersangkutan tetap wajib menjadi peserta Tapera dan mesti membayar iuran setiap bulan. Oleh sebab itu, pembayaran iuran tadi bisa dianggap sebagai investasi yang hasilnya baru bisa dipetik bertahun-tahun kemudian.
Walaupun mekanisme pengelolaan Tapera terkesan "dari rakyat, untuk rakyat", namun sesungguhnya ada catatan yang perlu diperhatikan, terutama soal tata kelola.
Pada tahun lalu, kita tentu masih ingat kasus yang memperlihatkan betapa buruknya tata kelola manajemen investasi yang diterapkan oleh beberapa lembaga.
Sebut saja kasus Jiwasraya, yang investasinya merugi karena manajemennya senang membeli "saham-saham gorengan". Akibatnya, tak hanya para nasabah yang dirugikan, tetapi kredibilitas negara, sebagai pemilik Jiwasraya, juga ikut dipertanyakan.
Kasus demikian tentu tidak diharapkan terulang kembali pada masa depan karena dampaknya begitu merusak.
Untuk itulah, manajemen Tapera perlu belajar dari kasus-kasus sebelumnya. Agar terhindar dari kejadian serupa, maka asas tata kelola yang baik, yang mengedepankan akuntabilitas, kapasitas, dan integritas, jelas wajib dilaksanakan. Meskipun sekarang belum jelas nasibnya, namun, kalau dikelola dengan baik, bukan mustahil pada masa depan, program ini akan mambawa kesejahteraan bagi banyak orang.
Jadi, bagi karyawan, meskipun pada awalnya terasa memberatkan, namun sesungguhnya program ini bisa membuka jalan untuk mempunyai rumah. Lewat program ini, akan ada banyak karyawan, terutama yang berpenghasilan rendah, yang terbantu dalam mewujudkan impian untuk mempunyai rumah sendiri.
Sementara, bagi investor, program ini juga menawarkan peluang investasi yang baik. Program ini tidak hanya akan "menggairahkan" sektor properti yang sudah berdarah-darah sejak beberapa tahun terakhir, tetapi juga berpotensi mengangkat harga saham di sektor tersebut.
Oleh sebab itu, jika ingin menuai "capital gain" puluhan hingga ratusan persen, maka investor mesti memasang ancang-ancang dari sekarang.Â
Investor bisa mencari saham-saham yang dianggap potensial, yang berpeluang ikut merasakan berkah dari program Tapera. Jika berhasil menemukannya, maka bukan mustahil harganya bakal "terbang" tinggi pada tahun-tahun berikutnya.
Salam.
Referensi:
detik.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H