Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Averaging Up, Jurus Maksimalkan Untung Tanpa Bikin "Sport Jantung"

4 Juni 2020   09:01 Diperbarui: 5 Juni 2020   07:39 2424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi averaging up| Sumber: https://martinkronicle.com

Di pasar saham mungkin terdapat 1001 "jurus" yang bisa dipakai untuk memaksimalkan keuntungan. Salah satu "jurus" yang cukup populer ialah Averaging Up. Jurus ini sejatinya diperkenalkan oleh Jesse Livermore.

Livermore adalah spekulan legendaris dari Amerika Serikat, yang sanggup mengeruk jutaan dollar dari kejatuhan pasar saham pada awal abad ke-20. Setelah peristiwa itu, ia pun dijuluki sebagai "The Great Bear of The Wall Street".

Pada tahun 1940, Livermore menerbitkan sebuah buku tentang strategi investasinya. Judulnya "How To Trade In Stocks".

Meskipun hanya terdiri atas 133 halaman, namun, buku ini kemudian menjadi inspirasi bagi banyak investor saham. Sebab di dalamnya, Livermore menjelaskan berbagai macam hal yang dilakukannya saat bertransaksi saham. Berkat "jurus-jurus" tadi, ia disebut mampu mengeruk untung yang banyak dari jual-beli saham.

Jesse Livermore/ sumber: https://medium.com
Jesse Livermore/ sumber: https://medium.com
Satu "jurus" yang kerap dipakai Livermore dalam berdagang sama ialah Sistem Piramida. Sistem ini merupakan nama lain dari Averaging Up, karena keduanya sama-sama memuat konsep "membeli saham ketika harganya bergerak naik".

Jadi, untuk pembahasan seterusnya di dalam artikel ini, maka, saya akan menggunakan istilah Averaging Up ketimbang Sistem Piramida, karena istilah tersebut sudah cukup familiar di kalangan investor.

Averaging Up cukup mudah dilakukan. Caranya, belilah saham yang beranjak naik harganya dengan cara mencicil.

Contohnya, belum lama ini, saya membeli saham sebuah perusahaan sawit dengan menggunakan "jurus" Averaging Up.

Alasan saya tertarik membeli saham tadi sebetulnya cukup sederhana. Labanya melonjak, fundamentalnya membaik, dan harganya murah. 

Meskipun tampak "menggoda", namun, saya merasa waswas. Sebab, saya tahu, harga sawit sedang hancur-hancuran akibat pandemi corona. Kalau beli saham tadi, saya khawatir, alih-alih naik, harganya bisa amblas.

Jadi, walaupun awal-awal harga sahamnya sempat naik sebesar 7% setelah perusahaan merilis laporan keuangan kuartal 1, tapi, saya tidak bisa langsung membelinya sekaligus. Hal itu jelas terlalu berisiko. Saya pun memutuskan menunggu beberapa hari, sambil terus memantau pergerakan harganya. Kalau ada tanda-tanda bakal naik, barulah saya "serok" sahamnya.

Karena kenaikan harganya belum begitu menguat, maka sebagai permulaan, saya cuma membeli 6 lot. Jumlahnya memang sedikit, tapi tidak apa-apa, sebab kalau harganya nanti turun, kerugian yang saya alami juga bakal kecil.

Selang beberapa hari, harganya ternyata naik lagi sekitar 6%. Saya pun menambah sahamnya sebanyak 6 lot. Meskipun mengurangi capital gain yang saya dapat, namun, hal itu memperkecil risiko yang bakal ditanggung andaikan harganya berbalik turun.

Kenaikan serupa terjadi kembali beberapa hari kemudian. Tadinya saya ingin membeli 12 lot sekaligus, sehingga saya bisa memiliki 24 lot saham. Namun, karena kenaikan harganya sudah terlampau tinggi, maka, saya hanya membeli 6 lot saja.

Selebihnya, saya tidak melakukan pembelian tambahan, karena harganya sudah telanjur "terbang" dan dari investasi tadi, saya memperoleh cuan sebesar 16% hanya dalam waktu 1 bulan saja.

ilustrasi averaging up| Sumber: https://martinkronicle.com
ilustrasi averaging up| Sumber: https://martinkronicle.com
Biarpun terkesan begitu gampang dilakukan, namun, sesungguhnya, "jurus" ini baru akan berhasil kalau didukung oleh dua syarat lainnya. 

Syarat yang pertama ialah kenaikan volume. Kenaikan harga saham yang betul-betul solid biasanya disertai dengan volume yang tinggi. Volume ialah jumlah transaksi yang terjadi antar-investor.

Jika harganya naik dan volumenya tinggi, maka, itu artinya ada begitu banyak investor yang ingin memiliki saham tadi. Alhasil, harganya pun "melambung", dan kemungkinan harganya anjlok dalam waktu dekat sangatlah kecil, terkecuali kalau pada perdagangan berikutnya mendadak ada sentimen negatif yang begitu kuat, sehingga investor pun beramai-ramai melepas sahamnya.

Makanya, sewaktu memutuskan menambah porsi saham, saya sering mencermati volumenya. Jika volumenya bertambah secara signifikan, barulah saya melakukan pembelian. Sebaliknya, kalau volumenya mengecil, tetapi harganya naik, maka, saya biasanya mengabaikannya.

Syarat yang kedua adalah valuasi harga. Valuasi harga merupakan indikator yang memperlihatkan mahal-murahnya sebuah saham. Valuasi harga biasanya dilihat dari Price Earning Ratio (PER) dan Price Book Value (PBV).

Berdasarkan pengalaman, saham-saham yang berpotensi "terbang" harganya adalah saham-saham yang valuasinya masih murah. Contohnya, saham yang saya beli di atas. Saat saya mulai mengakumulasi sahamnya, PBV-nya masih 0,59 kali.

Jika dilihat dari rata-rata sektoral dan standar deviasinya, maka PBV wajarnya ialah 1 kali. Itu artinya masih ada potensi kenaikan harganya sebesar 40%. Makanya, jangan heran kalau saham tadi begitu diminati oleh para investor sehingga harganya terangkat dalam waktu yang relatif cepat.

***

Meskipun Averaging Up penting diketahui dan dipraktikkan, tapi, "jurus" tersebut bukanlah faktor utama yang menentukan keberhasilan berinvestasi saham. Yang terpenting tetaplah analisis fundamental.

Jika sebuah saham tiba-tiba naik harganya tanpa disertai oleh perubahan fundamental yang positif, maka berhati-hatilah. Boleh jadi, kenaikan harga tadi bersifat semu atau mungkin "digoreng" bandar.

Kemudian, kalau sudah menemukan saham yang fundamentalnya bagus dan harganya berpotensi meningkat dalam waktu dekat, maka sewaktu akan membelinya, kita bisa menggunakan Averaging Up.

"Jurus" ini memungkinkan investor mengambil posisi beli yang pas, serta meringankan beban psikologi yang mungkin muncul saat berinvestasi saham. Dengan demikian, pergolakan emosi yang timbul sewaktu berinvestasi bisa diminimalkan, dan potensi keuntungan yang diperoleh dapat dimaksimalkan.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun