Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

"Daya Ekonomis" di Balik Kata "Gratis"

7 April 2020   09:01 Diperbarui: 7 April 2020   19:07 2379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika mencermati Google Trend seminggu terakhir, kita akan menemukan sesuatu yang menarik bahwa ternyata ada cukup banyak kata "gratis", yang memuncaki daftar trending di aplikasi tersebut, mulai dari "kuota gratis", "mudik gratis", hingga "tarif listrik gratis".

Hal ini tentu mengindikasikan bahwa kata gratis rupanya mempunyai "daya magis" tertentu, sehingga ada banyak orang yang tertarik mencari segala sesuatu yang sifatnya gratisan.

Sehubungan dengan hal itu, saya punya sebuah pengalaman yang menunjukkan betapa kuatnya pengaruh kata gratis. Pada tahun lalu, saya ingat pernah membagikan 4 tumbler secara cuma-cuma kepada teman-teman saya.

Tumbler ini sebetulnya adalah hadiah yang saya dapat setelah mengikuti sejumlah acara blogger, dan karena jumlahnya berlebih, saya kemudian memutuskan memberikannya kepada orang lain yang mungkin saja membutuhkannya.

Saya pun mengumumkan di grup whatsapp bahwa ada 4 tumbler yang ingin saya bagikan, dan bagi yang tertarik, silakan memberi tahu saya secepatnya; sebab siapa cepat, dia dapat.

Tidak sampai lima menit, grup wa yang tadinya sepi mendadak menjadi ramai. Ada banyak yang berebut menginginkan tumbler tadi, sampai-sampai saya pun mesti menengahi "kekisruhan" yang terjadi!

Walaupun cerita rebutan tadi berujung damai karena semuanya dibagikan secara adil, namun, yang menarik perhatian saya bukanlah antusiasme teman-teman saya yang begitu "berambisi" memiliki tumbler tadi, melainkan kenyataan bahwa kata "gratis" telah mengacaukan akal sehat mereka dengan sangat cepat.

Betapa tidak, tanpa memeriksa kualitas dan keaslian tumbler yang saya tawarkan terlebih dulu, mereka langsung mengambil sebuah keputusan setelah mendengar kata "gratis".

Bukankah ini adalah sebuah keputusan yang berisiko, mengingat saya bisa saja berbohong atau saya memberikan barang yang kualitasnya buruk, yang sebetulnya tidak begitu mereka inginkan?

Dalam situasi tadi, sepertinya tak ada yang sampai berpikir sampai ke sana, sehingga mereka cepat menyambut tawaran yang diembel-embeli kata "gratis"!

Uniknya, kata "gratis" ternyata mempunyai nilai ekonomis. Dalam bukunya yang berjudul Irrational Consumer, Dan Ariely menyebutkan bahwa kata "gratis" mempunyai daya pikat yang begitu kuat, hingga bisa dipakai untuk memetik keuntungan.

Contohnya, situs streaming film yang dulu bisa diakses secara cuma-cuma di internet. Pada saat kita menonton atau mengunduh film di situs ini, bukankah kita tidak dikenakan biaya apapun?

Paling banter, kita hanya modal kuota untuk bisa menikmati layanan yang disediakan di situs tersebut. Selebihnya semua layanan di dalamnya gratis.

situs streaming film gratis/ sumber: grid.id
situs streaming film gratis/ sumber: grid.id
Lantas, bagaimana si pengelola situs bisa mengeruk pundi-pundi yang bisa dipakai untuk kegiatan operasional, katakanlah bayar listrik, biaya domain, atau sewa server?

Semua itu bisa diperoleh dari biaya klik dan tarif iklan yang dipasang di situs. Semakin aktif kita menjelajahi situs tadi, maka semakin besar pula nominal yang didapat si pengelola situs.

Lebih lanjut, Ariely juga menjelaskan bahwa alasan orang-orang doyan mencari yang gratisan adalah karena sesuatu yang ditawarkan secara gratis dinilai mampu mengurangi risiko dan memaksimalkan keuntungan.

Jika kita ditawarkan produk sampel yang dibagikan secara gratis, misalnya, biasanya kita akan senang, karena tanpa perlu mengeluarkan uang sepeser pun, kita bisa menikmati produk tadi, biarpun jumlahnya hanya sedikit.

Kita menilai tidak ada ruginya menerima produk tadi, karena kalau tidak cocok pun, tidak ada kewajiban bagi kita untuk membelinya. Jadi, mencoba produk gratisan tadi risikonya sangat minim, hingga kita sulit menolaknya.

Meski begitu, di pasar saham, yang terjadi justru sebaliknya. Sebab, tidak semua yang gratisan langsung dilirik. Saham sebuah bank yang saya punya bisa menjadi contoh.

Beberapa bulan yang lalu, saya membeli saham sebuah bank buku 2 di harga Rp 50. Jumlahnya tidak banyak, hanya 1 lot saja, karena pembelian ini dilakukan bukan untuk berinvestasi, melainkan hanya sekadar keisengan saya saja.

Saya penasaran mengapa saham yang baru IPO beberapa tahun lalu ini sekarang malah "terkapar" di level gocap, padahal secara fundamental sahamnya masih lumayan bagus dan valuasinya cukup murah.

Disebut demikian karena cash flow per share-nya saja senilai Rp 55, atau lebih tinggi 5 rupiah dari harga sahamnya.

Itu artinya dengan membeli saham tadi di harga Rp 50, saya sebetulnya sudah untung Rp 5 atau 10% tanpa perlu keluar biaya apa-apa lagi!

Anehnya, biarpun bisa memperoleh keuntungan 10% secara gratis, namun, tidak ada satu pun investor yang tertarik membeli saham tadi. Buktinya, sampai tulisan ini dibuat, harga sahamnya masih belum beranjak ke mana-mana.

Hal yang sama juga berlaku pada semua saham yang nilai buku-nya di atas harga sahamnya. Saham-saham ini disebut "murah" karena banyak orang menilai terlalu rendah kualitas fundamentalnya, sehingga walaupun nilai bukunya besar, namun, orang hanya berani menawar sahamnya di harga bawah.

saham gocap/ sumber: finansialku.com
saham gocap/ sumber: finansialku.com
Padahal, kalau membeli saham ini, sebetulnya kita sudah untung, karena bisa mendapat nilai buku yang jauh lebih tinggi daripada harga sahamnya. Ibarat kata, kita bisa memperoleh nilai buku sebuah perusahaan seharga Rp 1.000 dengan hanya membayar Rp 100.

Bukankah ini sebuah peluang yang bagus untuk berinvestasi karena kita bisa mendapat diskon sebesar 90% atau memperoleh keuntungan secara gratis? Namun, hanya sedikit yang tertarik membeli saham demikian!

Oleh sebab itu, boleh dibilang, berinvestasi di saham demikian sebetulnya tidak untung-untung amat karena biarpun murah, ternyata pergerakan harganya malah stagnan. 

Apalagi kalau disimpan dalam waktu yang lama, bisa-bisa investasi kita tidak bertumbuh dengan baik, sehingga kita bisa mengalami kerugian waktu dan materi.

Lewat uraian di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa ternyata tidak semua hal yang berbau kata "gratis" bisa memancing antusiasme berlebih dalam diri setiap orang. Untuk barang yang sifatnya fisik, mungkin iya, tetapi tidak selalu, di pasar saham.

Mungkin inilah secuil "anomali" yang terdapat di bursa saham, bahwa belum tentu semua yang murah atau bahkan gratis menarik dimiliki, sebab bisa saja itu hanyalah sebuah "ilusi" yang bisa menjebak kita dalam kerugian berinvestasi.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun