Setelah melalui diskusi yang cukup "alot", pemerintah akhirnya memutuskan meniadakan Ujian Nasional (UN) 2020.Â
UN yang sejatinya akan dimulai pada akhir Maret ini terpaksa dibatalkan karena penyelenggaraannya dikhawatirkan akan membuka "pintu" bagi penyebaran virus corona yang lebih luas.
Hal ini tentu bisa dimaklumi, mengingat wabah virus corona tengah berkembang di Indonesia. Sampai tulisan ini dibuat, tercatat sudah ada 579 kasus pasien yang positif terkena virus corona dengan 49 orang di antaranya meninggal dunia.
Saat saya menyampaikan berita ini kepada seorang teman, alih-alih senang, ia justru merasa bingung. Ia yang sekarang duduk di kelas 3 SMK ini galau memikirkan masa depannya. Sebab, sampai sekarang, belum ada kepastian kapan kegiatan sekolah akan dimulai kembali.
Jika libur sekolah akibat virus corona nanti akan diperpanjang, katakanlah hingga beberapa minggu atau bulan ke depan, bisa-bisa jadwal kelulusannya akan molor dan ia akan sulit mencari pekerjaan atau menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Harus diakui, keputusan itu memang merugikan sejumlah pihak. Betapa tidak, anggaran yang disalurkan untuk menyelenggarakan UN menjadi "mubazir". Bisa dibayangkan, seberapa banyak anggaran yang terbuang akibat dibatalkannya UN pada tahun ini.
Belum lagi, kerugian atas waktu dan tenaga yang telah dikeluarkan siswa dan guru di sekolah dalam menghadapi UN. Hal ini tentu bukan sesuatu yang menyenangkan untuk diterima.
Namun demikian, keputusan tersebut suka-tidak suka mesti disikapi dengan lapang dada. Walaupun "mengorbankan" banyak hal, pemerintah harus mengambil keputusan tadi untuk kepentingan dan keselamatan bersama.
Bagaimanapun, dalam situasi krisis seperti sekarang, keamanan adalah satu hal yang wajib diprioritaskan. Jangan sampai karena terlalu dipaksakan, akhirnya bisa menyebabkan masalah yang lebih luas.
Barangkali inilah salah satu keputusan yang cukup berat, yang mesti diambil oleh pemerintah. Betapa tidak, selama bertahun-tahun penyelenggaraan UN, baru pada tahun ini, UN dibatalkan.
Belum lagi, pemerintah juga mesti memikirkan strategi alternatif agar keputusan ini tidak menyebabkan dampak yang sistemik. Maklum, pendidikan ialah sebuah bidang yang krusial bagi hajat hidup orang banyak. Kalau sampai terganggu, efeknya bisa merembet ke mana-mana, termasuk ke wilayah ekonomi.
Apalagi sekarang perekonomian sedang kacau. Perusahaan yang skalanya besar atau kecil sedang dibuat ketar-ketir oleh "teror" virus corona. Pasalnya, sejak virus ini merebak, omzet yang diperoleh menurun tajam.
Saudara saya yang bekerja di sebuah perusahaan transportasi misalnya menceritakan bahwa pendapatan yang diterima oleh perusahaannya turun hingga 20-30% lantaran orang-orang ogah bepergian ke luar daerah.Â
Penurunan tadi dinilai cukup signifikan, jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.
Jika situasi ini terus berlanjut, saudara saya cemas perusahaan tersebut akan susah bertahan, memotong THR, atau bahkan terpaksa "merumahkan" sejumlah karyawan.
Hal itu jelas merupakan "skenario" yang buruk, apalagi kalau sampai kehilangan pekerjaan, seseorang akan butuh waktu yang lama untuk mendapatkan pekerjaan yang baru, mengingat pada saat ini, belum tentu ada banyak perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan.
Situasi ini bisa diperparah dengan ada banyak lulusan sekolah yang terancam menganggur karena sulit mendapatkan pekerjaan. Membanjirnya pencari kerja yang tidak diimbangi dengan lowongan pekerjaan yang tersedia tentu bisa meningkatkan jumlah masalah sosial yang terjadi di masyarakat.
Oleh sebab itu, kita tentu mendoakan supaya pemerintah bisa menemukan strategi jitu untuk meredam persoalan yang akan muncul akibat peniadaan UN tersebut.Â
Semoga masalah yang timbul akibat wabah virus corona ini segera berlalu dan suasana kembali jadi lebih kondusif.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H