Emas mungkin adalah satu-satunya komoditas yang paling "bersinar" di tengah teror Virus Corona. Saat komoditas lain, seperti minyak sawit, batubara, dan nikel, "tumbang" cukup dalam, harga emas justru menjulang sendirian. Maka, jangan heran, kalau harga emas sekarang melampaui harga tertingginya!
Tentu hal ini memberi "berkah" bagi investor yang sudah mengoleksi emas jauh-jauh hari. Sejak tahun 2019, harga emas memang terus merangkak naik, seiring dengan kekhawatiran yang timbul atas perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok.
Emas yang dianggap sebagai "safe haven" kemudian laris diburu oleh para investor. Efeknya tentu sudah bisa ditebak. Harga emas pun melejit dalam waktu singkat.
Setelah Amerika Serikat dan Tiongkok sepakat menyudahi perang dagang pada bulan Januari silam, kilau emas sempat meredup. Emas mulai ditinggalkan. Harganya pun ikut melempem.
Namun, hal ini hanya berlangsung sebentar. Wabah Virus Corona, yang tadinya hanya melanda Tiongkok, tetapi kemudian menjalar ke berbagai negara, ikut mendongkrak harga emas. Saat tulisan ini dibuat (9/3), satu gram emas Antam sudah dihargai Rp 851.000!
Sepertinya tidak ada seorang pun yang bisa memperkirakan seberapa tinggi kenaikan harga emas beberapa bulan ke depan, sebagaimana tidak ada yang dapat memprediksi kapan wabah Virus Corona akan berakhir.
Jika penyebaran virus corona terus berlanjut, dan ternyata "kerusakan ekonomi" yang disebabkannya jadi tambah parah, boleh jadi, harga emas akan terus terbang.
Hal ini bisa dipandang sebagai sebuah "peluang", sekaligus "tantangan", terutama bagi investor yang ingin membeli emas.
Kalau terbukti bahwa harga emas akan terus melesat beberapa bulan ke depan, investor yang membeli emas sekarang tentu berkesempatan memetik untung yang lumayan.
Namun, jika yang terjadi justru sebaliknya, investor berisiko menanggung kerugian akibat "capital loss".
Untuk mencegah hal tersebut, sebelum memborong emas, investor perlu melakukan pertimbangan yang matang.
Jangan sampai, hanya karena harga emas sedang tinggi-tingginya, investor terbawa nafsu dan langsung membeli emas tanpa pikir-pikir lagi.
Harus diingat bahwa ketamakan ialah salah satu emosi yang dapat "menyesatkan" logika, sehingga hal itu berpotensi membikin investor salah mengambil keputusan investasi. Kalau hal itu sampai terjadi, alih-alih untung, bisa-bisa investasi yang dilakukan bisa berujung rugi.
Makanya, jika memang investor sudah memutuskan membeli emas, sebaiknya keputusan tadi dibuat berdasar pada analisis yang cermat, bukan pada emosi yang sifatnya sesaat.
Salah satu pertimbangan yang mesti dipikirkan adalah wujud emas yang akan dibeli.
Maklum, kini terdapat dua jenis emas yang bisa dipilih sebagai sarana investasi, yakni emas konvensional dan emas digital. Keduanya memiliki perbedaan yang cukup jelas dari segi bentuk atau pun harga.
Tentu saja, emas konvensional lebih banyak "dilirik" daripada emas digital. Soalnya, masyarakat cenderung menyukai aset yang bisa disentuh daripada yang hanya bisa dilihat di monitor. Jadi, jangan heran, walaupun harganya di atas emas digital, masyarakat masih saja senang mengoleksinya.
Meski begitu, emas konvensional jelas memerlukan perlakukan yang lebih "istimewa" daripada emas digital. Investor yang membeli emas ini mesti menyiapkan tempat khusus sebagai penyimpanan.
Hal ini dilakukan untuk menjaga keamanan emas yang dimiliki. Jangan sampai, karena teledor, emas tadi kemudian berpindah tangan atau dicuri.
Sementara, emas digital dinilai jauh lebih aman, karena emas yang sudah dibeli secara online kemudian disimpan di dalam brangkas khusus. Investor cukup membayar biaya penyimpanan per tahun untuk memastikan bahwa asetnya terlindungi dengan baik.
Emas ini pun bisa dicairkan dalam wujud fisik. Jika ingin meraba asetnya secara langsung, investor cukup menambah biaya cetak dan ongkos kirim.
Selain itu, emas digital juga jauh lebih mudah ditransaksikan. Investor bebas membeli atau menjual emas selama jam perdagangan tanpa harus mengunjungi toko emas. Hal ini dinilai lebih sederhana dan irit ongkos.
Harganya? Jelas lebih murah daripada emas konvesional. Emas konvensional, karena sudah dibebankan biaya cetak dan ongkos kirim, harganya jelas lebih mahal.
Saat tulisan ini dibuat, emas konvensional dari Antam dijual Rp 851.000/gram, sementara emas digital dari Tokopedia dihargai Rp 806.000/gram. Selisihnya lumayan lebar, yakni Rp 45.000!
Buyback Emas
Sudah tertarik ingin membeli emas? Eits, jangan dulu.
Sebab, masih ada satu pertimbangan terakhir yang "wajib" diperhatikan, yaitu buyback emas.
Sebagaimana diketahui, harga beli dan harga jual emas mempunyai "jurang" harga yang cukup lebar. "Jurang" ini bisa menjadi acuan seberapa lama investor bisa balik modal. Semakin lebar "jurang"-nya, semakin lama titik impas investasinya.
Contohnya, biarpun harga beli 1 gram emas Antam sekarang adalah Rp 851.000, tetapi ternyata harga buybacknya hanya Rp 776.000!
Artinya, ada selisih harga Rp 75.000!
Agar bisa balik modal, investor mesti menunggu harga buyback-nya naik hingga Rp 75 ribu dan hal itu belum tentu terwujud dalam waktu dekat!
Selisih ini lebih dari setengahnya selisih emas konvensional!
Jadi, menurut saya, meskipun sekarang harganya sedang "ganas-ganas"-nya, emas belum tentu cocok dijadikan instrumen investasi bagi semua investor. Apalagi bagi investor yang punya horison jangka pendek.
Sebab, untuk memperoleh keuntungan yang lumayan, investor mesti bersedia menanti dalam jangka panjang dan ini jelas bukan hal yang mudah dilakukan.
Oleh sebab itu, kalau ada investor yang memang sudah mantap untuk berinvestasi emas sekarang, sebaiknya mulai "melapangkan dada" bahwa modal yang ditanamkannya baru akan kembali dalam waktu yang lama.
Sementara, untuk investor yang mengharapkan keuntungan dalam waktu yang singkat dari tren kenaikan harga emas, lebih baik memilih instrumen investasi lain saja.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H