"Rapor merah" mewarnai pergerakan IHSG sepanjang pekan ini. Terhitung sejak Senin (24/2), IHSG terus "terjun" dari 5882 ke 5452. Artinya, hanya dalam lima hari, IHSG sudah minus 7% lebih!
Jelas ini adalah penurunan yang sangat tajam dan cepat. Seumur-umur berinvestasi di pasar saham, baru kali ini, saya mengalami peristiwa semacam ini. Barangkali ini adalah "peristiwa terburuk" yang mirip dengan krisis ekonomi pada tahun 2008!
Harus diakui, sepanjang pekan ini, suasana IHSG memang begitu "mencekam". Betapa tidak, dalam sehari saja, penurunannya bisa mencapai 1-4%!
Hal ini tentu saja berimbas pada harga saham yang saya pegang. Beberapa saham saya pun "ambyar" cukup dalam, mengikuti laju IHSG. Sampai tulisan ini dibuat, portofolio saya banyak "dihiasi" warna merah!
Saya mengamati bahwa investor sepertinya telah terbawa kepanikan sesaat, sehingga menjual saham-sahamnya secara masif. Investor tampaknya khawatir penyebaran Virus Corona yang terjadi secara cepat dan luas akan berdampak buruk pada perekonomian.
Terlebih lagi, belum ada kepastian sampai kapan virus ini akan menyebar. Bisa saja, Virus Corona akan terus membayangi masyarakat sampai beberapa bulan ke depan, dan hal itu tentu akan mengganggu aktivitas ekonomi.
Keputusan Investasi
Walaupun pasar saham sedang "goyang" akibat obral saham yang dilakukan investor, saya memutuskan tetap memegang saham saya. Saya pikir, keputusan ini cukup "gila", mengingat portofolio saya sudah cukup "berdarah-darah".
Meski begitu, dari pengalaman, saya belajar, jangan langsung mengambil sebuah keputusan karena terbawa emosi sesaat. Hasilnya bisa sangat mengecewakan.
Jadi, daripada salah mengambil keputusan, lebih baik saya menunggu situasi menjadi lebih adem, dan baru menganalisis situasi berdasarkan data-data yang ada. Saya perlu berpikir dengan jernih dalam menghadapi situasi demikian.
Lain halnya dengan teman saya, yang membuat keputusan yang berbeda. Alih-alih tetap menahan, ia memutuskan menjual sahamnya saat pasar sedang terkoreksi besar-besaran. Alasannya, ia ingin membeli saham lagi di harga bawah.
Alasan ini cukup logis, mengingat jarang-jarang ada kesempatan bagi investor untuk membeli saham di harga yang sangat murah. Barangkali kesempatan ini hanya akan muncul 10 tahun sekali, sehingga ia merasa bahwa inilah waktu yang tepat untuk memborong saham bagus dengan harga yang murah.
Cash is King
Apapun keputusan yang diambil, semuanya sah-sah saja, asalkan hal tersebut sudah dipertimbangkan dengan matang. Setiap investor punya pilihan yang berbeda-beda dalam menghadapi situasi krisis yang terjadi.
Namun, terlepas dari pilihan yang diambil, saya menyarankan, investor menyiapkan uang tunai dalam porsi besar. Dalam situasi darurat demikian, keberadaan uang tunai jauh lebih penting, sebab uang tunai bisa dipakai untuk menambah porsi saham yang dimiliki atau membeli saham lain yang lebih prospektif saat IHSG suatu saat rebound.
Saya pun demikian. Saat terjadi krisis, saya menyiapkan uang tunai yang bisa digunakan sewaktu-waktu. Sebagian ada di rekening, sebagian lagi ada di saham.
Ya, saya masih punya uang tunai dalam bentuk saham, karena sebelum krisis terjadi, saya sudah mengalokasi 60% dana saya di sebuah saham yang terbilang "tahan banting".
Betapa tidak, saat IHSG anjlok habis-habisan, alih-alih ikut terperosok, saham saya yang satu ini malah naik harganya. Kalau saat ini, saya jual pun, saya masih untung.
Lho kok bisa? Hal ini bisa terjadi karena saya memilih sebuah saham di sektor consumer goods, yang mempunyai fundamental yang sangat bagus dan beta yang rendah.
Saham-saham di sektor ini memang mempunyai "benteng" yang kokoh dalam situasi genting. Makanya, saham-saham di sektor ini menawarkan perlindungan karena mampu bertahan biarpun IHSG sedang "diguyur" kepanikan.
Oleh karena warnanya masih hijau dan punya alokasi dana yang besar, saya menjadikan saham ini sebagai sebuah "atm". Kalau nanti ada saham bagus yang harganya sedang merosot tajam dan valuasinya sudah terbilang murah, saya bisa menjual sebagian saham tersebut, lalu uang hasil penjualannya dibelikan saham lain yang lebih prospektif.
Black Swan
Kasus penyebaran Virus Corona bisa jadi merupakan fenomena "black swan". Fenomena ini menggambarkan sebuah peristiwa langka yang terjadi tanpa pernah diprediksi sebelumnya.
Sebutan ini dinilai tepat karena tidak ada seorang pun yang menyangka sebelumnya bahwa Virus Corona yang awalnya hanya menyebar di wuhan, tiongkok, kini sudah mendunia.
Kejadian ini memang di luar perkiraan banyak orang, termasuk saya pribadi. Sebelumnya saya menduga bahwa pada tahun 2020, ekonomi akan terseret ke dalam resesi akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang sudah terjadi berbulan-bulan.
Namun, ternyata dugaan itu meleset, karena tiba-tiba saja muncul Virus Corona yang menimbulkan dampak buruk bagi banyak orang dalam waktu singkat. Boleh jadi, kemunculan virus inilah yang berpotensi menyebabkan resesi global, bukannya imbas perang dagang sebagaimana diprediksi sebelumnya!
Meski begitu, jika "berkaca" pada pengalaman yang sudah-sudah, penyebaran Virus Corona sifatnya hanya sementara. Penyebarannya mungkin masih akan terjadi beberapa bulan ke depan, dan hal itu bisa saja akan membikin IHSG terperosok lebih dalam.
Namun, sebagaimana sejarah penyebaran virus lain, macam SARS dan MERS, suatu saat, virus ini akan menjadi "jinak", sehingga mudah dikendalikan. Pada waktu itulah, IHSG akan pulih dan membuka peluang bagi investasi yang sangat menguntungkan.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H